MUDANEWS.COM – Mantan Jaksa Pinangki yang terlibat suap dalam kasus Djoko Tjandra mendapat korting 60% hukuman. Yang tadinya dituntut 10 tahun, nyatanya hanya divonis 4 tahun penjara. Siapa yang tidak marah? Semua tentu menganggap tidak sesuai ekspektasi. Rasa keadilan masyarakat terciderai oleh para hakim MA. Kaum SJW terlebih sangat kencang suaranya menganggap pemerintah tidak serius menjalankan program anti korupsi.
Lihat ya, MA yang mengadili dan memutuskan perkara, namun pemerintah yang dijadikan sasaran. Atau SJW yang kurang paham akan sistem pemerintahan di RI ini? Pemerintah dengan huruf (P) besar itu adalah presiden dan para menteri serta lembaga negara yang berada di bawah kewenangan presiden. Pemerintah disebut juga sebagai eksekutif. Sedangkan MA adalah lembaga negara dengan fungsi yudikatif.
Lembaga kepresidenan dan MA plus DPR (legislatif) disebut dengan Pemerintahan RI. Jadi beda antara pemerintah dengan pemerintahan, beda antara eksekutif-legislatif-yudikatif, beda antara Presiden dengan MA. Lantas, mengapa marah kepada MA tapi yang disalahkan presiden? Apa diperbolehkan presiden melakukan intervensi dalam proses hukum? Bolehkah presiden marah kepada MA lalu minta membatalkan putusan?
Asumsi dan kesimpulan awal saya masih sama, bahwa apapun yang tidak beres dengan penyelenggaraan di pemerintahan RI ini, maka semua menjadi salahnya presiden. Alam pikir mereka masih terdekonstruksi masa orba dulu yang sentralis dan otoriter. Semua berada dalam satu tangan kekuasaan yakni Soeharto. Maka tidak heran jika dulu (1998), Soeharto menjadi target utama pelengseran.
Anggapannya dulu jika Soeharto jatuh, maka semua sistem birokrasi yang sudah terbangun lama, SDM yang tradisi ABS, lembaga-lembaga negara yang korup, akan ikut tersapu juga bersama jatuhnya Soeharto? Tidak. Hingga kini pun anggapan kekuasaan seorang presiden masih dibayangkan seperti zaman Soeharto dulu. Tentu saja berbeda dan keliru, dan para SJW harus lebih banyak belajar akan ilmu pemerintahan (nyombong dikit).
Sekali lagi. Saya juga ikut marah lho jika Pinangki mendapat korting 6 tahun dalam vonis putusannya. Namun saya lebih menyorot kepada MA. Beberapa waktu lalu juga MA memutus membatalkan SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah. MA memenangkan pihak penggugat yang mewajibkan siswa puteri di sekolah negeri di Sumbar mengenakan jilbab. Kini, MA kembali membuat keputusan kontroversi akan Pinangki.
Saya membayangkan jika saja hakim Agung Artidjo “Judge Bao” Alkostar masih hidup dan masih di MA, mungkinkah keputusan kontroversi itu akan muncul? Catatan kritis buat MA, ada apa dengan mu? Kembali kepada SJW, jika memang betul-betul memiliki komitmen akan keadilan dan peradilan, maka ada juga tuh yang mendapat korting akan vonisnya. Najwa Shihab dkk (SJW) yang menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dari civil society, pastinya tahu kasus Rizieq Shihab.
Baru saja diketuk palu vonis pada Kamis (24/6) lalu. Korting untuk Rizieq lebih gila lagi. Total di tiga kasus berbeda, Rizieq dituntut jaksa 8 tahun 10 bulan, namun hakim memutus vonis kepada Rizieq menjadi 4 tahun 8 bulan plus denda 20 juta (itupun sudah terpotong masa tahanan). Di kasus petamburan dari 2 tahun menjadi 8 bulan. Kasus Megamendung dari 10 bulan menjadi bebas dan denda 20 juta. Terakhir di kasus RS Ummi dituntut 6 tahun menjadi 4 tahun.
Sama-sama mendapat korting besar, dan sama-sama menciderai rasa keadilan masyarakat. Seperti apa suara SJW untuk vonis Rizieq? Tidak ada. Tapi kan berbeda concern nya? Yang satu “suap” dan yang satu soal “swab”. Kasusnya memang jelas tidak sama, bahkan pelakunya juga berbeda. Yang satu mantan jaksa yang tidak popular dan baru terlibat kasus pidana, dan satunya lagi tokoh atau dedengkot gerakan Islam radikal melalui organisasi FPI nya.
Rizieq yang diaku sebagai tokoh ulama pun pernah ditahan di masa SBY. So, mau menilai dan membandingkan kasusnya, pelakunya, atau proses dan hasil peradilannya? Jangan memilih-milih dan setengah-setengah jika ingin berteriak “keadilan sosial”, hanya berdasar kepentingan dan “pesanan” bohir. Karena harusnya malu dengan status “warior” nya. Tabik.
Oleh : Agung Wibawanto