Oleh : Timboel Siregar
Mudanews.com OPINI – Dibandingkan APBN 2025, Penerimaan Perpajakan naik Rp. 201.1 T sementara PBNP mengalami penurunan Rp 58,6 T. Bukankah pertumbuhan ekonomi dipercaya meningkat pesat oleh pemerintah namun kenaikan penerimaan pajak hanya dipasang Rp. 201,1 T, sementara PNBP malah turun Rp. 58,6 T, yang seharusnya bisa dinaikan.
Penerimaan perpajakan menjadi tumpuan utama APBN. Dengan kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA) baik tambang, pertanian, perkebunan, perikanan, dsb dengan program hilirisasinya, seharusnya SDA bisa mencukupi APBN, tentunya kalau dikelola dgn baik.
Program Hilirisasi Barang Tambang seperti nikel, bauksit, tembaga, emas dsb, seharusnya negara yg jual dalam bentuk barang jadi sehingga harganya mahal dan nilai tambahnya bisa diterima negara, tetapi yang menjual produk hilirisasi tersebut adalah para investor luar negeri dan swasta sehingga negara hanya mendapatkan pajak dan royalti saja.
Masa lalu, negara gagal mengelola minyak dengan baik sehingga emas hitam tersebuy tidak lagi jadi pendukung pemasukan APBN, dan sekarang ada peluang hilirisasi SDA tapi itu pun malah tidak dimanfaatkan dengan serius juga. Hilirisasi SDA kita hanya memberikan nilai tambah ke investor, bukan ke negara.
Karena tidak mampu memanfaatkan SDA maka yang dikerjakan pemerintah hanyalah memfokuskan pada penerimaan perpajkaan. Segala hal dipajakin sehingga berharap uang masuk lebih banyak. Namun kondisinya rakyat sudah mengalami penurunan daya beli sehingga upaya pemajakan sana sini akan ditolak masyarakat.
Apalagi kelolaan dana APBN yang masih kerap dikorupsi membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah turun. Pajak yang diperbanyak akan dipersepsikan untuk menambah ruang korupsi di Indonesia.
Kalau pun pengusaha dikenakan pajak selama ini, pemerintah pun tidak tegas dan tidak bersih sehingga masih banyak yang bocor karena banyak oknum petugas pajak sekongkol dengan pengusaha untuk menurunkan pajaknya.
Sebenarnya dengan ketidakmampuan fiskal karena penerimaan pajak rendah dan hasil SDA tidak optimal, yang seharusnya dirasionalkan adalah pembiayaan program, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang akan diberikan kepada target 82,9 juta orang dengan alokasi Rp. 335 Triliun yang ngambil dari anggaran pendidikan.
Alokasi MBG sangat besar yang sebenarnya bisa dihemat dengan memberikan MBG ke masyarakat dengan tepat sasaran yaitu kelompok masyarakat yg ada di Desil 1 sampai 5 di DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional), yang tentunya DTSEN harus terus diupdate agar jelas yang diberikan benar benar orang miskin. Saya yakin ini akan menurunkan anggaran MBG jauh di bawah Rp. 335 triliun.
Program Sekolah Rakyat juga dijalankan sebaiknya tidak membuat sekolah baru yg eksklusif yang hanya dihuni anak anak orang miskin ekstrem (masuk Desil 1 dan 2 DTSEN). Seharusnya masukan saja anak anak ini ke sekolah yang ada saat ini di sekolah negeri, dan anak anak anak tersebut diberi perlakuan khusus yg lebih misalnya kursus bahasa asing, kursus matematika, kursus musik, dsb sesuai bakat, sehingga mereka bisa menambah ilmu dan meningkatkan talenta, dan pergaulan sekolahnya menjadi inklusif (tidak eksklusif). Ini kan juga bisa menghemat biaya.
Dengan kondisi ini, transfer ke daerah mengalami penurunan. Di 2025 transfer ke daerah sebesar Rp. 864.1 Triliun, namun di 2026 turun drastis menjadi Rp. 650 triliun.
Menurunnya alokasi ke daerah menyebabkan pemda hanya mampu menempuh jalan pintas menaikan PBB, yang juga akan menyasar daya beli masyarakat. Seharusnya retreat kepala daerah di Magelang bisa diisi oleh “mata kuliah” pemetaan mengembangkan potensi daerah untuk menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan dengan menaikan PBB yang banyak mendapat penolakan rakyat.
Semoga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bisa lebih kreatif menaikan pemasukan negara dan PAD-nya, dengan memanfaatkan anugerah Tuhan yang banyak diberikan kepada bangsa Indonesia.
Tabik