Oleh: Agusto Sulistio – Indonesia Democracy Monitor
Mudanews.com OPINI – Gerakan buruh Indonesia kembali mendapat sorotan setelah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di bawah kepemimpinan Jumhur Hidayat meneguhkan diri sebagai organisasi buruh terbesar di Tanah Air. Dengan jutaan anggota lintas sektor, KSPSI tidak hanya menjadi payung federasi buruh, tetapi juga kekuatan sipil yang menentukan arah gerakan pekerja Indonesia. Di era Jokowi aksi demonstrasi Aliansi Aksi Sejuta Buruh di mana KSPSI berada di dalamnya telah membuktikan kerap mendominasi dengan jumlah massa aksi terbesar.
Jumhur sendiri bukan figur baru. Rekam jejaknya panjang, ditempa di kampus ITB, dipenjara di era Orde Baru di Sukamiskin, tempat tokoh proklamasi juga presiden pertama, Ir. Soekarno dipenjara di masa kolonial, hingga kembali menjadi tahanan politik di masa pemerintahan Jokowi karena tuduhan yang tak terbukti terkait aksi rusuh tolak RUU Omnibus Law, beberapa tahun silam. Dari pengalaman itu lahirlah keteguhan sikap untuk berpihak kepada buruh dan rakyat kecil tanpa kompromi dan konsisten.
Ketika menjelang akhir Agustus 2025 muncul ajakan “kepung DPR” yang ramai di media sosial, situasi semakin memanas. Ajakan itu kemudian kembali diwujudkan Partai Buruh pimpinan Said Iqbal dalam aksi turun ke jalan pada 28 Agustus 2025. Tak lama berselang aksi itu berakhir tragis, seorang buruh pekerja Ojek Online bernama Affan tewas setelah dilindas mobil rantis polisi di sekitar lokasi unjuk rasa. Peristiwa itu memicu gelombang kemarahan, di sejumlah daerah massa membakar gedung DPRD dan kantor polisi di Ibu Kota dan beberapa wilayah lainnya.
Sebelum tanggal 25 Agustus Jumhur mengambil keputusan penting. Ia melarang buruh KSPSI dan jaringan rakyat lainnya ikut aksi jalanan baik pada seruan “kepung DPR” 25 Agustus. Demikian juga menghimbau agar tidak mengikuti aksi Partai Buruh 28 Agustus. Keputusan ini terbukti krusial. Andai himbauan itu tidak dilakukan tidak menutup kemungkinan eskalasi kerusuhan hampir pasti akan jauh lebih besar dan sulit dikendalikan.
Hal serupa terjadi pada aksi 30 September 2025. KSPSI kembali menahan diri, dan demonstrasi yang semula digadang-gadang besar itu justru sepi. Pada akhirnya, Said Iqbal sebagai penyelenggara aksi 30 September pun mengubah langkah dengan memilih jalur dialog dengan DPR dan pemerintah Prabowo, sebuah strategi yang sejak awal telah dipromosikan KSPSI di bawah Jumhur. Fakta ini menegaskan bahwa di Era Pemerintahan Prabowo, pendekatan dialogis lebih efektif dan memberikan hasil nyata. Ini sangat berbeda dengan era Pemerintahan sebelumnya yang anti dialog sehingga memang harus ditembus dengan akai-aksi berskala besar dan masif.
Fenomena ini sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Brasil, misalnya, serikat buruh CUT (Central Unica dos Trabalhadores) sejak lama menjadi kekuatan politik raksasa. Dukungan massa buruh yang solid bahkan mampu mengantarkan seorang mantan buruh logam, Lula da Silva, menjadi Presiden Brasil. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan buruh mayoritas dapat menjadi barometer elektoral yang selalu diperebutkan oleh partai politik.
Contoh lain bisa dilihat di Jerman, negara industri terbesar Eropa. Di sana, serikat buruh memiliki posisi strategis dalam sistem co-determination di mana perwakilan buruh duduk langsung dalam dewan pengawas perusahaan. Serikat buruh Jerman bukan hanya menjadi mitra dialog pemerintah, tetapi juga bagian dari pengambilan keputusan ekonomi nasional. Inilah yang membuat model hubungan industrial Jerman sering dijadikan rujukan, buruh kuat, namun tidak anarkis, kritis, namun tetap konstruktif.
Dari sini terlihat jelas perbedaan strategi dua tokoh besar buruh di Indonesia. Iqbal lebih mengandalkan mobilisasi massa dan politik elektoral, sementara Jumhur memilih konsolidasi dan dialog, dengan tetap menjaga kekuatan massa besar sebagai cadangan daya tawar. Mobilisasi memang bisa menarik perhatian, tetapi tanpa dukungan organisasi sebesar KSPSI, hasilnya kerap terbatas. Sebaliknya, strategi Jumhur terbukti lebih rasional dan berkelanjutan.
Ke depan, KSPSI berpotensi menjadi kekuatan dalam politik nasional. Dengan basis massa terbesar, organisasi ini bisa ikut serta dalam arah dukungan politik, sekaligus menjaga agar buruh tetap independen dan tidak terjebak dalam kepentingan elite.
Satu hal yang kini semakin terang, strategi KSPSI di bawah Jumhur Hidayat bukan hanya lebih efektif, tetapi juga lebih diterima buruh pekerja. Dan yang paling penting, ia menjaga agar gerakan buruh tetap murni memperjuangkan hak pekerja, bukan sekadar kepentingan politik praktis dan sesaat***
Rabu, 1 Oktober 2025, 13:18 Wib.