Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI -Apa yang ente pikirkan bila mendengar perusahaan negara di bawah BUMN? Rugi. Nah, itu yang sering muncul, jarang mendengar untung. Benarkah demikian? Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di panggung besar republik, BUMN berdiri bak wayang golek yang dipentaskan dalang bernama negara. Ada yang berdasi sutra, ada pula yang masih compang-camping, namun semua berlagak gagah di depan rakyat. Pertamina, sang raja minyak, belakangan tampil bagai maharaja baru. Setelah tujuh bulan Prabowo menghuni Istana, laporan keuangan Pertamina bergemuruh, laba bersih US$ 1,597 miliar atau sekitar Rp 26,3 triliun hingga Juli 2025. Angka ini dipamerkan seolah wahyu langit, ditambah kontribusi ke kas negara Rp 225,6 triliun lewat pajak, dividen, dan segala macam pungutan yang bikin Menteri Keuangan senyum lebar. Pertamina mendadak jadi superstar, dan netizen nyaris tepuk tangan seperti menonton konser K-pop.
Namun jangan lupa babak sebelumnya. Tahun 2022 Pertamina juga sudah pesta, laba Rp 56,6 triliun, naik 86 persen dari 2021. Tahun 2023 malah lebih gila, Rp 72,7 triliun, cukup untuk membeli semua durian di Kalimantan. Tapi pada 2024, raja minyak itu sempat tersedak, labanya turun ke Rp 49,5 triliun. Masih besar, tapi seperti sultan yang harus rela pakai Innova setelah terbiasa Bentley. Maka ketika 2025 mereka bangkit lagi, jangan buru-buru menganggap ini murni hasil doa Prabowo di subuh hari. Bisa jadi karena harga minyak sedang manis, kurs dolar sedikit jinak, atau sekadar semesta sedang ingin membuat laporan keuangan lebih Instagramable.
Di sisi lain ada PLN, sang penguasa kilat dan token. Tahun 2024 mereka catat pendapatan Rp 545,4 triliun, naik hampir 12 persen. Tetapi laba bersih justru menyusut 19 persen, tinggal Rp 17,76 triliun. Inilah paradoks listrik, uang masuk deras, untung malah merosot. Semester I 2024 lebih dramatis, laba jeblok 80 persen dibanding periode sebelumnya, seolah PLN sedang menjalani diet ekstrem. Namun semesta rupanya iba, semester I 2025 mereka kembali melesat, laba Rp 6,64 triliun, naik 32 persen. PLN bak mahasiswa malas yang IPK-nya naik turun, kadang 3,9, kadang 2,1, tapi tetap lulus karena dosen tak tega.
Di lorong belakang gedung BUMN, ada tujuh saudara malang yang masih memikul rapor merah. Krakatau Steel bergulat dengan utang seperti ksatria karatan yang terus ditempa. Bio Farma terengah karena biaya vaksin COVID-19 gratis menumpuk, mirip dokter yang disuruh mengobati kampung tapi gajinya ditunda. WIKA dan Waskita, dua BUMN konstruksi, sibuk bangun jalan tol tapi malah tersesat di tikungan rugi. Jiwasraya, asuransi negara, masih dihantui hantu masa lalu. Perumnas membangun rumah tapi lupa cara menghitung laba. Sementara Percetakan Negara entah sibuk cetak apa hingga modalnya ikut lenyap. Mereka semua berdiri seperti pahlawan kalah perang, menunggu mukjizat restrukturisasi yang dijanjikan menteri.
Inilah filsafat untung rugi di tanah air. Pertamina jadi nabi minyak dengan kitab laporan laba, PLN jadi pendeta cahaya yang kadang berkhotbah sambil padam. Sementara tujuh BUMN lain berperan sebagai murid abadi di kelas remedial. Negara tetap menagih setoran, ibarat guru yang menuntut SPP meski murid pingsan di lapangan. Angka laba dan rugi bukan sekadar hitungan Excel, tapi kisah epik tentang bagaimana republik ini menari antara neraca keuangan dan panggung politik.
Rakyat hanya bisa menonton, sambil memastikan listrik tetap nyala, BBM tetap ada, vaksin sudah disuntik, dan rumah Perumnas masih berdiri. Untung rugi BUMN pada akhirnya hanyalah lakon wayang. Kadang Arjuna yang gagah, kadang Petruk yang kocak, kadang Gatotkaca yang jatuh karena sayapnya pegal. Kita semua, penonton setia, hanya bisa menunggu babak berikutnya, apakah negeri ini akan tertawa karena untung lagi, atau menangis karena rugi lagi, atau sekadar bingung karena semua ini ternyata cuma komedi***