Jadi Penasehat Ekonomi Bloomberg, Rakyat Tetap Akan Kejar Jokowi

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Agusto Sulistio*

Mudanews.com OPINI – Mantan Presiden Joko Widodo baru saja ditunjuk oleh Bloomberg New Economic (media ekonomi asing) sebagai Dewan Penasihat Global. Suatu panggung yang menempatkannya sejajar dengan tokoh negara lain, Mario Draghi dan Gina Raimondo. Media ramai menyorot kabar ini dan juga yang membuat tafsiran sendiri agar publik bangga, dan nama Jokowi menjadi relevan mewakili Indonesia kembali bergema di forum internasional.

Namun di balik viral berita dan opini, ada pertanyaan penting, benarkah penunjukan Jokowi ini murni karena prestasi, atau ada faktor kekuatan finansial?

Forum seperti Bloomberg New Economy ini memang dibuat bergengsi oleh pemiliknya guna kepentingan bisnisnya, tetapi sejatinya ini bukan lembaga kuat, besar dan resmi pengambil keputusan ekonomi dunia. Lebih tepat disebut klub elit internasional, yang diisi oleh para pemimpin, ekonom, CEO, dan taipan miliaran dolar berkumpul.

Di linkungan seperti ini uang adalah kunci utama sebagai tiket masuk yang strategis. Michael Bloomberg adalah miliarder dengan kekayaan lebih dari USD 90 miliar, sekaligus pemilik kerajaan media dan data keuangan. Anggota dewan yang dipilih seperti halnya Jokowi juga bukan sekadar pejabat, melainkan sosok yang punya uang banyak dan akses langsung kepada modal besar dunia. Artinya, selain rekam jejak politik, daya tarik finansial, baik melalui investasi, jaringan bisnis, maupun proyek besar merupakan pertimbangan utama.

Selama satu dekade Jokowi menjabat presiden terbukti telah melahirkan proyek-proyek raksasa dengan aliran modal luar biasa, walaupun akhirnya menjadi warisan utang untuk bangsa dan negara, misalnya: IKN Nusantara senilai Rp 460 triliun lebih, kereta cepat, jalan tol, bandara, pelabuhan yang didanai kombinasi APBN, utang, dan investasi asing. Kemudian Hilirisasi nikel dan mineral yang menyedot miliaran dolar dari Tiongkok, Korea Selatan, hingga Eropa.

Dengan jejak itu, Jokowi bukan hanya pemimpin politik, melainkan juga figur yang berdiri dalam pusaran finansial global.
Bagi Bloomberg Jokowi magnet investasi yang bisa memperkuat kredibilitas di mata para pelaku pasar. Bloomberg tak peduli dengan apa yang dilakukan Jokowi dalam investasi itu kemudian lahirkan kesengsaraan rakyat serta warisan utang jumbo.

Fenomena ini bukan hal baru. Sejarah menunjukkan banyak tokoh politik dunia masuk ke forum elit seperti bloomberg bukan semata karena prestasi, melainkan karena daya tarik finansial yang melekat pada mereka, seperti: Bill Clinton pasca-presiden, rutin hadir di forum bisnis global berkat jejaring Clinton Foundation yang mengelola miliaran dolar donasi. Tony Blair, mantan PM Inggris, duduk di dewan penasihat berbagai perusahaan karena kedekatan dengan jaringan modal Timur Tengah. Narendra Modi, PM India, dielu-elukan di Davos karena India dipandang sebagai pasar raksasa dengan potensi investasi triliunan dolar.

Dengan pola ini, kehadiran Jokowi di Bloomberg New Economy dapat dibaca sebagai bagian dari logika yang sama yakni politik mencari modal.

Kalau kita analogikan, misalnya kita bikin pesta mewah pernikahan. Agar tamu undang yang hadir tumpah ruah, biasanya kita tulis nama-nama orang-orang berpengaruh sebagai pihak yang turut mengundang. Harapannya mereka bisa ngajak relasinya untuk hadir ke acara.

Begitu pula Bloomberg. Mereka mencari tokoh yang tidak sekadar punya kekuatan politik, tetapi juga membawa akses orang-orang berduit / pemodal.

Jokowi dengan IKN, hilirisasi, dan proyek infrastruktur raksasa, diharapkan bloomberg Jokowi mau berinvestasi serta membawa koleganya ke forum ini, ya bisa dibilang marketing eksekutif.

Jadi perlu dimaknai bahwa jabatan Jokowi di Bloomberg ini simbolik, bukan eksekutif. Meaki bisa menambah gengsi, tapi tidak menurunkan harga beras atau memperbaiki kualitas hidup rakyat yang sampai ini miskin dan menganggur, apalagi menjawab soal dinasti politik keluarga Jokowi.

Di era Jokowi hingga saat ini (warisan utang Jokowi) masyarakat masih menghadapi, infrastruktur yang belum merata, daya beli yang lemah ekonomi tumbuh 5%, indeks demokrasi yang terus menurun (versi Economist Intelligence Unit). Korupsi stagnan (CPI Transparency International 2023: 34/100). Utang pemerintah Jokowi yang tembus lebih dari Rp 8.000 triliun.

Penutup

Masuknya Jokowi ke Bloomberg New Economy Global Advisory Board memberi dua pesan utama, ada pengakuan internasional atas kiprahnya sebagai pemimpin yang mengelola proyek ekonomi berskala besar. Ada daya tarik finansial Indonesia yang membuatnya dianggap layak duduk di meja elit global. Namun kita perlu jernih melihatnya, bahwa posisi Jokowi ini hanyalah simbol, bukan kekuasaan nyata. Bloomberg bukan pengatur ekonomi dunia, sekelas WTF, ILo, Unicef, dll, melainkan forum elit tempat para pemodal, ide, dan para tokoh yang dianggap berpengaruh saling berjumpa.

Bagi rakyat Indonesia, yang lebih penting bukanlah penunjukka bloomberg kepada Jokowi, atau siapa yang duduk bersama Jokowi di forum global itu, tetapi apakah Jokowi mau merespon segala tuntutan penderitaan rajyat atas kegagalannya menghadirkan sejahtera dan keadilan bagi rakyat?

Kemudian apakah dengan posisi Jokowi itu kemudian pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendapat kemudahan dalam menjawab masalah sehari-hari rakyat kesejahteraan, keadilan, demokrasi, pemberantasan korupsi, dan beban utang.

Rakyat tidak peduli “Dengan siapa Jokowi duduk di panggung dunia?” Rakyat akan bertanya: “Apakah nasib kami akan berubah?”

*Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Masjid Nur-Rohmah, Kalibata City, Jaksel, Sabtu 27 September 2025, 05:45 Wib.

Artikulli paraprak

Berita Terkini