Dua Petani Perhutanan Sosial Ditahan, Kejahatan Hutan Didiamkan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, menyesalkan penetapan tersangka dan ditahannya dua anggota Kelompok Tani Nipah Mangrove, yang sudah berjuang untuk melakukan pemulihan kawasan hutan sampai sekarang.

“Syamsul Bahri dan Samsir adalah ketua dan anggota Kelompok Tani Nipah Mangrove, yang sudah ada dasar dari pemerintah, sehingga mereka melakukan aktivitas untuk merehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove atau bakau jenis Rhizopora, dan Nipah dengan dasar SK Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara seluas lebih kurang 242 Hektare,” jelas Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Khairul Bukhari yang sering disapa Ari dalam pers rilis kepada mudanews.com di Medan, Rabu (17/2/2021).

Namun dalam areal wilayah NKK Kelompok Tani Nipah Mangrove, terdapat ada perkebunan kelapa sawit yang illegal + 65 Hektar tidak memiliki izin. Padahal areal tersebut merupakan hutan penyanggah dan merupakan sumber mata pencaharian nelayan pencari ikan, udang dan berbagai biota lainnya dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Pura, Kecamatan Gebang dan Kecamatan Brandan. Mereka mencoba secara terus menerus melakukan pemulihan kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi kebun sawit yang diduga illegal.

“Perlu diperhatikan bahwa, Kelompok menjalankan kegiatan melakukan rehabilitasi dan melakukan tanaman hutan yang sering kelompok lakukan untuk melakukan rehabilitasi secara rutin, karena memang kewajiban kelompok untuk melakukan rehabilitasi dan menanam tanaman hutan sesuai dengan perjanjian kemitraan kelompok SK Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara seluas lebih kurang 242 Hektare,” ungkap Ari.

Dua Petani Perhutanan Sosial
Laporan Polisi (LP). (Foto : dok istimewa)

Pada tanggal 30 September 2018, Kelompok Tani Nipah juga sudah pernah melaporkan atas tindak pidana perambahan kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit didalam kawasan hutan serta melakukan pemasangan plang secara illegal, sesuai dengan laporan polisi : LP/647/IX/2018/SU/LKT tertanggal 30 September 2018 Polres Langkat, tetapi pihak oknum penenggakan hukum tidak merespon begitu mendalam atas laporan Kelompok Tani Nipah apa yang terjadi di lokasi.

Dibeberkannya, Kelompok Tani Nipah kerap mendapatkan teror dan intimidasi dari orang yang tidak dikenal dengan menebangi pohon yang ditanami Kelompok Tani Nipah, bahkan wilayah konsesi ini dijaga oleh oknum aparat berpakaian loreng kejadian ini telah di laporkan kepada KPH tingkat I Stabat, Gakum dan sudah dilaporkan secara resmi ke Polres Langkat namun hingga saat ini kasus penebangan pohon tersebut tidak dilanjutkan.

Dua Petani Perhutanan
Surat Panggilan untuk Syamsul

Sebab, jelas Ari, akibat konflik yang terus menerus terjadi dan tidak berkesudahan akhirnya pada tanggal 01 Februari 2021, Syamsul Bahri dan Samsir mendapatkan surat panggilan dari Kepolisian Sektor Tanjung Pura Kabupaten Langkat lewat kepala Desa Kuala Serapuh, Nomor : S.Pgl/11/II/Res 1.6 / 2021/Reskrim dan Nomor : S.Pgl/12/II/Res 1.6/2021/Reskrim, diminta hadir pada hari Rabu, 1 Februari 2021, pukul 14.00 WIB dan pukul 12.00 WIB untuk dimintai keteranganya selaku tersangka, yang beralamat Dusun Lubuk Kertang Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, dalam perkara tindak pidana pengeroyokan dan atau penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama pada tanggal 18 Desember 2020 pukul 08.30 WIB.

Di Dusun III Lubuk Jaya, Desa Kwala Serapuh Kec Tanjung Pura kabupaten Langkat sebagaimana dimaksud pasal 170 KUHPidana Subs ayat 1 dari KUHPidana. Namun karena alamat tidak sesuai yang diberikan kepada kepala desa, surat panggilan tersebut dipulangkan oleh Kepala Desa ke Polsek Tanjung Pura atas Pengaduan dari Harno Simbolon
pada tanggal 04 Februari 2021, kini surat panggilan dari Kapolsek Tanjung Pura.

Kembali keluar yang diserahkan kepada Kepala Desa Kuala Serapuh, yang ditujukan untuk Pak Samsul Bahri dan Samsir, Nomor : S.Pgl/11/II/Res 1.6 / 2021/Reskrim dan Nomor : S.Pgl/12/II/Res 1.6/2021/Reskrim, diminta hadir pada hari Rabu, 10 Februari 2021, pukul 14.00 WIB dan pukul 12.00 WIB untuk dimintai keteranganya selaku tersangka, yang beralamat Dusun Lubuk Jaya Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, atas pengaduan dari Harno Simbolon.

Dua Petani Perhutanan Sosial
Surat Perintah Penahanan untuk Syamsul

Sekitar pukul 18.00 WIB (usai dilakukan pemeriksaan) malam keluar surat Perintah Penahanan pada tanggal 10 Februari 2021 atas nama Samsul Bahri Als Samsul Nomor : SP.Han/04/II/Res 1.6/2021/Reskrim dan M. Samsir ALS Samsir Nomor : SP.Han/05/II/Res 1.6/2021/Reskrim atas Dasar 1. Pasal 17 (1) huruf d, pasal 11,20,21,22 dan 24 ayat (1) KUHAP. 2. Undang-undang RI No. 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. 3. Laporan Polisi Nomor : LP/101/XII/2020/SL/LKT/SEK.T.PURA.tgl 22 Desember 2020. A.n. Pelapor HARNO SIMBOLON. 4. Surat Perintah Penyelidikan Nomor : SP.Sidik/06/I/Res.I.II/2021/Reskrim, Tanggal 22 Januari 2021.

“Kejadian yang dialami oleh Kelompok Tani Nipah, sangat disayangkan, surat yang sudah diajukan oleh pendamping hukum Kapolres Langkat untuk pak Samsul dan pak Samsir terkait dengan penangguhan seharusnya dapat dikabulkan, karena setia orang sama di mata hukum, dan berhak atas keadilan,” tegas Khairul Bukhari.

Ari juga menyayangkan pernyataan dari Kapolres Langkat, bahwa ketidak adanya kaitan dengan area perhutanan social dan aktivitas kelompok tani nipah dilapangan (Lahan). Sebab, dengan adanya aktivitas kelompok Tani Nipah di lokasi kebun sawit yang diduga illegal berdasarkan SK Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 diduga pemilik sawit kepanasan, karena mereka diduga tidak memiliki izin dari pemerintah, beda halnya dengan Kelompok Tani Nipah yang sudah mempunyai legilitas pengelolahan di dalam kawasan hutan.

Pertemuan yang digagas pada hari Selasa (16/2/2021), oleh pihak Pemerintah lewat Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, sangat bagus, bagaimana kasus-kasus perhutanan social dapat diselesaikan, sebab bukan hanya ini saja sebenarnya kasus yang dialami kelompok-kelompok perhutanan social lainnya, tetapi ini menjadi momentum bagaimana pemerintah dapat menyelesaikan persoalan perhutanan social dan bagaimana penegakan hukum itu berjalan jika adanya perambahan kawasan hutan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan.

“Tapi sangat disayangkan, pertemuan tersebut belum adanya keputusan bersama dalam penanganan konflik perhutanan social yang saat ini dialami oleh Kelompok Tani Nipah,” tegasnya.

Dua Petani Perhutanan Sosial
Ketua Kelompok Tani Nipah Syamsul Bahri beserta anggota

Ari berharap Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dapat teribat dalam kasus yang di alami oleh Kelompok Tani Nipah, karena jelas mereka membantu pemerintah untuk bias lakukan pemulihan kawasan hutan.

Di sisi lain, penahanan terhadap dua orang Kelompok Tani Nipah, Ari menilai diterapkannya tersangka dan dilakukan penahanan atas Syamsul Bahri dan Samsir diduga sangat dipaksakan, seperti ada udang dibalik batu dan upaya mengkriminalisasi kepada Kelompok Tani Nipah, karena mereka berdua belum pernah diperiksa dan dimintai keterangan terkait tuduhan yang disampaikan oleh saudara Harno Simbolon.

Dua Petani Perhutanan Sosial Ditahan
Ketua Kelompok Tani Nipah Samsul Bahri (kiri) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya. (Foto: Facebook Tajruddin Hasibuan)

Disamping itu, Ari menjelaskan, sesuai dengan ketentuan Per undang-undangan :

1. Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kahutanan menebutkan bahwa setiap orang dilarang antara lain :

a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah

b. Merambah kawasan hutan.

2. Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d. Diancam dengan pidana penjara paling 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000,- (lima miliar rupiah) “.

“Undang-undang sangat jelas, pengelola kawasan hutan harus memiliki izin,” papar Ari. (red)

 

- Advertisement -

Berita Terkini