Keberanian Berubah….

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Oleh Erizeli Bandaro pada 6 Oktober 2025

Mudanews.com OPINI – Sore hari, aku datang ke Kantor GI. Usai bicara dengan Awi, Lina dan Aling datang juga ke ruang Awi. Tentu kalau aku datang ke kantor, mereka gunakan untuk bertanya dan berdiskusi. Ya karena aku mentor korporat- GI.

“Mengapa banyak korporat yang tadinya berkembang pesat akhirnya meredub. Ada yang kandas berujung skandal. Ada yang bankrupt begitu saja. Ada yang mati segan hidup engga jelas,” Tanya Lina. “ Misal, Nokia, blackberry, PujiFilm, Yahoo “ Sambung Lina. Diapun menyebut nama konglomerat di Indonesia.

Aku menatapnya lama. Pertanyaan itu seperti batu yang dilempar ke permukaan danau: sederhana, tapi riak-riaknya luas. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, lalu menjawab perlahan.

“ Lin,” kataku, “hidup ini selalu bergerak. Perusahaan juga begitu. Ada satu teori, Dynamic Capabilities. Intinya, perusahaan hanya bisa bertahan kalau mampu membaca arah, mengambil keputusan tepat waktu, dan merombak dirinya sesuai zaman.”

Aku berhenti sebentar, mencari kata. “Nokia sebenarnya bisa melihat iPhone dan Android datang. Mereka sensing. Tapi mereka tak cukup cepat seizing. Investasi ke sistem operasi baru seperti MeeGo terlambat. Mereka juga gagal reconfiguring. Organisasi mereka terlalu besar, terlalu lamban. Seperti gajah yang sadar ada singa, tapi tak mampu berlari.”

Aling memejam sebentar, lalu membuka matanya. “Jadi mereka bukan tidak tahu, hanya tidak cukup lentur?”

Aku mengangguk. “Ya. Mereka tahu badai datang, tapi kapal mereka terlalu berat untuk berbelok.”

Aku menyandarkan tubuh, menatap lampu jalan yang berkedip di luar.

“ Terus..” tanya Aling.

“Teori kedua, disruptive innovation. Disrupsi itu datang dari bawah. Murah, sederhana, awalnya dianggap remeh. Lalu tumbuh, menjadi cukup baik, hingga menggulingkan raksasa yang sibuk melayani pelanggan elit. Apple dan Google mengerti ini. Mereka tidak hanya menjual ponsel, mereka membangun platform. Bayangkan iOS dan Android sebagai kota besar. Ada pasar aplikasi, jalan-jalan API, warganya developer, turisnya pengguna. Setiap orang baru yang datang membuat kota itu semakin hidup. Sementara Nokia masih berpikir produk. Hardware kokoh, OS tertutup. Mereka lupa, di dunia baru ini yang menang bukan produk terbaik, tapi ekosistem yang hidup.”

Lina menatap kosong pada cangkir tehnya, seakan melihat sesuatu jauh di dalam. “Berarti, kadang kita bisa kalah bukan karena kualitas kita buruk, tapi karena permainan sudah berubah?”

Aku tersenyum tipis. “Betul. Dan kita tetap main di papan lama.”

“Pemimpin adalah kompas, demikian kata Stephine Elop , CEO Nokia ” Lanjutku. “Elop menulis memo Burning Platform. Ia bilang Nokia seperti orang yang berdiri di anjungan minyak yang terbakar. Harus lompat atau mati. Itu benar. Tapi setelah membangkitkan rasa takut, ia menutup hampir semua pintu. Ia bertaruh eksklusif pada Microsoft, menyingkirkan opsi lain seperti Android.

Padahal kepemimpinan strategis bukan sekadar membakar kapal. Pemimpin harus menciptakan urgensi sekaligus menjaga pilihan. Ada konsep dual transformation: satu tim menjaga inti, satu lagi bebas mengeksplorasi masa depan. Nokia tidak melakukannya. Mereka menutup ruang untuk bernafas.”

Aling mendesah. “Jadi kadang pemimpin bisa jatuh bukan karena kurang tegas, tapi karena terlalu mutlak dalam memilih?”

Aku menatapnya dalam. “Ya. Keberanian tanpa opsi adalah jalan buntu. Pemimpin sejati tahu kapan harus tegas, tapi juga kapan harus menyimpan cadangan.”

Aku menunduk sebentar, menyusun kata. “Dan terakhir, soal Change Management. Teori klasik bilang ada tiga tahap: Unfreeze, Change, Refreeze. Kotter menambah delapan langkah. Nokia berhasil membuat karyawannya sadar krisis, unfreeze. Tapi saat masuk ke change dan refreeze, mereka gagal. Resistensi internal terlalu besar, birokrasi terlalu tebal, eksekusi lambat. Mereka menciptakan api, tapi tidak menyalakan obor.

Perubahan sejati harus dipancang dalam system. Ada tim lintas fungsi, batas waktu keputusan, insentif baru, ukuran keberhasilan yang jelas. Tanpa itu, perubahan hanya jadi slogan.”

Awi menatapku lama, lalu berbisik, “Seperti hidup ya, Ale. Orang bisa sadar harus berubah, tapi tetap kembali pada kebiasaan lama karena tidak ada sistem yang mendukung.”

Aku tersenyum. “Ya, perusahaan dan manusia tidak berbeda jauh.”

Kopi di hadapanku sudah dingin. Lina  menatapku, matanya tajam tapi lembut. “Jadi,” katanya, “perusahaan besar tidak mati karena bodoh?”

Aku menggeleng. “Bukan. Mereka mati karena merasa selalu benar. Karena terlalu nyaman dengan kejayaan lama. Karena lupa dunia bergerak lebih cepat dari keyakinan mereka. Sama seperti negara kita, terlalu yakin dengan kekayaaan SDA dan ekport komoditas. Lupa dunia berubah, nilai tambah SDA tak lagi cukup ngongkosi penduduk yang terus bertambah. Makanya R&D di punggungi.”

Sunyi menyelimuti kami beberapa saat.  Aling akhirnya tersenyum tipis. “Kalau begitu, tugas kita bukan sekadar menjadi hebat, tapi tetap bisa berubah. Menjadi lentur, tanpa kehilangan arah.”

Aku menatapnya, merasakan sesuatu bergetar di dada. “Ya, Ling. Itulah kuncinya: tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah merasa benar, dan selalu siap berubah.”

Lampu kota masih berkilau, memantul di kaca jendela. Aku tahu percakapan itu akan lama menetap, bukan hanya di kepalaku, tapi juga di hati mereka. Karena cerita tentang Nokia, sesungguhnya adalah cerita tentang kita semua, tentang kesombongan, kejatuhan, dan kemungkinan untuk bangkit.

Aku menatap Aling sekali lagi. “Kejayaan itu bukan takhta, melainkan ujian. Yang benar-benar besar bukan yang pernah memimpin dunia, melainkan yang mampu mengubah dirinya sebelum dunia mengubahnya. Karena musuh terbesar manusia—dan perusahaan—bukanlah kompetitor, melainkan keyakinan bahwa ia tak pernah salah.”

“ Sejak muda, Ale, memang begini. Selalu bijak dan pandai membaca perubahan. Dia juga pembaca buku yang kritis. Jarang bicara kecuali diminta bicara. Jarang menasehati, kecuali diminta“ Kata Aling tersenyum menatap Awi dan Lina.

***

Paradigma strategi bisnis selama puluhan tahun berakar pada gagasan Michael Porter tentang sustainable competitive advantage. Bahwa perusahaan dapat membangun dan mempertahankan posisi unggul melalui diferensiasi, biaya rendah, atau fokus. Namun, dalam bukunya The End of Competitive Advantage (2013), Rita McGrath menggugat paradigma tersebut. Ia menegaskan bahwa dalam lingkungan kompetitif yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi teknologi, keunggulan bersaing yang berkelanjutan adalah ilusi. Yang ada hanyalah keunggulan sementara, transient advantage.

“Kami tidak melakukan kesalahan, tetapi entah bagaimana, kami kalah.” Ucapan Stephen Elop, mantan CEO Nokia, masih bergaung di ruang-ruang diskusi bisnis. Nokia, merek yang pernah menguasai dunia, runtuh hanya dalam hitungan tahun. Ironinya, mereka tidak tumbang karena produk yang buruk, melainkan karena kegagalan beradaptasi.

Fenomena Nokia bukanlah cerita tunggal. Dunia bisnis penuh dengan kuburan raksasa: BlackBerry, Kodak, hingga Yahoo. Semuanya punya kesamaan—pernah menguasai pasar, pernah dianggap tak tergoyahkan, tetapi akhirnya roboh karena tidak melihat masa depan tepat waktu.

Nokia.

Pada puncaknya, Nokia menguasai hampir 40% pangsa pasar ponsel dunia. Namun ketika iPhone (2007) dan Android (2008) lahir, Nokia masih percaya bahwa kualitas hardware dan brand loyal sudah cukup menjaga tahta. Mereka bertahan dengan Symbian, lalu menyerahkan nasib ke Microsoft lewat Windows Phone.

Keputusan itu bukan hanya salah strategi, tetapi juga menutup peluang diversifikasi. Selebihnya, budaya internal yang lamban membuat Nokia kehilangan kecepatan. Seperti kata pepatah bisnis: bukan yang besar yang bertahan, melainkan yang paling cepat beradaptasi.

BlackBerry.

BlackBerry juga jatuh dalam jebakan yang mirip. Mereka pionir ponsel bisnis, simbol prestise, bahkan dianggap tak tergantikan di kalangan eksekutif dan politisi. Namun ketika pasar bergerak ke layar sentuh penuh aplikasi, BlackBerry bersikeras mempertahankan keyboard fisik dan sistem tertutup.

Mereka gagal melihat bahwa konsumen bukan lagi hanya eksekutif, melainkan masyarakat luas yang menginginkan gaya hidup digital. Saat akhirnya meluncurkan BlackBerry 10 dan beralih ke Android, pasar sudah terlewat jauh. Kadang kekuatan inti bisa berubah menjadi beban. Loyalitas pada masa lalu bisa jadi racun bagi masa depan.

Kodak.

Kodak adalah cerita klasik. Perusahaan ini menemukan teknologi kamera digital pada 1975, jauh sebelum kompetitor. Namun manajemen takut produk baru itu akan membunuh bisnis film fotografi yang menjadi mesin uang mereka. Akhirnya, mereka menyembunyikan inovasi tersebut.

Ketika kamera digital akhirnya meledak di pasar, Kodak ketinggalan. Mereka menunggu terlalu lama, hingga inovasi yang mereka ciptakan sendiri dimanfaatkan kompetitor. Menunda perubahan demi melindungi bisnis lama hanya mempercepat kematian.

Yahoo.

Yahoo adalah pionir internet. Pada 2000-an, mereka sempat bernilai lebih dari Google. Mereka punya email, portal berita, bahkan peluang emas membeli Google (1998) dan Facebook (2006)—yang semuanya dilewatkan. Masalah Yahoo bukan pada kekurangan ide, melainkan pada kegagalan membuat keputusan strategis tepat waktu. Mereka sibuk berputar pada perdebatan internal, kehilangan fokus, hingga akhirnya hanya jadi bayangan masa lalu. Dalam bisnis digital, kecepatan keputusan sering lebih penting daripada kesempurnaan analisis.

Keempat perusahaan ini punya latar berbeda, tapi benang merahnya sama. Pertama. Terlalu percaya pada keunggulan lama. Nokia pada hardware, BlackBerry pada keyboard, Kodak pada film, Yahoo pada portal. Kedua. Kehilangan sense of urgency. Mereka melihat perubahan, tapi menunda aksi. Ketiga. Budaya internal yang lambat. Politik organisasi membuat keputusan strategis tertunda. Keempat. Tidak mendengar konsumen baru. Pasar bergerak ke arah lain, sementara mereka sibuk menjaga basis lama. Kelima. Kepemimpinan gagal menciptakan transformasi. Pemimpin yang sukses menjaga status quo sering gagal memimpin perubahan radikal.

***

Hari ini, perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Google, Meta, atau bahkan Tesla mungkin merasa aman di puncak. Tetapi sejarah mengingatkan: tak ada dominasi yang abadi. Perusahaan masa kini harus terus mempertanyakan diri: Apakah kita masih relevan dengan kebutuhan konsumen besok? Apakah budaya kita cukup lincah menghadapi perubahan? Apakah kita berani menghancurkan produk lama demi masa depan?

Karena sejarah Nokia, BlackBerry, Kodak, dan Yahoo menunjukkan: kekalahan terbesar bukan karena melakukan kesalahan, melainkan karena percaya tidak akan pernah salah. Namun pertanyaan berikutnya muncul: apakah fenomena serupa bisa menimpa para raksasa masa kini? Jawabannya: ya.

Netflix mengubah cara dunia menonton. Dari DVD rental menjadi layanan streaming global, mereka menguasai pasar dan mendikte industri hiburan. Tetapi hari ini, Netflix menghadapi tantangan yang mirip dengan Nokia: kehilangan diferensiasi. Kompetitor seperti Disney+, Amazon Prime, HBO Max, hingga platform lokal membuat pasar streaming jenuh. Biaya produksi konten melonjak, sementara pelanggan makin selektif. Konsumen pun beralih ke model short-form content (TikTok, YouTube Shorts), yang jauh lebih murah diproduksi dan adiktif.

Netflix terlalu percaya bahwa model langganan konten panjang akan abadi. Padahal, pasar hiburan digital bergerak cepat. Jika tidak beradaptasi, Netflix bisa jadi “Kodak baru” dalam dunia streaming.

Tesla adalah pionir mobil listrik. Mereka mendefinisikan ulang industri otomotif. Namun, saat ini Tesla menghadapi kompetisi ketat dari BYD (China), Volkswagen, Hyundai, hingga startup EV lain. Seperti Kodak, Tesla punya risiko “terlalu percaya pada produk sendiri.” Sementara pesaing masuk dengan model lebih murah, Tesla masih fokus pada citra premium dan inovasi software. Pasar EV global bisa berubah dari inovasi teknologi ke perang harga massal. Jika itu terjadi, Tesla berisiko kehilangan pangsa pasar. Tesla gagal mentransformasi diri dari inovator menjadi pemimpin ekosistem global.

Bank konvensional saat ini tampak aman, bahkan semakin besar. Tetapi sejarah menunjukkan: dominasi bisa runtuh dari arah yang tidak terduga. Fintech (Revolut, Wise, GoTo Financial), decentralized finance (DeFi), stablecoin, hingga blockchain, perlahan menggerogoti model tradisional perbankan. Seperti Yahoo, bank-bank besar berpotensi gagal mengambil keputusan strategis cepat. Mereka melihat ancaman, tetapi sibuk dengan birokrasi internal, regulasi, dan kompleksitas global.

Bank  terlalu lamban beradaptasi dengan disrupsi digital, sehingga kehilangan relevansi di mata generasi muda yang tidak lagi percaya pada model bank lama.

***

Amerika Serikat membangun hegemoninya pasca Perang Dunia II melalui dolar. Bretton Woods 1944 menempatkan USD sebagai jangkar keuangan global. Pasca 1971, sistem berubah ke fiat dollar, namun dominasi tetap bertahan karena AS mampu memimpin arsitektur keuangan internasional: IMF, World Bank, dan pasar modal terbesar dunia.

Namun hegemoni ini menciptakan rasa percaya diri berlebihan. Washington yakin bahwa status dolar sebagai mata uang cadangan dunia adalah hak historis, bukan sesuatu yang perlu terus dipelihara. Fokus kebijakan lebih pada mengelola financial capitalism, bukan memperkuat basis produksi riil.

Sementara itu, sejak dekade 1980–1990an, terjadi relokasi industri manufaktur ke Asia, khususnya China. Insentif upah murah, infrastruktur industri, serta kebijakan pro-investasi membuat China menjadi “pabrik dunia”. Amerika lebih memilih fokus pada sektor jasa, desain teknologi tinggi, dan belanja domestik.

Awalnya strategi ini tampak berhasil. Apple mendesain di California, merakit di Shenzhen. Wall Street menyalurkan modal, Silicon Valley menciptakan inovasi. Namun, dalam jangka panjang, fondasi ekonomi menjadi timpang. Mesin manufaktur yang sebelumnya menjadi basis middle class Amerika terkikis, tergantikan oleh ketergantungan pada rantai pasok global.

Seiring waktu, mesin ekonomi berbasis jasa dan konsumsi tidak lagi cukup kuat menghela beban populasi dan tuntutan fiskal. Pertumbuhan ekonomi memang ada, tapi tidak merata. Kesenjangan melebar, kelas pekerja kehilangan daya saing, dan ekonomi berbasis utang rumah tangga tumbuh lebih cepat daripada produktivitas riil.

Alih-alih memperbaiki kapasitas produksi domestik, AS justru semakin larut dalam “kenyamanan” hegemoni dolar: bisa berutang tanpa batas, bisa mendanai defisit lewat penerbitan Treasury, dan bisa mengekspor inflasi ke negara lain.

Kini, dominasi USD dalam cadangan devisa global tinggal sekitar 56% (data IMF COFER 2024). Angka ini menurun dari sekitar 71% pada akhir 1990an. Munculnya euro, yuan Tiongkok, serta dorongan de-dollarization dari BRICS memperlihatkan retaknya monopoli dolar.

Dengan defisit anggaran yang kronis (di atas 6% PDB) dan utang publik yang sudah melampaui $34 triliun, Amerika menghadapi dilema: tetap mengandalkan hegemoni dolar sambil membiarkan basis produksinya lemah, atau merekonstruksi struktur ekonominya di tengah persaingan geopolitik dengan China.

Fenomena ini mengingatkan pada tesis Rita McGrath tentang transient advantage: tidak ada keunggulan yang abadi. Amerika sempat memiliki sustainable advantage melalui USD, namun lupa melakukan reconfiguration pada mesin ekonomi riil. Bagi dunia, fenomena ini mengajarkan bahwa hegemoni finansial tanpa basis produksi hanyalah menunda krisis. Ketika mesin riil melemah, hegemoni mata uang pun perlahan tergerus.

Fenomena serupa, dalam skala berbeda, juga terjadi di Indonesia. Selama sekian dekade, kita percaya bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) adalah mesin pertumbuhan. Batu bara, minyak, sawit, nikel—seolah menjadi jaminan kejayaan. Namun, kepercayaan ini melahirkan kelemahan struktural: manufaktur dan industri tidak pernah dikembangkan serius.

Indikator paling jelas: rendahnya investasi riset dan pengembangan (R&D), yang hingga kini stagnan di bawah 1% dari PDB. Inovasi tidak tumbuh, produktivitas melemah, dan industri berteknologi tinggi gagal menjadi tulang punggung.

Awalnya, utang dianggap alat leverage untuk pertumbuhan: membiayai infrastruktur, subsidi, bahkan penyelamatan fiskal. Tetapi kemudahan berutang justru melemahkan kreativitas. Ketika ada utang murah, insentif untuk berinovasi pun hilang.

Kini, proses deindustrialisasi berjalan nyata. Kontribusi manufaktur ke PDB merosot, sektor industri kehilangan daya serap tenaga kerja. Utang bukan lagi instrumen akselerasi, melainkan ketergantungan fiskal. Tanpa utang, APBN terancam shutdown karena sebagian besar penerimaan tersedot untuk membayar bunga dan pokok jatuh tempo.

Seperti Amerika dengan dolarnya, Indonesia pun terjebak dalam “rent-seeking mentality”: terlalu percaya pada sumber daya lama, tidak cukup agresif membangun kapasitas baru. AS kehilangan manufaktur, Indonesia gagal membangunnya. AS terlena dengan privilese dolar, Indonesia terlena dengan SDA dan akses utang. AS kini dihantui defisit dan penurunan dominasi dolar, Indonesia menghadapi defisit fiskal kronis dan beban bunga utang yang terus membengkak.

Keduanya sama-sama mengabaikan esensi pembangunan jangka panjang: produktivitas, inovasi, dan daya saing industri.

Kontras dengan Amerika dan Indonesia, China menempuh jalan berbeda. Sejak reformasi Deng Xiaoping (akhir 1970-an), negeri itu melakukan transformasi bertahap:

Pertama. Pertanian ke Industri Padat Karya. Awalnya China membangun basis industri padat karya—tekstil, mainan, elektronik sederhana. Orientasinya jelas: ekspor dengan memanfaatkan tenaga kerja murah dan melimpah.

Kedua. Naik ke Industri Padat Modal & Teknologi Menengah. Setelah menguasai pasar produk murah, China beralih ke industri padat modal: baja, kimia, otomotif, hingga elektronik menengah. Relokasi industri global dimanfaatkan penuh, dengan kawasan industri khusus dan investasi asing langsung (FDI).

Kedua. Lompatan ke High-Tech Dalam dua dekade terakhir, China agresif masuk ke sektor high-tech: semikonduktor, telekomunikasi (Huawei, ZTE), energi baru terbarukan, kendaraan listrik (BYD, CATL), hingga eksplorasi ruang angkasa. Made in China 2025 menjadi tonggak untuk naik kelas dari pabrik dunia ke inovator global.

Keempat. Dari Ekspor-Oriented ke Domestik Market-Based. Setelah krisis global 2008, Beijing menyadari ketergantungan berlebihan pada ekspor berisiko. Maka, arah strategi digeser: memperkuat domestic market melalui urbanisasi, pertumbuhan kelas menengah, dan digitalisasi (Alibaba, Tencent, Meituan). Kini, konsumsi domestik menjadi penopang utama, sementara ekspor tetap kuat sebagai tambahan.

Kesimpulan

Sejarah Nokia bukan kisah masa lalu—itu adalah peringatan masa depan. Raksasa lama sudah tumbang. Raksasa baru bisa menyusul, jika mereka lupa satu hal: bahwa kesalahan terbesar dalam bisnis adalah merasa tidak pernah salah. Jika Nokia, BlackBerry, Kodak, dan Yahoo runtuh karena gagal berubah, maka Netflix, Tesla, dan bank besar juga bisa jatuh bahkan negara bila terjebak pada keunggulan lama. Gagal membaca arah perubahan. Lambat mengambil keputusan karena merasa terlalu aman. Tidak berani mengkanibal bisnis lama untuk masa depan.

Hegemoni finansial tanpa basis riil akan rapuh. Kekayaan alam tanpa industrialisasi hanya menciptakan ketergantungan. Tetapi transformasi produktif seperti yang ditempuh China membuktikan bahwa negara dapat menapaki tangga sejarah dari agraris, ke industri, lalu ke high-tech—jika berani mengelola perubahan dengan disiplin.

Pertanyaan besar bagi kita. Apakah kita akan terus nyaman dalam ilusi SDA dan utang, atau berani menempuh jalan panjang seperti China—dari sawah menuju inovasi? Jangan pernah percaya dominasi itu abadi. Bangun budaya yang haus perubahan, bukan sekadar puas pada kemenangan lama. Pimpin transformasi sebelum dipaksa perubahan. Karena satu satunya yang tidak berubah dalam hidup ini adalah perubahan itu sendiri.

Referensi

Teece, D. J., Pisano, G., & Shuen, A. (1997). Dynamic Capabilities and Strategic Management.). Teece, D. J. Dynamic Capabilities.   Breznik, L. (2019). Exploiting Firm Capabilities by Sensing, Seizing and Reconfiguring.  Christensen, C. M. (1997). The Innovator’s Dilemma. (laman HBS)   Christensen Institute. Disruptive Innovation (overview).   Parker, Van Alstyne, Choudary (2016). Platform Revolution. (halaman buku)   Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984). Upper Echelons Theory. (JSTOR)   Ireland, R. D., & Hitt, M. A. (2005). Strategic Leadership… (AOM Exec/JSTOR)   Kotter, J. P. (1995). Leading Change: Why Transformation Efforts Fail. (HBR & PDF)  . Lewin. Change Model (ringkasan & kritik kontemporer).   Elop’s “Burning Platform”

 

 

 

 

Berita Terkini