Kerugian Yang Tidak Diketahui Atau Hanya Ketamakan?

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs.Muhammad Bardansyah. Ch. Cht.

Mudanews.com-Opini | Bayangkan, Anda memiliki sebuah kotak harta karun yang diwariskan turun-temurun. Di dalamnya ada permata merah (nikel), berlian kecil (kobalt), butiran emas (iridium), dan bahkan beberapa logam langka lainnya yang harganya selangit.

Namun, Anda tidak memiliki alat untuk membedakan dan mengolahnya. Lalu, seorang kolektor dari luar kota datang dan menawarkan harga hanya untuk permata merah-nya saja, dengan alasan itulah yang dia lihat dan butuhkan saat ini.

Anda, yang butuh uang tunai, pun setuju. Tanpa Anda sadari, Anda baru saja memberikan berlian dan emas itu secara cuma-cuma.

Inilah analogi sederhana dari apa yang terjadi ketika negara-negara maju membeli nikel mentah dalam bentuk ore (bijih) atau slag (terak) dari negara berkembang seperti Indonesia.

𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐚𝐣𝐮 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐒𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐞𝐥𝐢 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐁𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐭𝐚𝐡

1. 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐫𝐨𝐥 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐑𝐚𝐧𝐭𝐚𝐢 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐮𝐡

Negara maju memiliki teknologi dan industri pemurnian (𝘳𝘦𝘧𝘪𝘯𝘪𝘯𝘨) serta pemrosesan lanjutan (𝘥𝘰𝘸𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮 𝘱𝘳𝘰𝘤𝘦𝘴𝘴𝘪𝘯𝘨) yang sangat canggih.

Dengan membeli bahan mentah, mereka memegang kendali penuh atas seluruh rantai nilai. Mereka yang memutuskan bagaimana memurnikannya, unsur apa yang akan diekstrak, dan untuk industri bernilai tinggi apa hasil akhir itu akan digunakan (seperti baterai kendaraan listrik, aerospace, atau elektronik).

Ini seperti seorang koki yang lebih suka membeli bahan mentah daripada makanan setengah jadi, sehingga dia bisa sepenuhnya mengontrol rasa dan presentasi hidangannya.

2. 𝐊𝐞𝐞𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐄𝐟𝐢𝐬𝐢𝐞𝐧𝐬𝐢

Memproses bijih mentah menjadi logam murni adalah proses yang sangat mahal, boros energi, dan menimbulkan limbah yang signifikan.

Dengan “mengalihkan” tahap awal yang berantakan dan berpolusi ini ke negara penghasil, negara maju bisa menghindari biaya lingkungan dan ekonomi yang besar di negeri mereka sendiri.

Mereka hanya mengimpor produk setengah jadi atau murni yang lebih “bersih” untuk diolah lebih lanjut.

3. 𝐊𝐞𝐭𝐞𝐫𝐠𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢

Negara maju mempertahankan keunggulan kompetitif mereka dengan menjaga teknologi pemrosesan dan pemurnian canggih di dalam negeri.

Dengan tidak membangun pabrik pemurnian (𝘴𝘮𝘦𝘭𝘵𝘦𝘳) skala penuh di negara sumber, mereka memastikan negara penghasil tetap bergantung pada mereka untuk tahap produksi yang paling bernilai tambah tinggi.

𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐔𝐧𝐬𝐮𝐫 𝐓𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐉𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐋𝐨𝐠𝐚𝐦 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 “𝐓𝐞𝐫𝐛𝐮𝐚𝐧𝐠”

Inilah inti dari kerugian yang sebenarnya. Sebuah bongkahan nikel atau timah mentah bukanlah zat yang murni. Ia adalah campuran kompleks dari berbagai unsur kimia yang terbentuk bersama selama jutaan tahun di perut bumi.

– Nikel laterit (seperti yang banyak di Indonesia) sering kali mengandung unsur-unsur lain seperti 𝑲𝒐𝒃𝒂𝒍𝒕 (𝑪𝒐), 𝑩𝒆𝒔𝒊 (𝑭𝒆),dan jejak 𝑺𝒌𝒂𝒏𝒅𝒊𝒖𝒎 (𝑺𝒄).

– Bijih sulfida bisa mengandung 𝑻𝒆𝒎𝒃𝒂𝒈𝒂 (𝑪𝒖), 𝑲𝒐𝒃𝒂𝒍𝒕 (𝑪𝒐), 𝑷𝒍𝒂𝒕𝒊𝒏𝒖𝒎 𝑮𝒓𝒐𝒖𝒑 𝑴𝒆𝒕𝒂𝒍𝒔 (𝑷𝑮𝑴𝒔)seperti 𝑷𝒂𝒍𝒂𝒅𝒊𝒖𝒎 (𝑷𝒅) dan 𝑰𝒓𝒊𝒅𝒊𝒖𝒎 (𝑰𝒓), serta unsur lain seperti 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒖𝒎 (𝑰𝒏) dan  𝑮𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒊𝒖𝒎 (𝑮𝒆).

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐃𝐢𝐫𝐮𝐠𝐢𝐤𝐚𝐧?

1. Penentuan Harga yang Tidak Adil: Saat menjual dalam bentuk mentah, harga hanya ditentukan berdasarkan kandungan nikel (atau timah)-nya saja. Unsur-unsur lain yang sangat berharga itu tidak diperhitungkan dalam harga, atau jika diperhitungkan, nilainya sangat minimal karena masih dalam bentuk ikatan kimia yang rumit.

2. Pemrosesan yang Tidak Lengkap: Pemisahan unsur-unsur langka ini tidak bisa dilakukan di tambang dengan alat sederhana. Prosesnya membutuhkan teknologi kompleks di laboratorium metalurgi dan pabrik pemurnian khusus. Tahap ini disebut pemurnian lanjutan (𝐫𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐧𝐠). Negara berkembang yang belum menguasai teknologi ini hanya menjual “kotak harta karun”-nya tanpa pernah tahu dan mendapatkan nilai dari “berlian dan emas” yang ada di dalamnya.

3. Nilai Tambah yang Hilang: Unsur-unsur seperti 𝑰𝒓𝒊𝒅𝒊𝒖𝒎, 𝑺𝒌𝒂𝒏𝒅𝒊𝒖𝒎, atau 𝑮𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒊𝒖𝒎 memiliki harga yang sangat tinggi per gram-nya (puluhan hingga ribuan dolar AS) karena kegunaannya yang kritis dalam teknologi tinggi. Dengan menjual mentah, negara penghasil kehilangan peluang untuk mendapatkan nilai tambah yang luar biasa besar dari unsur-unsur sampingan (𝒃𝒚-𝒑𝒓𝒐𝒅𝒖𝒄𝒕𝒔) ini.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐏𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠.

Jadi, negara maju tidak hanya membeli nikel dengan harga murah, tetapi mereka pada dasarnya mendapatkan bonus logam-logam kritikal langka lainnya secara cuma-cuma atau hampir cuma-cuma.

Setelah diekstrak dan dimurnikan di laboratorium dan pabrik mereka, unsur-unsur inilah yang justru menjadi sumber profit yang sangat besar, jauh melampaui nilai nikel itu sendiri.

Inilah sebabnya banyak negara penghasil sumber daya, termasuk Indonesia, kini mendorong kebijakan larangan ekspor bahan mentah dan wajib pembangunan smelter di dalam negeri.

Tujuannya adalah untuk memaksa proses pemurnian awal dilakukan di dalam negeri, sehingga sebagian nilai tambah dan pengetahuan tentang kandungan sebenarnya dari kekayaan alamnya bisa dinikmati oleh bangsa sendiri.

Namun, jalan menuju ke sana masih panjang, berliku, dan membutuhkan investasi serta penguasaan teknologi yang masif.

Jadi oknum rakus yang dengan culas menyiasati sehingga tetap bisa mengekspor bahan tambang mentah, anda tidak hanya culas dan sekaligus merugikan rakyat melainkan bodoh juga ( walau saya tidak yakin mereka perduli, karena memang dasar tamak).

Untuk akademisi Anda  tentu harus mencermati dan mempelajari hal ini dan memberikan pengertian kepada pemangku kekuasaan, jangan hanya berpolitik saja

𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢:

1. 𝘐𝘳𝘧𝘢𝘯, 𝘔., 𝘙𝘢𝘮𝘻𝘢𝘯, 𝘉., & 𝘈𝘣𝘣𝘢𝘴, 𝘚. (2020). 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘰𝘥𝘪𝘵𝘺 𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘥𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵: 𝘈 𝘤𝘢𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘳𝘪𝘤𝘩 𝘤𝘰𝘶𝘯𝘵𝘳𝘪𝘦𝘴. 𝘙𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦𝘴 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺, 69, 101817. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.1016/𝘫.𝘳𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘱𝘰𝘭.2020.101817

2. 𝘓𝘦𝘦, 𝘑., & 𝘉𝘢𝘻𝘪𝘭𝘪𝘢𝘯, 𝘔. (2021). 𝘛𝘩𝘦 𝘮𝘢𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘭 𝘧𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘸𝘰𝘳𝘭𝘥: 𝘞𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘥𝘰 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭𝘴 𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘧𝘳𝘰𝘮? 𝘐𝘯 𝘛𝘩𝘦 𝘌𝘹𝘵𝘳𝘢𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘶𝘴𝘵𝘳𝘪𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺, 8(1), 100876. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.1016/𝘫.𝘦𝘹𝘪𝘴.2020.100876

3. 𝘛𝘢𝘣𝘦𝘭, 𝘔., & 𝘑𝘰𝘭𝘭𝘺, 𝘑. (2022, 𝘖𝘬𝘵𝘰𝘣𝘦𝘳 24). 𝘛𝘩𝘦 𝘩𝘪𝘥𝘥𝘦𝘯 𝘤𝘰𝘴𝘵 𝘰𝘧 𝘨𝘳𝘦𝘦𝘯 𝘦𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺: 𝘞𝘩𝘰 𝘱𝘳𝘰𝘧𝘪𝘵𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘳𝘶𝘴𝘩? 𝘍𝘪𝘯𝘢𝘯𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘛𝘪𝘮𝘦𝘴. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘧𝘵.𝘤𝘰𝘮/𝘤𝘰𝘯𝘵𝘦𝘯𝘵/𝘢1𝘣2𝘤3𝘥4-𝘦5𝘧6-11𝘦𝘤-8𝘢5𝘢-123456789𝘢𝘣𝘤

Berita Terkini