Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews,com OPINI – Bayangkan sebuah pagi di mana berita utama media internasional menuliskan: United Nations Statistics Division (UNSD) to investigate Indonesia’s GDP growth data. Bagi sebagian orang awam, mungkin terdengar seperti sekadar polemik teknis: apa salahnya angka pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan oleh BPS? Tetapi bagi para ekonom, politisi, investor, dan rakyat yang sehari-hari merasakan denyut nadi harga-harga di pasar, ini bukan sekadar angka. Ini soal kredibilitas sebuah bangsa. Angka 5,12% yang diumumkan sebagai pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mendadak dipertanyakan dunia, dan konsekuensinya bisa lebih dalam dari yang dibayangkan.
Sejak reformasi, Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini berdiri sebagai lembaga independen yang relatif dihormati. Data BPS dipakai pemerintah untuk menyusun APBN, dipakai akademisi untuk riset, dipakai investor asing untuk mengukur risiko, bahkan dipakai PBB sendiri dalam berbagai laporan pembangunan manusia. Tetapi ketika tiba-tiba ada kabar bahwa PBB—melalui UNSD atau lembaga afiliasinya—akan melakukan investigasi khusus terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia, itu sama saja dengan alarm keras yang mengguncang fondasi kepercayaan terhadap seluruh institusi negara.
Masalahnya bukan sekadar angka 5,12% itu benar atau tidak, melainkan: apakah Indonesia masih bisa dipercaya? Dan di sinilah, dampaknya berlapis-lapis, dari ekonomi, politik, sosial, hingga reputasi internasional.
Dampak Ekonomi: Kepercayaan adalah Mata Uang yang Paling Mahal
Ekonomi modern bergerak bukan hanya oleh angka statistik, tetapi oleh kepercayaan. Investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik lewat portofolio saham maupun obligasi negara, menggantungkan keputusannya pada validitas data resmi. Pertumbuhan 5,12% yang diumumkan BPS bukan sekadar angka di kertas, tetapi cermin dari prospek keuntungan investasi mereka. Begitu angka itu diragukan, investor langsung bertanya: apakah pemerintah sedang menutup-nutupi kenyataan?
Pertanyaan itu berbahaya. Karena begitu muncul keraguan, country risk premium—yaitu biaya tambahan yang harus ditanggung negara karena dianggap berisiko—langsung naik. Artinya, ketika pemerintah Indonesia ingin menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), bunganya akan lebih tinggi. Korporasi yang ingin menerbitkan obligasi di pasar global pun terkena imbas: biaya pinjaman naik karena label “Indonesia tidak transparan.”
Dan yang lebih menakutkan, modal asing bisa kabur dalam hitungan hari. Fenomena capital outflow bukan teori, tetapi realitas yang sudah sering terjadi. Investor portofolio bisa menarik miliaran dolar hanya dengan satu klik, meninggalkan IHSG jatuh dan rupiah tertekan. Bank Indonesia mungkin bisa intervensi lewat cadangan devisa, tetapi berapa lama cadangan itu mampu menahan gempuran jika krisis kepercayaan sudah menyebar?
Di dalam negeri, dampaknya juga terasa. Perusahaan swasta, BUMN, bahkan bank yang selama ini menjadikan data BPS sebagai dasar perencanaan bisnis, mendadak kehilangan pegangan. Ketidakpastian meningkat, perencanaan bisnis kacau, dan iklim usaha terganggu. Semua ini hanya karena satu hal: data resmi dianggap tidak kredibel.
Dampak Politik: Krisis Legitimasi Kekuasaan
Dalam politik, angka pertumbuhan ekonomi bukan sekadar laporan teknis. Ia adalah klaim legitimasi. Pemerintah berulang kali berdiri di mimbar untuk mengatakan: “Ekonomi kita tumbuh sekian persen, rakyat harus optimis.” Jika angka itu kemudian terbukti dilebihkan, masyarakat akan merasa dikhianati. Mereka akan melihat pemerintah tidak sedang menyampaikan realitas, melainkan sedang menjual ilusi.
Krisis legitimasi inilah yang paling ditakuti penguasa. Karena begitu publik menilai pemerintah manipulatif, setiap kebijakan akan dipertanyakan. RAPBN yang disusun berdasarkan data BPS bisa dianggap tidak sahih. Target pajak dan defisit yang diproyeksikan bisa dilabeli fiktif. Parlemen, terutama oposisi, akan menjadikan isu ini senjata politik. “Kalau dasar statistiknya saja salah, bagaimana kita bisa percaya pada kebijakan pemerintah?”—begitu kira-kira suara oposisi yang akan menggema di ruang publik.
Lebih dari itu, pemerintah akan mendapat stigma baru: rezim manipulatif. Kita tahu, dalam sejarah modern, rezim yang ketahuan memanipulasi data ekonomi langsung kehilangan kredibilitas. Venezuela di era Hugo Chávez, Argentina pada 2007–2015 ketika INDEC memalsukan data inflasi, atau Yunani ketika menutupi defisit hingga krisis utang 2009 meledak. Begitu label manipulatif melekat, sulit dihapuskan.
Dampak Reputasi Internasional: Dari Mitra Terpercaya ke Negara yang Dicurigai
BPS selama ini termasuk dalam jaringan National Statistics Office yang diakui PBB. Kredibilitas ini penting, karena data BPS dipakai sebagai dasar berbagai laporan global: Human Development Index, laporan Bank Dunia, IMF Article IV Consultation, hingga indeks keberlanjutan ekonomi. Jika tiba-tiba PBB sendiri melakukan investigasi terhadap data BPS, maka status Indonesia sebagai penyedia data terpercaya otomatis runtuh.
Lembaga internasional seperti IMF, World Bank, UNDP, atau OECD bisa memutuskan untuk tidak lagi memakai data resmi Indonesia, melainkan menggantinya dengan estimasi mereka sendiri. Itu penghinaan diplomatik yang luar biasa. Bayangkan, data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dibacakan pejabat kita sendiri tidak lagi dipakai dunia. Apa artinya? Dunia tidak percaya pada kita.
Efek diplomasi jangka panjangnya pun berbahaya. Indonesia bisa disejajarkan dengan negara-negara yang dikenal suka memanipulasi data, seperti Zimbabwe atau Turkmenistan. Setiap kali pejabat Indonesia bicara di forum internasional, bayangan manipulasi data akan menghantui. Kredibilitas bukan sesuatu yang bisa dibeli, dan sekali hilang, memulihkannya membutuhkan waktu puluhan tahun.
Dampak Sosial: Retaknya Kepercayaan Rakyat
Jika angka pertumbuhan ekonomi dipertanyakan dunia, rakyat pun ikut merasa kecewa. Selama ini, ada jarak besar antara statistik resmi dan realitas di lapangan. BPS bilang inflasi 3%, tetapi ibu-ibu di pasar merasakan harga cabai naik dua kali lipat. BPS bilang pertumbuhan ekonomi 5%, tetapi pengangguran di desa dan kota tetap terasa tinggi. Ketika PBB ikut turun tangan menginvestigasi data, rakyat akan berkata: “Ternyata dunia pun meragukan angka-angka pemerintah.”
Erosi kepercayaan ini berbahaya. Karena tanpa trust, kebijakan pemerintah kehilangan daya ikat. Oposisi akan memanfaatkan isu ini untuk menyerang habis-habisan. Polarisasi politik semakin dalam, media sosial penuh perdebatan panas, dan rakyat makin terbelah antara yang membela pemerintah dan yang mencaci maki.
Skenario Jangka Panjang: Dari Krisis hingga Reformasi
Apa yang bisa terjadi jika investigasi PBB benar-benar menemukan ketidaksesuaian besar?
Dalam jangka pendek, rupiah melemah, IHSG jatuh, dan imported inflation melonjak. Harga barang-barang impor naik, rakyat kecil paling terkena dampaknya. Dalam jangka menengah, Indonesia mungkin dipaksa melakukan reformasi statistik, memperkuat independensi BPS, dan membuka metodologi secara transparan. Ini bisa menjadi momentum baik jika pemerintah serius berbenah.
Tetapi jika pemerintah malah defensif, menolak kritik, dan menutup diri, label buruk bisa permanen. Indonesia bisa masuk daftar negara dengan statistical credibility problem. Investor akan selalu berhati-hati, lembaga internasional akan selalu mencurigai, dan rakyat akan selalu sinis terhadap angka resmi.
Belajar dari Argentina dan Yunani
Argentina adalah contoh nyata. Pada 2007–2015, pemerintah memaksa INDEC untuk merilis data inflasi yang lebih rendah dari kenyataan. Akibatnya, IMF mengeluarkan “censure,” sebuah teguran keras yang jarang terjadi. Investor asing menutup akses pembiayaan, dan Argentina terjebak dalam krisis utang. Butuh bertahun-tahun reformasi untuk memulihkan kepercayaan.
Yunani bahkan lebih tragis. Pemerintah menutupi defisit anggaran, seolah-olah semuanya terkendali. Ketika kebohongan itu terbongkar pada 2009, pasar keuangan global panik. Krisis utang meledak, Uni Eropa dipaksa memberikan bailout besar-besaran, dan reputasi Yunani hancur di mata dunia. Sampai hari ini, Yunani masih berjuang membayar utang dan memulihkan nama baik.
Apakah kita ingin Indonesia masuk dalam daftar kelam itu?
Kesimpulan: Krisis Data Adalah Krisis Bangsa
Jika PBB benar-benar menginvestigasi dan menemukan kejanggalan dalam data BPS, maka dampaknya bukan hanya pada angka pertumbuhan ekonomi 5,12% itu sendiri. Dampaknya bisa menjalar ke semua lini: ekonomi yang rapuh karena investor kabur, politik yang goyah karena legitimasi hilang, sosial yang panas karena rakyat kehilangan kepercayaan, dan reputasi internasional yang runtuh karena Indonesia dianggap manipulatif.
Inilah saatnya kita sadar bahwa data bukan sekadar angka. Data adalah wajah sebuah bangsa. Sekali dunia menilai kita berbohong, maka luka itu sulit disembuhkan. Karena itu, jika pemerintah sungguh-sungguh peduli pada masa depan Indonesia, transparansi dan independensi BPS harus dijaga mati-matian. Jangan sampai kita mengulang tragedi Argentina atau Yunani.
Dan bagi rakyat, berita seperti ini bukan sekadar bahan obrolan di warung kopi. Ini panggilan untuk lebih kritis, lebih peduli, dan berani bersuara. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya mungkin tumbuh di atas fondasi data yang jujur.