Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Viral Foto Gaji DPR
Mudanews.com OPINI– Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia kembali dibuat heboh oleh beredarnya foto rincian pendapatan anggota DPR. Rinciannya sederhana: tertulis bahwa gaji pokok anggota DPR hanya sekitar Rp4,5 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah persepsi umum masyarakat yang selama ini menganggap anggota DPR “bergaji puluhan hingga ratusan juta rupiah.”
Publik pun terbelah. Sebagian merasa tertipu—karena ternyata “gaji” mereka kecil, sedangkan yang besar itu tunjangan-tunjangan. Sebagian lain menilai ini hanyalah permainan kata-kata: meskipun istilah hukumnya “gaji” kecil, tetapi yang dibawa pulang setiap bulan tetaplah belasan bahkan puluhan juta.
Dalam konteks inilah, kita perlu membongkar apa itu sebenarnya definisi gaji menurut hukum, apa yang membedakannya dengan tunjangan atau fasilitas lain, dan bagaimana persepsi publik yang sering kabur kemudian dimanfaatkan oleh politisi dalam kampanye dengan kalimat magis: “Saya tidak akan terima gaji, gaji saya akan saya sumbangkan!”.
Definisi Hukum tentang Gaji
Secara hukum, “gaji” bukan istilah yang serampangan. Ia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
1. Dalam UU Kepegawaian (UU No. 43 Tahun 1999 jo. UU ASN No. 5 Tahun 2014), gaji adalah hak pegawai ASN yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari negara atas pekerjaan yang telah dilaksanakan.
2. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Gaji Pegawai Negeri (misalnya PP 15 Tahun 2019), gaji pokok ditetapkan dalam tabel tertentu sesuai golongan dan masa kerja. Di atas gaji pokok, terdapat berbagai tunjangan (jabatan, kinerja, keluarga, beras, dan lain-lain).
3. Untuk pejabat negara, termasuk Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Anggota DPR, Mahkamah Agung, dan lainnya, dasar hukum gaji dan hak keuangannya diatur dalam UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Pejabat Negara.
Pasal 2 menyebutkan bahwa pejabat negara diberikan gaji pokok.
Pasal 3 menyebutkan bahwa selain gaji pokok, diberikan pula berbagai tunjangan, biaya operasional, dan fasilitas tertentu.
Dari sini jelas: gaji pokok hanyalah bagian kecil dari total “penghasilan” pejabat. Gaji bersifat tetap, jumlahnya kecil, dan tidak fleksibel. Sementara tunjangan bisa sangat beragam, lebih besar nilainya, dan bisa diatur dengan aturan tambahan (Perpres, PP, Keppres).
Gaji Versus Penghasilan: Jurang Persepsi Publik
Inilah sumber salah kaprah di masyarakat.
Publik menganggap semua uang yang diterima pejabat setiap bulan adalah “gaji.” Padahal, secara hukum, gaji hanyalah salah satu komponen.
Politisi cerdas memainkan diksi. Saat ditanya gajinya, mereka bisa menjawab “gaji saya hanya Rp4,5 juta.” Itu benar secara hukum, tetapi bisa menyesatkan jika tidak disebutkan tunjangan dan fasilitasnya.
Contoh:
Anggota DPR gajinya memang Rp4,5 juta, tetapi dengan tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan aspirasi, dana reses, biaya perjalanan, dan lain-lain, totalnya bisa lebih dari Rp50–70 juta per bulan.
Presiden RI gajinya Rp30,24 juta, tetapi dengan tunjangan dan fasilitas, total penghasilan bisa lebih dari Rp100 juta.
Inilah mengapa publik sering merasa “dibohongi,” meskipun secara hukum, pejabat itu tidak salah.
Janji Politik “Tidak Akan Terima Gaji”
Fenomena janji “tidak akan menerima gaji” sering muncul menjelang Pemilu. Seorang calon pejabat—baik calon Presiden, Gubernur, Wali Kota, atau bahkan anggota DPR—kadang menyampaikan bahwa jika terpilih, ia tidak akan mengambil gajinya.
Sekilas, janji ini terdengar heroik dan penuh pengorbanan. Namun secara analitis, ada beberapa masalah:
1. Gaji hanyalah sebagian kecil dari penghasilan. Tidak mengambil gaji Rp4,5 juta, tetapi tetap menerima tunjangan puluhan juta, apakah itu bisa disebut pengorbanan?
2. Secara hukum, gaji adalah hak, bukan hadiah. Ia diberikan oleh negara berdasarkan undang-undang. Tidak ada yang salah menerima gaji. Yang salah adalah menerima sesuatu di luar aturan (gratifikasi, suap, korupsi).
3. Janji itu tidak menyentuh akar persoalan. Masalah utama pejabat bukan soal gajinya besar atau kecil, tetapi apakah ia bekerja sungguh-sungguh, transparan, dan menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat.
Karena itu, janji “tidak terima gaji” sebetulnya lebih bersifat gimmick politik untuk meraih simpati, ketimbang solusi nyata atas masalah keuangan negara.
Dimensi Sosial: Publik dan “Perasaan Ketidakadilan”
Mengapa publik tetap marah meskipun tahu gaji pejabat secara hukum kecil?
1. Karena ada kesenjangan nyata. Rakyat banyak yang bekerja keras dengan gaji Rp2–3 juta per bulan. Sementara pejabat, meskipun gajinya Rp4,5 juta, tetap menikmati tunjangan, rumah dinas, mobil dinas, sopir, jaminan kesehatan premium, biaya perjalanan, bahkan pensiun seumur hidup.
2. Karena ada krisis kepercayaan. Publik tidak merasa pejabat bekerja sungguh-sungguh untuk mereka. Banyak kasus korupsi, absensi DPR rendah, rapat-rapat penuh drama, kebijakan tidak berpihak. Maka setiap kali mendengar angka pendapatan pejabat, rakyat langsung sinis.
3. Karena ada luka sejarah. Sejak Orde Baru, isu gaji pejabat selalu dikaitkan dengan kemewahan dan gaya hidup elit politik. Persepsi ini melekat sampai sekarang.
Dengan kata lain, marahnya publik bukan semata soal angka gaji, tetapi soal rasa keadilan yang robek.
Perspektif Hukum Islam: Gaji, Hak, dan Amanah
Dalam perspektif etika Islam (yang sering dipakai sebagai rujukan moral dalam politik Indonesia), gaji bisa dipandang sebagai:
Hak pekerja: Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Artinya, gaji itu wajar, sah, dan halal.
Amanah pejabat: Gaji halal hanya jika disertai dengan kerja sungguh-sungguh. Jika pejabat menerima gaji tetapi lalai dalam tugas, maka gajinya menjadi beban moral, bahkan bisa dianggap ghasab (mengambil hak rakyat).
Dengan demikian, persoalan bukan pada menerima gaji atau tidak, melainkan pada apakah pejabat itu amanah.
Apa yang Sebenarnya Harus Ditagih?
Dari semua diskusi ini, kesimpulannya sederhana:
Tidak penting apakah pejabat mengambil gaji atau tidak.
Tidak penting pula angka gaji pokok yang kecil atau tunjangan yang besar.
Yang jauh lebih penting adalah:
1. Kinerja nyata. Apakah kebijakan mereka memperbaiki pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat.
2. Transparansi keuangan. Publik berhak tahu detail penghasilan pejabat—gaji, tunjangan, dan fasilitas. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi
3. Integritas moral. Publik harus melihat pejabat hidup wajar, tidak pamer harta, dan tidak memperdagangkan jabatan.
Dari Gaji ke Amanah
Maka, ketika ada politisi berkata “saya tidak akan menerima gaji,” kita sebaiknya tidak terbuai. Itu hanyalah retorika. Gaji hanyalah kecil dari total penghasilan, dan gaji itu sendiri sah secara hukum.
Yang lebih penting adalah apakah pejabat itu benar-benar bekerja untuk rakyat, berani melawan korupsi, berpihak pada kaum miskin, serta konsisten menjaga konstitusi.
Karena itu, sebagai warga negara, tugas kita bukan menagih janji gaji, tetapi menagih kerja nyata. Menjadi warga negara yang cerewet, juweh, dan tidak mudah dibohongi.
Hanya dengan begitu, gaji yang dibayarkan rakyat melalui pajak akan berubah dari sekadar angka menjadi berkah.