Mudanews.com – Opini | Sabtu 27 September 2025, Di sudut Kota Kualasimpang, di sebuah kios kecil yang terletak di pojok pasar, tumpukan rokok murah tanpa pita cukai terlihat samar disembunyikan di balik etalase kaca. Ada yang dijual per bungkus, ada pula ketengan. Murah, mudah dijangkau, dan jadi pilihan banyak orang: dari pegawai, wiraswasta, buruh harian, penarik becak, kernet angkutan hingga pelajar. Penjual selalu memastikan pembeli bukan aparat tertentu, terutama jika menanyakan merk yang identik dengan rokok non cukai.
Seperti sudah terjadwal, pada waktu tertentu datang seorang agen menggunakan sepeda motor membawa beberapa pack rokok non cukai dalam kantong beras. Dia menawarkan dari kios ke kios beberapa merk, menanyakan apakah stok kemarin sudah habis. Begitulah penampakan di Kualasimpang; lingkaran distribusi itu terus berputar.
Di sudut lain, seorang pemilik kios bercerita, “Kalau dijual sebungkus cepat habis. Tapi ketengan juga laris, karena orang beli sesuai isi kantong. Dengan begini, kami coba bertahan,” ujarnya sambil melayani pembeli.
Fenomena ini bukan hal baru. Rokok tanpa cukai telah lama menjadi denyut ekonomi kecil di kampung maupun kota. Namun di balik ramainya pembeli, pedagang justru dihantui ketakutan. Razia bisa datang sewaktu-waktu, menjadikan kios mereka seolah menjadi sasaran utama dari persoalan besar bernama peredaran rokok ilegal.
Pemerintah sendiri mengaku serius. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemberantasan rokok ilegal akan dilakukan menyeluruh. Dalam jumpa pers APBN Kita September 2025, ia menyatakan tidak segan menindak pihak manapun yang terlibat. Marketplace juga diminta menutup akses penjualan rokok ilegal secara online. Aparat terkait pun diperintahkan meningkatkan pengawasan, termasuk pemeriksaan acak di jalur hijau bandara yang selama ini jarang tersentuh.
Data resmi Ditjen Bea Cukai menunjukkan betapa masifnya masalah ini. Sepanjang 2024 tercatat 22 ribu penindakan, dengan 752 juta batang rokok ilegal disita. Angka itu jelas mencerminkan potensi penerimaan negara yang hilang, sekaligus tekanan bagi industri resmi.
Namun dilema muncul di lapangan. Pedagang kecil yang hanya mengikuti arus pasar justru paling mudah tersentuh razia. Sementara konsumen kelas bawah bergantung pada rokok murah, karena harga resmi terus naik akibat penyesuaian cukai.
Akar masalahnya sesungguhnya ada di hulu: produksi tanpa izin, distribusi gelap, hingga jalur penyelundupan. Tapi yang kerap ditindak justru hilir, pedagang kecil di pasar. Hukum terasa lebih tajam ke bawah, sementara sumber masalah di atas tetap kabur.
Janji pemberantasan rokok ilegal dalam tiga bulan memang terdengar tegas. Tetapi di kios kecil itu, pedagang masih harus menata bungkus dan ketengan dengan hati-hati. Mereka berharap dagangan laku, sekaligus takut jadi korban razia.
Pertanyaannya: apakah langkah pemerintah kali ini benar-benar menyentuh akar masalah?, atau sekadar menunjukkan ketegasan di permukaan—sementara sumber utama rokok ilegal tetap lolos dari jeratan hukum?
[tz] mudanews.com