𝐓𝐢𝐠𝐚 𝐖𝐚𝐣𝐚𝐡 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢, 𝐊𝐨𝐦𝐨𝐝𝐢𝐭𝐚𝐬, 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐔𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐏𝐫𝐚𝐛𝐨𝐰𝐨

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht.

Mudanews.com-Opini | Selama dua dekade terakhir, Indonesia menyaksikan tiga wajah kepemimpinan yang berbeda: Megawati Soekarnoputri sebagai stabilisator pasca-krisis, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai administrator era boom komoditas, dan Joko Widodo (Jokowi) sebagai arsitek infrastruktur yang membungkam oposisi sekaligus mengikis demokrasi.

Ketiganya membawa stabilitas relatif, tetapi gagal melakukan reformasi struktural yang berani. Indonesia masih terjebak dalam middle-income trap, bergantung pada komoditas, rapuh di hadapan guncangan global, dan semakin tersandera oligarki domestik.

Kini, menjelang satu tahun kepemimpinan Prabowo Subianto, bangsa ini menghadapi persimpangan sejarah: melanjutkan warisan setengah matang Jokowi atau menabrak oligarki demi reformasi sejati.

Artikel ini menelisik tiga fase kepemimpinan ekonomi politik Indonesia secara kritis, lalu menawarkan proyeksi tiga skenario untuk Prabowo: optimis, baseline, dan pesimis.

𝐏𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐚𝐧: 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐤𝐚𝐩.

Pasca-Reformasi 1998, banyak pengamat menyebut Indonesia sebagai “laboratorium demokrasi terbesar di dunia Muslim” (Aspinall, 2014). Namun laboratorium ini bukan sekadar uji coba politik, melainkan juga arena ekonomi politik yang seringkali pincang.

Demokrasi membuka ruang kebebasan, tetapi kompromi politik membuat reformasi ekonomi sulit berjalan.

Ekonomi Indonesia memang tumbuh rata-rata 5% dalam dua dekade terakhir, tetapi angka ini menutupi kenyataan pahit:

ketimpangan meningkat, industrialisasi mandek, dan demokrasi perlahan terkikis. Dalam konteks inilah, wajah tiga presiden terakhir harus dibaca dengan kacamata kritis.

𝐌𝐞𝐠𝐚𝐰𝐚𝐭𝐢: 𝐒𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐛𝐞𝐥𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐥

Warisan Krisis dan Austerity

Megawati mewarisi negeri yang porak-poranda. Krisis 1998 menghancurkan perbankan, nilai rupiah anjlok dari Rp2.500 menjadi Rp15.000 per dolar AS, dan kepercayaan global luntur.

Ia memilih strategi penghematan (austerity) yang ketat, ibarat dokter yang sekadar mencegah pasien mati mendadak, bukan menyembuhkan penyakit kronis.

Keluar dari IMF pada 2003 dianggap prestasi simbolik. Miranda Goeltom (2013) menyebut langkah ini sebagai “rebut kembali kedaulatan.” Namun, langkah tersebut tidak gratis: Indonesia harus tunduk pada privatisasi BUMN dan menjual aset strategis seperti Semen Gresik.

𝐏𝐫𝐢𝐯𝐚𝐭𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤

Ekonom Faisal Basri (2005) menyebut privatisasi ini sebagai underprice dan tergesa-gesa — “menjual sapi perah yang bisa menghasilkan susu jangka panjang.” Kritik ini sahih: banyak aset dilepas ke investor asing, sementara masyarakat tidak merasakan manfaat langsung.

𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐑𝐚𝐩𝐮𝐡, 𝐊𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐭𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢

Koalisi “Gotong Royong” Megawati rapuh, DPR terfragmentasi, dan elite politik lebih sibuk bernegosiasi kursi ketimbang merancang industrialisasi. Akibatnya, kebijakan ekonomi hanya sekadar manuver bertahan hidup, bukan strategi jangka panjang.

Perbandingan Regional

Thailand pasca-krisis mampu mendorong ekspor manufaktur dan menarik FDI besar-besaran (Haggard, 2018). Korea Selatan, meski terpukul, justru memperkuat konglomerat (chaebol) dan meluncurkan gelombang industrialisasi baru. Indonesia? Stagnan.

Stabilitas Megawati lebih tepat disebut “penundaan masalah,” bukan penyelesaian.

𝐒𝐁𝐘: 𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐄𝐦𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐚-𝐬𝐢𝐚𝐤𝐚𝐧.

Boom Komoditas: Keberuntungan Eksternal

SBY memimpin di era ketika harga minyak sawit, batu bara, dan karet melonjak di pasar global.

Pertumbuhan stabil di angka 5–6%, kemiskinan turun dari 16,7% (2004) menjadi 11,3% (2014) (BPS, 2015), dan defisit fiskal terkendali.

Di mata publik internasional, SBY sukses: Indonesia masuk kategori investment grade, bahkan dipuji sebagai emerging giant (World Bank, 2013).

𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐇𝐚𝐫𝐦𝐨𝐧𝐢, 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧.

Dengan “𝘳𝘢𝘪𝘯𝘣𝘰𝘸 𝘤𝘰𝘢𝘭𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯” yang menguasai hampir seluruh parlemen, SBY menikmati stabilitas politik nyaris sempurna. Tapi harmoni ini dibayar mahal.

SBY menghindari keputusan tidak populer demi menjaga koalisi. Reformasi pajak progresif tak pernah dijalankan, subsidi energi tetap dibiarkan membengkak.

Bahkan Sri Mulyani, menteri keuangan SBY, menegaskan bahwa masa itu adalah 𝘸𝘪𝘯𝘥𝘰𝘸 𝘰𝘧 𝘰𝘱𝘱𝘰𝘳𝘵𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 yang gagal dimanfaatkan (Indrawati, 2015).

Gejala 𝘔𝘪𝘥𝘥𝘭𝘦-𝘐𝘯𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘛𝘳𝘢𝘱

Indonesia tidak beranjak dari ketergantungan pada komoditas. Industri manufaktur stagnan, kontribusi ekspor manufaktur justru turun.

Bank Dunia (2013) berkali-kali memperingatkan risiko 𝘔𝘪𝘥𝘥𝘭𝘦-𝘐𝘯𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘛𝘳𝘢𝘱.

𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥

Vietnam, pada periode yang sama, justru agresif mengembangkan manufaktur elektronik dan tekstil, menarik FDI raksasa dari Samsung hingga Intel.

Sementara Malaysia mulai menggeser ekonomi berbasis minyak ke jasa keuangan dan teknologi. Indonesia terlalu nyaman jadi eksportir batu bara dan sawit.

𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐏𝐨𝐥𝐞𝐦𝐢𝐤

SBY lebih tepat disebut “manajer perusahaan yang sedang untung karena harga pasar bagus,” bukan seorang negarawan visioner. Ia menikmati hasil, tetapi gagal menanam benih.

𝐉𝐨𝐤𝐨𝐰𝐢: 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐟, 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐭𝐚𝐤

𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐋𝐞𝐠𝐢𝐭𝐢𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Jokowi datang dengan janji perubahan. Ia membangun tol trans-Jawa, proyek listrik 35.000 MW, hingga bandara Kertajati.

Paradigma utang bergeser: bukan sekadar stabilisasi (Megawati) atau jaring pengaman sosial (SBY), melainkan alat investasi fisik.

Namun, Bhima Yudhistira (2022) mengingatkan bahwa 𝘲𝘶𝘢𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘧 𝘨𝘳𝘰𝘸𝘵𝘩 dipertanyakan: defisit perdagangan manufaktur melebar, dan utang melonjak dari Rp2.600 triliun (2014) menjadi lebih dari Rp8.000 triliun (2024).

𝐏𝐚𝐧𝐝𝐞𝐦𝐢: 𝐔𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐓𝐞𝐫𝐝𝐮𝐠𝐚

Saat pandemi Covid-19, pemerintah menggelontorkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan defisit anggaran melebar.

Joseph Sternberg (2021) menilai kebijakan fiskal Indonesia relatif disiplin dibanding negara lain. Indonesia terhindar dari hiperinflasi. Tetapi stimulus lebih banyak mengalir ke korporasi besar ketimbang UMKM.

𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐇𝐞𝐠𝐞𝐦𝐨𝐧𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐥𝐥𝐢𝐛𝐞𝐫𝐚𝐥.

Jokowi menutup oposisi dengan merangkul hampir semua partai. UU Cipta Kerja disahkan cepat tanpa debat memadai. Pelemahan KPK dan penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik menurunkan peringkat demokrasi Indonesia di mata internasional (𝑭𝒓𝒆𝒆𝒅𝒐𝒎 𝑯𝒐𝒖𝒔𝒆, 2022).

𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝟐𝟎𝟏𝟒–𝟐𝟎𝟏p juga meninggalkan luka sosial mendalam. Demokrasi yang dulu berisik, kini cenderung sunyi — tapi bukan karena matang, melainkan karena dibungkam.

Perbandingan Regional

Malaysia di era Najib Razak juga membangun infrastruktur masif, tetapi terjebak skandal korupsi 1MDB.

Vietnam tetap unggul dengan basis manufaktur ekspor. Jokowi mengulang kesalahan Malaysia: pembangunan fisik tidak diiringi industrialisasi yang sehat.

𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐏𝐨𝐥𝐞𝐦𝐢𝐤

Jokowi berhasil membangun jalan tol, tapi juga membangun jalan tol menuju demokrasi illiberal.

Pertumbuhan ekonomi tetap 5% — sama seperti SBY — hanya dengan utang lebih besar dan demokrasi lebih rapuh.

𝐏𝐫𝐚𝐛𝐨𝐰𝐨: 𝐔𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚

𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐉𝐨𝐤𝐨𝐰𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐝𝐚𝐥 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Prabowo naik dengan legitimasi kuat. Semua partai besar mendukungnya. Ia mewarisi infrastruktur megah dan beban utang yang berat.

Pertanyaan krusial: apakah ia hanya jadi penjaga warisan Jokowi, atau berani memutus rantai kompromi oligarki?

𝐒𝐤𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐨 𝐏𝐫𝐨𝐲𝐞𝐤𝐬𝐢

1. Optimis

– Hilirisasi nikel, tembaga, dan mineral berhasil.

– Pertanian dan pangan diperkuat.

– BUMN direformasi jadi korporasi profesional.

– Pertumbuhan bisa menembus 6%.

2. Baseline

– Hilirisasi hanya jargon.

– Infrastruktur diteruskan tanpa perbaikan industri.

– Pertumbuhan tetap 5%.

– Utang makin berat, ketimpangan melebar.

3. Pesimis

– Patronase politik lewat BUMN makin kuat.

– Oligarki mendikte kebijakan.

– Konflik global (AS–China) menekan ekspor.

– Utang membengkak, APBN jebol, krisis fiskal mengancam.

𝐑𝐢𝐬𝐢𝐤𝐨 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Prabowo menghadapi dunia multipolar: tarik-menarik AS dan China serta Rusia, perang dagang, serta krisis pangan global.

Jika hanya fokus pada domestik tanpa strategi geopolitik, Indonesia rawan terseret badai global.

𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩: 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐮𝐧𝐮𝐡 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢?

Tiga presiden terakhir memberi pelajaran keras. Megawati: stabil tapi tanpa arah. SBY: menikmati boom tanpa reformasi. Jokowi: membangun fisik, meruntuhkan demokrasi.

Kini, Prabowo berdiri di persimpangan. Ia bisa jadi “penjaga warisan Jokowi” atau “pemutus rantai kompromi.”

Tetapi sejarah menunjukkan: demokrasi tanpa oposisi sejati justru membunuh reformasi.

Indonesia bisa punya jalan tol megah, tapi jika demokrasi hancur dan ekonomi tetap rapuh, semua itu hanya ilusi kemajuan.

𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐞𝐦𝐢𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝟏 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐤𝐞 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧

1. Bersihkan BUMN dari patronase politik. Stop jadi alat bancakan partai.

2. Reformasi pajak progresif. Pajaki oligarki lebih besar, lindungi kelas bawah.

3. Hidupkan oposisi dan demokrasi substantif. Kembalikan KPK, cabut pasal karet UU ITE.

4. Bangun ketahanan pangan & energi. Tanpa ini, hilirisasi hanya akan jadi mitos.

5. Berani menabrak oligarki. Tanpa itu, Indonesia hanya akan jadi “negara setengah maju” selamanya.

𝗥𝗲𝗳𝗲𝗿𝗲𝗻𝘀𝗶

1. Aspinall, E. (2014). Indonesian politics in 2014: Democracy’s close call. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 50(3), 347–369.

2. Basri, F. (2005). Privatisasi dan Paradoks Pembangunan. Pidato Ekonomi, Universitas Indonesia.

3. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Statistik Indonesia 2015. BPS.

4. Freedom House. (2022). Freedom in the World 2022: Indonesia. Freedom House.

5. Goeltom, M. S. (2013). Refleksi Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Krisis. Kajian Ekonomi dan Keuangan.

6. Haggard, S. (2018). Developmental states. Cambridge University Press.

7. Indrawati, S. M. (2015). Window of Opportunity: Memanfaatkan Momentum untuk Reformasi Struktural. Seminar Bank Indonesia.

8. Sternberg, J. (2021, March 15). Indonesia’s pandemic stimulus stands out. The Wall Street Journal.

9. World Bank. (2013). Indonesia Economic Quarterly: Avoiding a New Trap. World Bank Group.

10. Yudhistira, B. (2022). Infrastruktur dan Ketimpangan: Mencermati Dampak Pembangunan Jokowi. Center of Economic and Law Studies (CELIOS).

Berita Terkini