Paradox Pembangunan Ala Indonesia

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com OPINI – Dalam teori ekonomi pembangunan, negara seharusnya hidup dari produktivitas rakyatnya, inovasi industrinya, dan kualitas institusinya. Namun di Indonesia, pola pembiayaan negara menunjukkan sesuatu yang jauh lebih suram: ketergantungan akut pada ekstraksi sumber daya alam — bukan sebagai strategi transisi, tetapi sebagai model bisnis rezim.

Pemerintah hidup dari ekstraksi mineral tambang, eksploitasi hutan yang mendorong deforestasi,konversi hutan alam menjadi kebun sawit, pemberian konsesi HTI untuk pulp dan kertas, dan skema rente yang menghasilkan keuntungan bagi segelintir elite. Konsekuensinya bukan sekadar kerusakan lingkungan. Konsekuensinya adalah hancurnya fondasi ekologis bangsa.

Ironinya, meskipun tanah jutaan hektar di konsesi kan , gunung dikeruk, dan hutan ditebang, negara tetap tidak punya cukup uang. Model eksploitasi ini bukan membuat negara kaya, tetapi justru menjebak negara dalam posisi fiskal yang semakin rapuh. Hari ini: > 20% penerimaan pajak tahunan habis hanya untuk membayar bunga utang. Bukan pokok utangnya, bunganya saja.

Inilah paradoks pembangunan ala Indonesia: Ekosistem hilang, negara tetap miskin. Hutan habis, APBN tetap defisit. Tambang diekspo, rakyat tetap tidak naik kelas. Sawit menguasai ratusan ribu hektar, desa-desa sekitar tetap tersingkir. Jika eksploitasi SDA benar-benar demi pembangunan, rakyat seharusnya sudah merasakan hasilnya dalam bentuk: air bersih, sekolah yang layak, rumah sakit memadai, mitigasi bencana yang kuat, dan angka kemiskinan yang menurun secara struktural. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya.

Selama ini pemerintah selalu mengatakan: Eksploitasi SDA demi pembangunan nasional. Namun data dan realitas lapangan menunjukkan narasi itu tidak lebih dari retorika yang ditulis oleh mereka yang menguasai negara melalui mekanisme state capture.

State capture terjadi ketika: Korporasi besar menulis regulasi, Oligarki menyetir kebijakan fiskal, Kementerian melayani kepentingan pemilik modal, Dan izin usaha menjadi mata uang politik. Mereka yang seharusnya menjaga republik berubah menjadi gerombolan bandit dengan status legal: berjas, berdasi, bicara tentang pertumbuhan, tetapi merampas masa depan ekologi

***
World Bank mengklasifikasikan mayoritas rakyat Indonesia sebagai:
• near-poor,
• rentan turun kelas,
• hidup sedikit di atas garis miskin,
• dan kehilangan tabungan hanya dengan satu guncangan ekonomi.

Mayoritas rakyat hidup dalam kondisi:
• pendapatan tidak stabil,
• tabungan minim,
• biaya hidup tinggi,
• dan proteksi negara lemah.

Artinya ? ketika bencana datang, rakyat jatuh lebih cepat daripada negara bisa membantu.

Kerusakan ekologis bukan sekadar hilangnya pohon. Itu adalah kerusakan: sumber air, lahan pertanian, mata pencaharian, kualitas udara, kesehatan masyarakat, dan ketahanan ekonomi jangka panjang. Ketika hutan digunduli: banjir bandang datang, longsor memakan permukiman, sungai menjadi lumpur, dan desa-desa kehilangan masa depan.

Negara kemudian menyalahkan “cuaca ekstrem”, padahal akar persoalannya ada pada: izin konsesi yang sembrono, pengawasan yang lemah, dan korporasi yang dibiarkan begitu saja.

Penutup

Indonesia tidak kekurangan sumber daya.
Yang kekurangan adalah kejujuran dan keberanian untuk mengakui salah arah. Artinya kalau sekarang anda miskin dan jadi korban bencana alam, ingatlah itu bukan salah alam, bukan hukuman dari Tuhan. Itu adalah kebodohan anda sebagai warga negara. Bodoh karena memilih gerombolan bandit mengurus negeri ini. Tuhan tidak akan mengubah nasip orang bodoh kecuali ia sendiri yang mengubah nya !
——
By : EJB

Berita Terkini