Monopoli Pasar Rokok: Petani Tembakau dan UMKM Terjepit Aturan

Breaking News
- Advertisement -

Penulis: Agusto Sulistio – Mantan pelaku usaha rokok rumahan, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Mudanews.com OPINI – Industri rokok di Indonesia sudah lama menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan negara. Cukai hasil tembakau pada 2024 tercatat mencapai Rp. 231,5 triliun, atau sekitar 9,5% dari total penerimaan APBN. Angka itu menjadikan cukai rokok sebagai salah satu tulang punggung fiskal nasional.

Namun, di balik itu, ada cerita lain yang jarang muncul di ruang publik, ketidakadilan pasar yang membuat petani tembakau dan pelaku usaha kecil sekadar menjadi penonton.

Tulisan ini dari pengalaman penulis sendiri. Sekitar tahun 2005, bergelut dalam usaha penjualan rokok rumahan hasil produksi para perajin kecil di Wonosobo, Jawa Tengah. Saat itu, terlihat jelas bagaimana usaha mikro berusaha bertahan hidup di tengah ketatnya aturan dan dominasi pasar.

Harga rokok rumahan yang dijual saat itu sekitar Rp. 3.000–Rp.5.000 per bungkus cukup diminati masyarakat menengah ke bawah, terutama di daerah pedesaan. Rasanya pun tak jauh berbeda dengan rokok pabrikan besar. Namun, kendala utama selalu sama: akses legalitas cukai. Para perajin kecil ini hanya bisa berproduksi dengan “mengandalkan keberanian” karena regulasi tidak memberi ruang bagi usaha skala mikro.

Dua dekade kemudian, di tahun 2025, situasinya ternyata tidak banyak berubah. Di lereng Sindoro-Sumbing, sejumlah perajin rokok kecil masih berproduksi secara diam-diam. Mereka menggiling tembakau hasil panen sendiri atau membeli dari petani sekitar, lalu membungkusnya dengan kertas polos tanpa merek besar.

Dari sumber terpercaya, seorang perajin di Kecamatan Kaliwiro hanya bisa menjual rokok produksinya lewat warung-warung kecil atau langsung ke pelanggan tetap. Harga jualnya sekitar Rp 12.000 per bungkus, jauh di bawah rokok pabrikan. Konsumen utamanya adalah buruh tani dan pekerja serabutan yang tidak mampu membeli rokok dengan harga Rp 25.000.

Namun, ada resiko besar, razia aparat bea cukai. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu mencatat, sepanjang tahun 2024 saja, terdapat lebih dari 650 juta batang rokok ilegal yang berhasil disita, mayoritas berasal dari industri mikro dan rumahan. Nilai kerugian negara akibat peredaran rokok tanpa cukai diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun.

“Kalau ada kabar razia, kami cepat-cepat sembunyikan stok. Kadang sampai masuk karung beras biar tidak ketahuan,” kata seorang perajin sambil tersenyum getir (salah satu sumber youtube). Tidak jarang, rokok hasil produksi mereka disita, dan ada pula yang harus berurusan dengan hukum karena dituduh memalsukan pita cukai.

Bagi petani tembakau, situasi juga tetap pelik. Mereka masih bergantung pada tengkulak yang membeli dengan harga rendah. Seorang petani di daerah Kertek mengaku harga tembakau bisa turun drastis dari Rp 40.000 per kilogram menjadi Rp 15.000 ketika musim panen melimpah. “Kami tidak bisa simpan lama, tembakau harus cepat dijual. Jadi mau tidak mau ya dijual ke tengkulak dengan harga yang mereka tentukan,” katanya.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, setiap produksi rokok wajib dilengkapi pita cukai resmi. Tanpa itu, produk dianggap ilegal. Bagi UMKM, syarat ini sulit dipenuhi karena biaya pita cukai dan prosedur administratif didesain lebih sesuai dengan kapasitas industri besar.

Padahal, UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menegaskan bahwa negara harus memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada usaha kecil agar bisa berkembang. Sayangnya, di sektor tembakau, regulasi UMKM seperti terpinggirkan oleh dominasi UU Cukai.

Politik Ekonomi di Balik Cukai

Industri besar rokok memiliki daya lobi yang kuat terhadap pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, setiap kebijakan cukai selalu melibatkan kalkulasi politik, bukan semata soal regulasi. Dengan alasan menjaga penerimaan negara, pemerintah sering kali lebih condong melindungi kepentingan pabrikan besar daripada membuka ruang bagi UMKM.

Akibatnya, pasar rokok semakin terkonsentrasi hanya pada segelintir pemain besar. Monopoli ini menutup ruang demokratisasi ekonomi dan menyingkirkan pelaku usaha kecil yang sebenarnya punya pasar sendiri.

Jika pemerintah berani membuka skema cukai khusus untuk industri mikro, manfaatnya jelas, Petani tembakau mendapat pasar alternatif di luar pabrikan besar. UMKM rokok mikro bisa tumbuh legal tanpa berisiko kriminalisasi. Negara tetap mendapat penerimaan pajak dari sektor yang sebelumnya ilegal. Lapangan kerja baru terbuka, mengurangi dampak PHK massal. Pasar rokok menjadi lebih sehat dan kompetitif.

Pengalaman Wonosobo tahun 2005 hingga kisah nyata para perajin dan petani tahun 2025, ditambah data resmi mengenai rokok ilegal dan penerimaan cukai, menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar soal hukum, tetapi tentang keberanian politik. Apakah negara mau menghadirkan keadilan ekonomi, atau justru terus menjaga monopoli industri besar dengan dalih penerimaan negara?

Penulis: Agusto Sulistio – Mantan pelaku usaha rokok rumahan, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Kalibata, Jaksel, Kamis 2 Oktober 2025, 11:27 Wib.

Berita Terkini