Oleh Erizeli Bandaro pada 27 September 2025
Mudanews.com OPINI – Pesawat baru saja meninggalkan landasan Soekarno-Hatta, menuju Singapura. Malam itu kabin terasa hening, hanya suara mesin Rolls-Royce yang stabil, membawa saya bersama puluhan penumpang lain menembus langit.
Di kursi sebelah, seorang wanita muda membuka buku tebal tentang ekonomi makro. Saya menoleh sebentar, mengangguk singkat sebagai tanda sopan tanpa perlu menegur. Ia menangkap gestur itu, lalu tersenyum.
“Bapak bisnis ya ke Singapor?” tanyanya.
“Mau ketemu teman,” jawab saya singkat. “Kamu mahasiswi?”
“Saya kerja di PMA, tapi ambil magister lewat online.”
Saya mengangguk.
Dia menutup bukunya sebentar. “Saya bingung dengan narasi Menkeu Purbaya. Katanya dia orang pasar, tapi dia baru tahu tiap hari orang kirim valas ke luar negeri. Engga paham disiplin fiscal makanya kaget cukai rokok tinggi. Semakin sering dia ngomong semakin membuktikan he know nothing..”
Saya tersenyum tipis. Pertanyaan itu terlalu jujur, tapi juga terlalu dalam untuk ukuran percakapan ringan di kabin pesawat.
Saya mencondongkan badan sedikit. “Kalau kamu mau tahu kinerja pemerintah, jangan dengar pidato atau omongannya. Baca laporannya. Ada LKPP, laporan tahunan BI, laporan konsolidasi BUMN. Itu sumber aslinya. Kalau mau lebih ringkas, tunggu audit BPK, meski selalu telat. LKPP dan BI tepat waktu, datanya bisa diakses.”
Dia mengangguk, matanya berbinar. “Tapi itu kan tebal sekali, Pak. Seperti buku teks doktoral. Bahkan yang bergelar S3 belum tentu bisa mencerna. Membacanya butuh waktu, apalagi kalau mau bandingkan antar-tahun.
“Benar,” saya mengangguk. “Tapi saya kasih tips sederhana.”
Dia mengangguk.
Saya mengangkat tiga jari. “Pertama, pahami sistem akuntansi negara. Kedua, pahami sistem pengendalian moneter. Ketiga, pahami fungsi BUMN.”
Ia menatap penuh perhatian.
Pertama, APBN disusun berbasis kas: terima tunai, bayar tunai. Tapi laporan keuangan pemerintah berbasis akrual (SAP PP No.71/2010). Artinya, ada aset, utang, dan kewajiban yang tercatat. Masalahnya, utang BI atau utang BUMN tidak ditulis sebagai utang pemerintah pusat. Padahal secara fiskal itu contingent liabilities. Itu risiko nyata. Bahkan pensiun PNS jangka panjang masih belum tercermin dalam laporan. Itulah sebabnya rasio utang/GDP bukan satu-satunya indikator. Harus lihat juga debt service ratio, utang BUMN, jaminan negara, sampai kewajiban pensiun implisit.
Kedua, BI punya mandat menjaga stabilitas rupiah. Instrumennya suku bunga, operasi pasar, intervensi valas. Intervensi bukan sekadar kosmetik, tapi upaya menjaga inflasi agar tidak melonjak gara-gara harga impor. Dan ingat, suku bunga domestik adalah magnet modal. Naikkan, ya modal asing masuk. Turunkan, ya capital outflow terjadi. Itu mekanisme sederhana yang sering dilupakan politisi.
Ketiga, BUMN. Banyak orang kira BUMN adalah agent of development. Faktanya, mereka perusahaan biasa. Ukuran kinerjanya laba. Kalau bangun jalan tol, bandara, listrik, telekomunikasi, itu bisnis murni. Tariffnya komersial. Tidak bayar, tidak bisa menikmati. Kontribusinya ke rakyat hanya lewat pajak dan dividen, selebihnya profit. Jadi engga usah silau dengan asset BUMN. Itu hanya ruang pesta bagi elite. Kelak pesta usai, kita rakyat yang harus cuci piring lewat bailout APBN.
Wanita muda itu termenung sejenak, lalu berkata lirih “Jadi, apa yang sering diumumkan pemerintah lebih mirip marketing ketimbang realitas?”
Saya menatap keluar jendela, ke arah kilau lampu Batam yang sebentar lagi lewat di bawah sayap. “Betul. Kadang lebih mirip buzzer influencer. Pemerintah boleh bicara apa saja. Tapi pasar hanya percaya pada angka—angka dalam laporan resmi yang dapat diukur secara mikro maupun makro. Kapital tidak bisa dibohongi. Capital Outflow terjadi bukan karena rumor, tapi karena disiplin fiskal tidak terjaga.”
Dia menutup bukunya. “Terima kasih, Pak. Saya baru sadar, membaca laporan itu seperti belajar bahasa yang berbeda. Ada yang tersurat, ada yang tersirat.”
Saya tersenyum. “Begitulah. Ekonomi makro bukan soal narasi, tapi soal siapa yang membayar tagihan ketika lampu pesta sudah padam. Ya rakyat kan. Makanya cerdaslah sebagai rakyat, setidak nya tidak mudah percaya begitu saja dengan narasi pemerintah yang kadang terkesan populis dan too good to be true. Padahal menipu”
Pesawat terus melaju. Obrolan pun berhenti, menyisakan hening yang sarat makna. Dalam benak saya, ironi terasa begitu tajam: laporan pemerintah selalu tebal, tetapi isi perut rakyat tetap tipis.
***
Keyakinan masyarakat terhadap ekonomi Indonesia kembali meredup. Data terbaru Bank Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan Indeks Kondisi Ekonomi saat Ini (IKE) hanya sebesar 105,1, turun dari 106,6 pada Juli. Angka ini menjadi yang terendah sejak April 2022, saat pandemi Covid-19 varian Delta menghantam dan IKE jatuh ke 98,9. Turunnya IKE bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin nyata dari rapuhnya daya beli, semakin sempitnya peluang kerja, dan menurunnya minat konsumsi. Ketika tiga pilar itu goyah, maka fondasi pertumbuhan ekonomi pun terguncang.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa likuiditas perekonomian (M2) pada Agustus 2025 mencapai Rp9.657,1 triliun atau tumbuh 7,6% yoy. Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan M1 sebesar 10,5% dan uang kuasi sebesar 5,6%. Di atas kertas, angka ini seakan memberi sinyal positif. Peredaran uang yang melimpah, sistem keuangan cair, dan aktivitas transaksi yang dinamis. Namun, jika dicermati lebih dalam, lonjakan likuiditas ini lebih menyerupai pesta ilusi ketimbang pertumbuhan riil.
Grafik yang disajikan memperlihatkan korelasi yang jelas. Semakin tinggi M2, semakin melemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Fenomena ini mengindikasikan adanya mismatch fundamental. Suplai uang bertambah, tetapi tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas produksi barang dan jasa.
Secara teori Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar dapat mendorong permintaan agregat. Namun, ketika kapasitas produksi stagnan, efek multiplier menjadi terbatas, dan uang yang beredar hanya memperbesar tekanan inflasi. Analogi “sawah tetap menghasilkan 10 karung, tetapi kupon dibagikan dua kali lipat” menggambarkan distorsi ini.
Dari perspektif Quantity Theory of Money (MV = PY), jika kecepatan perputaran uang (V) dan output riil (Y) relatif konstan, maka kenaikan M (money supply) hanya akan meningkatkan P (harga). Inilah yang terjadi di Indonesia: uang mengalir deras, tetapi produktivitas tidak tumbuh sepadan.
Apa implikasinya terhadap makro ekonom? Pertama. Inflasi dan Kurs Rupiah. Pertumbuhan M2 yang tidak diimbangi oleh produksi riil memperlemah kurs. Data menunjukkan, kurs USD/IDR mendekati Rp16.500 per dolar AS pada agustus 2025, seiring lonjakan M2. Kondisi ini menggerus daya beli masyarakat, meningkatkan biaya impor, dan memperparah defisit transaksi berjalan.
Kedua. Struktur Investasi yang Renteistik. Alih-alih masuk ke sektor produktif, tambahan likuiditas lebih banyak terserap di pasar aset: properti, obligasi, bursa saham dan instrumen spekulatif. Fenomena ini sejalan dengan literatur financialization (Epstein, 2005), di mana sistem keuangan lebih sibuk memperbesar valuasi aset ketimbang mendukung industri riil.
Ketiga. Beban Fiskal. RAPBN 2026 menghadapi defisit yang melebar, sementara belanja bunga dan pokok utang terus meningkat. Dalam situasi ini, kebijakan moneter longgar justru menambah risiko crowding-out, karena kebutuhan pembiayaan fiskal mendorong suku bunga lebih tinggi.
Lucunya dalam narasi resmi, ketiga hal tersebut diabaikan. Pelonggaran likuiditas disebut stimulus untuk menjaga pertumbuhan. Namun, dalam praktik, ia justru memperburuk ketidakseimbangan struktural. Apa yang tampak sebagai “pesta pertumbuhan” hanyalah pesta kupon—tanpa fondasi produksi riil.
Lebih ironis lagi, independensi Bank Indonesia tergerus oleh kepentingan fiskal. Bukannya menjaga stabilitas rupiah, BI dipaksa menjadi “dealer kupon” untuk menopang defisit. Sejarah membuktikan (misalnya kasus Indonesia 1997 dan Sri Lanka 2022), pesta likuiditas tanpa basis riil selalu berakhir dengan krisis kepercayaan.
Makanya secara terpelajar dan tekhnorat, pemerintah harus lakukan empat hal. Pertama. Pemerintah perlu memangkas defisit dan memperkuat penerimaan struktural, bukan mengandalkan pencetakan likuiditas. Kedua. BI harus kembali ke mandat utama: stabilitas harga dan kurs. Ketiga. Likuiditas harus diarahkan ke sektor produktif (industri pengolahan, agro, manufaktur), bukan sekadar memompa harga aset. Keempat. Reformasi institusional diperlukan agar kebijakan tidak lagi dikendalikan oleh elite rente.
Pertumbuhan M2 sebesar 7,6% yoy pada Agustus 2025 bukanlah tanda ekonomi sehat, melainkan alarm dini atas ilusi pertumbuhan. Seperti dalam pesta kupon, rakyat kecil hanya menerima janji, sementara konglomerat rente menguasai lumbung. Korelasi yang terlihat di grafik antara M2 dan pelemahan kurs adalah bukti empiris bahwa strategi ini rapuh.
Rupiah yang jinak tidak lahir dari banjir likuiditas, melainkan dari disiplin fiskal, independensi moneter, dan tata kelola yang kredibel. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang siklus krisis kepercayaan yang sama.
Referensi
Bank Indonesia. (2025). Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Friedman, M. (1956). The Quantity Theory of Money – A Restatement. Epstein, G. (2005). Financialization and the World Economy. Edward Elgar. Reinhart, C., & Rogoff, K. (2009). This Time Is Different: Eight Centuries of Financial Folly. Princeton University Press. Krugman, P. (1998). The Return of Depression Economics. W.W. Norton. AMRO (2024). ASEAN+3 Regional Economic Outlook.