Oleh: Aznil Tan (Aktivis 98)
Mudanews.com OPINI – Pemerintah kembali menempuh jurus lama: mengguyur Rp 200 triliun ke bank-bank nasional dengan harapan ekonomi bergairah.
Logika Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa adalah daripada dana berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sebelumnya “nongkrong” di Bank Indonesia lebih baik dana tersebut berputar di sistem ekonomi.
Purbaya dengan penuh percaya diri bahwa langkah fiskal yang ia ambil—termasuk mengguyur Rp 200 triliun ke bank Himbara—merupakan bagian dari strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke angka 6–7 persen, bahkan menuju 8 persen dalam jangka menengah.
Tidak cukup itu saja, penempatan dana Rp 200 triliun ke bank Himbara dilakukan tanpa tenor tetap, tanpa instrumen pasar uang yang rigid, dan tanpa target penyaluran kredit yang terukur secara formal. Purbaya menyebut, “suka-suka saya sampai kapan,” seolah ia punya keleluasaan penuh atas dana tersebut.
Ia berbicara dengan nada yang sangat personal dan penuh keyakinan, seperti seorang pemilik modal yang sedang menantang manajer investasi: “Kalau kalian nggak bisa pakai, saya ambil lagi.”
Pertanyaannya, apakah jurus klasik semacam ini benar-benar ampuh untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Mimpi Pertumbuhan Ekonomi dengan Rp 200 Triliun
Melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, Purbaya menetapkan penempatan dana negara sebesar Rp 200 triliun pada lima bank umum mitra besar milik pemerintah.
Dana tersebut dibagi kepada BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing sebesar Rp 55 triliun, sementara BTN menerima Rp 25 triliun dan BSI Rp 10 triliun. Penempatan ini bersifat sementara dengan tenor enam bulan yang masih bisa diperpanjang.
Kebijakan ini disertai syarat bahwa dana tersebut harus digunakan untuk mendukung sektor riil dan tidak boleh dialihkan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN).
Tujuannya jelas, yakni menambah likuiditas perbankan agar lebih leluasa menyalurkan kredit dan sekaligus menekan biaya dana atau bunga. Dengan tambahan likuiditas sebesar itu, pemerintah berharap bank-bank tidak lagi “pusing” mencari sumber pembiayaan, melainkan lebih aktif menggerakkan pinjaman ke sektor produktif.
Lebih jauh, langkah ini juga dimaksudkan untuk memperdalam pasar keuangan domestik. Dengan menempatkan bank-bank pemerintah sebagai saluran utama, negara berusaha memastikan dana publik benar-benar mengalir ke jantung perekonomian.
Secara teori, tidak ada yang salah dengan langkah fiskal dilakukan oleh Menkeu Purbaya ini. Jurus mengguyur dana ke sektor perbankan bukanlah strategi baru.
Banyak negara telah mencobanya dalam berbagai bentuk dan skala, terutama saat menghadapi krisis atau stagnasi ekonomi. Amerika Serikat melakukannya lewat Quantitative Easing, di mana Bank Sentral membeli obligasi dan aset keuangan dalam jumlah besar untuk menyuntikkan likuiditas. Hasilnya cukup efektif dalam memulihkan pasar dan mendorong kredit, meski memicu ketimpangan dan inflasi jangka panjang.
Jepang sudah puluhan tahun menjalankan stimulus moneter ultra-long, mengguyur dana ke sistem perbankan dan membeli aset swasta. Ekonominya stabil, tapi pertumbuhan tetap lambat, menjadikan Jepang contoh ekstrem dari stimulus yang tidak selalu menghasilkan lonjakan.
Tiongkok menggunakan pendekatan kredit terarah, mengguyur dana ke bank milik negara untuk menyalurkan pembiayaan ke infrastruktur dan UMKM. Strategi ini berhasil menjaga pertumbuhan di atas 6 persen dan mencegah PHK massal, tapi juga menciptakan tekanan struktural berupa utang korporasi dan bubble properti.
Brasil pernah menempuh langkah serupa dengan mengguyur dana ke bank pembangunan dan komersial, namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Kredit UMKM meningkat, tapi inflasi melonjak dan ketergantungan pada subsidi fiskal makin besar.
Indonesia sendiri sudah mulai menempuh jalur ini sejak pandemi 2020, dengan menempatkan dana pemerintah di bank Himbara agar disalurkan ke sektor riil. Respons awal dari bank-bank Himbara cukup positif.
Mereka menyebut kebijakan ini sebagai stimulus likuiditas yang diyakini mampu memperkuat fungsi intermediasi (perantara keuangan) perbankan dan mendorong pembiayaan produktif. Namun efektivitasnya masih sangat bergantung pada aturan teknis, tata kelola, dan kesiapan sektor riil menyerap kredit.
Bahkan sejumlah bank mengaku masih menunggu kejelasan skema dan prioritas penyaluran sebelum bisa benar-benar menggerakkan dana.
Dengan kata lain, hasilnya belum bisa diukur secara pasti. Penyerapan dana masih dalam tahap awal, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi belum terlihat konkret.
Klaim Menkeu Purbaya bahwa dalam satu hingga dua tahun ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6–7 persen masih sebatas janji yang belum teruji secara empiris. Terlebih lagi, ia menyatakan bahwa dalam waktu tiga bulan kondisi ekonomi akan terlihat cerah—sebuah pernyataan yang ambisius, namun belum didukung oleh indikator konkret maupun kesiapan sistemik di lapangan.
Optimisme fiskal semacam ini memang menggugah, tapi tanpa disiplin eksekusi dan penyaluran yang terukur, ia berisiko menjadi retorika yang tidak berbuah hasil.
Banyak ekonom justru mengingatkan bahwa langkah ini berisiko terhadap kesehatan fiskal negara.
Kalau Rp 200 triliun hanya mengendap di bank atau dialirkan ke proyek-proyek yang “aman” tapi tidak menghasilkan nilai tambah besar, maka uang negara tidak benar-benar bekerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akibatnya, reputasi fiskal pemerintah bisa turun, karena publik dan investor melihat kebijakan hanya sekadar memindahkan uang tanpa hasil nyata. Janji pertumbuhan 6–7 persen pun tampak utopis.
Singkatnya, tanpa disiplin eksekusi, dana besar itu hanya jadi “uang parkir” yang mahal dan bisa berbalik menjadi masalah.
Disisi lain, Bank-bank Himbara pun menyambut dana tersebut dengan antusiasme yang bercampur kehati-hatian. Mereka mengakui manfaat tambahan likuiditas, tetapi belum siap menyerapnya secara cepat dan produktif. Beberapa bahkan hanya mampu menyalurkan sekitar Rp 7 triliun, jauh di bawah alokasi yang diberikan.
Risikonya jelas: jika penyaluran dipaksakan tanpa seleksi kredit yang ketat, maka yang muncul bukan pertumbuhan, melainkan kredit macet, moral hazard, hingga tekanan inflasi.
Pertumbuhan Ekonomi dengan Merebut Pasar Kerja Global
Apakah mengguyur dana ke bank satu-satunya jurus menumbuhkan perekonomian Indonesia, terutama membuka lapangan pekerjaan? Sebenarnya masih banyak langkah terobosan lain yang bisa dilakukan—lebih efektif, lebih terukur, dan jauh lebih minim risiko terhadap keuangan negara.
Salah satu strategi jangka pendek yang praktis sekaligus taktis adalah merebut pasar kerja global. Di tengah surplus tenaga kerja, Indonesia memiliki modal demografis yang melimpah, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Ekspansi tenaga kerja ke luar negeri bukan hanya memperkuat fondasi ekonomi domestik, tetapi juga membuka jalan bagi peningkatan devisa, alih keterampilan, dan penguatan diplomasi ekonomi yang lebih aktif dan berdaya saing.
Berbeda dengan kebijakan yang sifatnya tidak langsung, langkah ini menyentuh langsung akar persoalan rakyat: kebutuhan akan lapangan kerja. Dampaknya pun terasa nyata—pengangguran berkurang, pendapatan keluarga meningkat, dan roda ekonomi ikut berputar lebih kencang di masyarakat.
Strategi ini tidak membutuhkan anggaran negara dalam skala besar. Yang dibutuhkan hanyalah terobosan regulatif: mempermudah akses rakyat untuk bekerja lintas batas sekaligus memastikan pelindungan yang memadai. Bukan hal rumit, hanya butuh kemauan politik dan keberanian administratif untuk mengeksekusinya.
Kuncinya terletak pada keberanian membuang mindset lama dan membongkar aturan-aturan berbelit yang tidak efisien—sering kali menjadi sarang bancakan birokrasi. Tanpa reformasi regulatif, dunia ketenagakerjaan akan terus berjalan lambat, eksklusif, dan rentan eksploitasi. Padahal, dengan sistem yang lebih lincah, produktif, inklusif, dan terlindungi, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam pasar kerja global.
Saat berbagai negara mengalami “kiamat tenaga kerja”—krisis demografis, penuaan populasi, dan kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor strategis—Indonesia justru memiliki limpahan tenaga kerja serbaguna, middle skill, dan low skill yang siap bersaing. Lapangan kerja global terbuka luas. Tinggal bagaimana negara memfasilitasi aksesnya secara sistemik dan berkelanjutan.
Dengan suntikan dana hanya Rp 10 triliun, negara bisa membuka akses kerja luar negeri bagi 1–2 juta orang per tahun—dari total kebutuhan 3–4 juta lapangan kerja baru yang harus diciptakan setiap tahun. Selain menyerap angkatan kerja, strategi ini juga menghasilkan devisa yang signifikan.
Pada tahun 2025, devisa dari remitansi pekerja migran Indonesia didapat lebih Rp 250 triliun. Potensi ini bahkan bisa menyentuh Rp 500 triliun jika dilakukan optimalisasi penempatan dan diplomasi pasar kerja.
Ironisnya, meskipun negara telah membentuk Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI)—yang sebelumnya berstatus sebagai Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI)—potensi pasar kerja global masih diperlakukan sebagai anak tiri dalam arsitektur kebijakan nasional.
Setiap tahun, penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri hanya berkisar di angka 300 ribuan, jauh di bawah potensi pasar kerja global yang terbuka hingga 2 juta posisi per tahun. Ketimpangan ini bukan karena kurangnya tenaga kerja, melainkan karena minimnya keberanian regulatif, diplomasi pasar kerja, dan reformasi kelembagaan yang seharusnya menjadikan migrasi produktif sebagai strategi utama pertumbuhan ekonomi.
Kementerian ini lebih sering berfungsi sebagai jatah politik ketimbang menjadi instrumen strategis untuk merebut pasar kerja global dan memperkuat pelindungan pekerja migran secara sistemik.
Jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif, kontribusi remitansi terhadap pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 1 persen PDB. Ini bukan sekadar angka, tetapi peluang nyata untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap)—dengan strategi yang konkret, inklusif, dan berdampak langsung bagi jutaan rakyat.
Menata Ulang Skala Prioritas
Kebijakan fiskal mengguyur Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara adalah langkah besar yang secara teori terlihat menjanjikan, tetapi dalam praktik masih penuh ketidakpastian.
Penyaluran dana belum optimal, sektor riil belum siap menyerap kredit, dan klaim pertumbuhan ekonomi 6–7 persen dalam waktu singkat belum ditopang indikator konkret. Tanpa disiplin eksekusi dan seleksi kredit yang ketat, dana besar itu hanya berisiko menjadi “uang parkir” yang mahal, menimbulkan moral hazard, dan merusak reputasi fiskal negara.
Sebaliknya, strategi merebut pasar kerja global menawarkan alternatif yang lebih praktis, terukur, dan minim risiko fiskal. Dengan modal demografis yang melimpah dan kebutuhan tenaga kerja global yang kian meningkat, ekspansi tenaga kerja ke luar negeri bisa menjadi mesin pertumbuhan baru—menghasilkan devisa, memperkuat diplomasi ekonomi, sekaligus menyerap jutaan angkatan kerja.
Sayangnya, potensi ini masih diperlakukan setengah hati. Bahkan sering dipandang sebelah mata, seolah bekerja di luar negeri hanyalah pekerjaan rendahan. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pekerja migran justru mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga, membangun mental unggul, serta berkontribusi nyata pada ekonomi nasional.
Beberapa negara telah membuktikan bahwa strategi ini bukan sekadar solusi darurat, melainkan pilar pembangunan ekonomi. Korea Selatan, India, dan Filipina adalah contoh nyata bagaimana ekspor tenaga kerja dapat menopang kekuatan ekonomi nasional.
Karena itu, agar ekonomi Indonesia benar-benar tumbuh dan masyarakat lebih produktif, kita tidak bisa hanya bergantung pada satu jurus fiskal. Dibutuhkan strategi paralel yang berani, sistemik, dan berpijak pada realitas.
Mimpi pertumbuhan ekonomi tidak akan terwujud hanya dengan mengguyur dana ke bank. Ia harus dibangun melalui keberanian menata ulang prioritas, termasuk menjadikan pasar kerja global sebagai bagian penting dari arsitektur ekonomi nasional—yang dikelola serius, bukan sekadar pelengkap.**