Mudanews.com Jakarta, — Kasus hukum yang menimpa Awwab dan Marsel, dua pekerja lapangan yang didakwa akibat memasang patok di area tambang nikel Halmahera Timur, menyisakan tanda tanya besar bagi keadilan ketenagakerjaan di Indonesia.
Pengamat ketenagakerjaan Aznil Tan menilai perkara ini menunjukkan indikasi kriminalisasi pekerja.
“Sengketa sebenarnya terjadi antarperusahaan, tetapi yang dijadikan korban justru pekerja yang hanya menjalankan tugasnya,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Watch ke media, Jakarta (17/9/2025).
Menurutnya, Awwab dan Marsel meyakini bahwa patok dipasang di wilayah yang sah milik PT Wana Kencana Mineral (WKM) berdasarkan peta resmi pemerintah dan Kementerian Perhubungan. Tindakan mereka dilakukan dalam konteks pekerjaan, bukan untuk kepentingan pribadi.
“Seharusnya pekerja mendapat perlindungan hukum dan advokasi ketika melaksanakan instruksi perusahaan, bukan malah diposisikan sebagai terdakwa,” tegas Aznil Tan
Kasus ini semakin janggal karena sejumlah saksi yang dihadirkan di persidangan mengaku tidak mengenal terdakwa. Bahkan proses pengangkatan patok tidak dilakukan sesuai prosedur hukum acara pidana, di mana saksi independen dari perangkat desa seharusnya dilibatkan. “Hal-hal ini menunjukkan perlunya pengadilan bersikap lebih hati-hati dan objektif,” lanjutnya.
Selain itu, ia juga menyoroti posisi masyarakat adat yang secara de facto telah lebih dulu mendiami dan mengelola lahan tersebut. Namun, secara legalitas masyarakat adat sering kali lemah sehingga rawan dimanfaatkan oleh para investor.
“Situasi ini kerap menimbulkan konflik. Pemerintah daerah semestinya hadir secara bijak untuk melindungi masyarakat adat dan menengahi perselisihan, bukan serta-merta membawa kasus ke meja pengadilan,” jelas Aznil Tan yang terkenal lantang membela pekerja dan tanah adat.
Menurutnya, investor yang berkonflik dengan masyarakat adat biasanya tidak akan bertahan lama karena kehilangan legitimasi sosial.
“Kehadiran investor seharusnya memperkuat harmoni dengan masyarakat adat, bukan menciptakan gesekan. Kalau konflik dibiarkan, kepercayaan publik akan hilang dan keberlanjutan investasi akan terganggu,” tambah Aznil.
Sebagai pengamat ketenagakerjaan, Aznil Tan menyampaikan tiga poin penting:
1. Perlindungan Pekerja — Pekerja lapangan harus terlindungi secara hukum dalam setiap tindakan kerja, terutama ketika melaksanakan instruksi perusahaan.
2. Objektivitas Pengadilan — Hakim diharapkan benar-benar memeriksa alat bukti, kredibilitas saksi, serta dokumen kepemilikan lahan agar perkara ini tidak salah arah.
3. Pemisahan Sengketa — Jika masalah utama adalah konflik kepemilikan lahan antar perusahaan atau dengan masyarakat adat, maka penyelesaiannya mestinya berada di ranah perdata dan mediasi, bukan menjadikan pekerja sebagai pihak yang dipidana.
“Kasus Awwab dan Marsel adalah alarm keras agar aparat penegak hukum lebih melindungi pekerja. Jangan sampai pekerja kecil menjadi tumbal dari konflik perusahaan besar,” tutup Aktivis 98 ini**(Red)