Oleh : Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Perdebatan tentang relasi zakat dan pajak kembali mencuat ketika Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, dalam sebuah forum publik menyatakan bahwa “membayar pajak sama dengan membayar zakat dan wakaf.” Pernyataan ini sontak mengundang kontroversi, terutama di kalangan umat Islam yang memandang zakat bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan ibadah yang memiliki landasan syar’i, tujuan spiritual, dan mekanisme distribusi yang sangat berbeda dengan pajak.
Dalam tradisi Islam, zakat bukan hanya bentuk redistribusi kekayaan, melainkan juga sarana pensucian harta dan jiwa. Allah SWT menegaskan kewajiban zakat dalam Al-Qur’an lebih dari 30 kali, sering kali berdampingan dengan perintah mendirikan salat (aqīmū aṣ-ṣalāh wa ātū az-zakāh). Artinya, zakat menempati posisi fundamental dalam rukun Islam. Di sisi lain, pajak adalah kewajiban administratif yang ditetapkan negara modern untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, zakat dan pajak sering kali diperdebatkan. Ada upaya sebagian pihak untuk menyamakan keduanya, bahkan dalam wacana tertentu zakat dianggap bisa menjadi substitusi pajak. Namun, dari sisi hukum Islam, politik, hingga praktik keseharian, terdapat perbedaan yang jelas dan prinsipil. Menyamakan keduanya berpotensi menimbulkan kekeliruan teologis, bahkan delegitimasi terhadap syariat Islam itu sendiri.
Tulisan panjang ini akan mengulas secara rinci perbedaan zakat dan pajak dari berbagai sudut pandang: teologis, historis, politik, ekonomi, hingga sosial. Analisis ini juga akan menyentuh kritik atas penggunaan pajak di Indonesia, yang sering kali justru menjauh dari semangat keadilan sosial, serta bagaimana umat Islam seharusnya bersikap terhadap wacana penyamaan zakat dan pajak.
Zakat dalam Islam: Instrumen Ibadah dan Keadilan Sosial
1. Landasan Teologis
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Hukum zakat adalah wajib (‘ain) bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat nisab dan haul. Dalil kewajiban zakat terdapat dalam banyak ayat Al-Qur’an, antara lain:
QS. At-Taubah: 103
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…”
QS. Al-Baqarah: 43
“Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
Zakat bukanlah sekadar kewajiban sosial, melainkan ibadah yang bernilai spiritual. Pembayaran zakat diniatkan lillāhi ta‘ālā (karena Allah), dan penyalurannya harus sesuai dengan aturan syar’i.
2. Mekanisme dan Peruntukan
Al-Qur’an secara tegas menyebutkan delapan golongan penerima zakat (ashnāf) dalam QS. At-Taubah: 60:
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil zakat
4. Muallaf
5. Riqāb (hamba sahaya)
6. Gharimīn (orang yang berutang karena kebutuhan mendesak)
7. Fī sabīlillāh
8. Ibnus-sabīl (musafir)
Distribusi zakat bersifat terbatas, fokus pada kelompok rentan dan kepentingan umat. Dengan demikian, zakat adalah instrumen keadilan sosial yang diarahkan pada pengentasan kemiskinan, penguatan solidaritas, dan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat Muslim.
3. Prinsip Keadilan dalam Zakat
Dalam zakat, hanya mereka yang mampu (punya harta lebih dari nisab) yang diwajibkan. Orang miskin tidak berkewajiban membayar zakat, sebaliknya justru berhak menerima zakat. Prinsip ini menjadikan zakat lebih adil secara moral, sebab tidak membebani mereka yang lemah.
Pajak dalam Sistem Negara Modern
1. Landasan Hukum Pajak
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut negara dari warga negara, berdasarkan undang-undang, untuk membiayai penyelenggaraan negara. Dalam sistem demokrasi modern, pajak dianggap sebagai “harga” yang harus dibayar warga untuk menikmati layanan publik, infrastruktur, keamanan, dan administrasi pemerintahan.
Di Indonesia, dasar hukum pajak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang telah beberapa kali diubah.
2. Subjek Pajak
Pajak dikenakan kepada semua warga negara yang memiliki penghasilan atau transaksi ekonomi, bahkan termasuk rakyat kecil yang membeli barang kebutuhan sehari-hari melalui mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan kata lain, pajak bersifat memaksa, tanpa melihat kemampuan individu secara mendalam.
3. Peruntukan Pajak
Secara teori, pajak digunakan untuk:
Membiayai pembangunan infrastruktur,
Membayar gaji pegawai negeri,
Membiayai pendidikan, kesehatan, dan subsidi,
Menjaga stabilitas keuangan negara.
Namun, dalam praktiknya, sering terjadi penyalahgunaan pajak: korupsi, pemborosan, biaya rapat mewah di hotel, hingga fasilitas mewah pejabat. Fakta ini menimbulkan kritik bahwa pajak tidak selalu kembali kepada rakyat dalam bentuk manfaat nyata.
Menyamakan Zakat dan Pajak: Sebuah Kekeliruan
Pernyataan Sri Mulyani yang menyebut pajak sama dengan zakat dan wakaf, dari perspektif Islam, menimbulkan problem serius.
1. Perbedaan Substansi
Zakat: ibadah, wajib bagi Muslim yang mampu, niatnya karena Allah, peruntukannya jelas untuk 8 asnaf.
Pajak: kewajiban administratif, dikenakan pada semua warga negara, niatnya karena negara, peruntukannya luas dan sering kali tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Menyamakan keduanya mengabaikan perbedaan niat, subjek, dan tujuan.
2. Perbedaan Subjek Pembayar
Zakat: hanya orang kaya/mampu yang bayar.
Pajak: semua warga negara, termasuk yang miskin, membayar.
3. Perbedaan Peruntukan
Zakat: untuk fakir, miskin, dan 6 golongan lain.
Pajak: untuk gaji pejabat, proyek negara, bahkan bisa bocor ke korupsi.
4. Kritik Teologis
Mengatakan pajak = zakat berpotensi menyesatkan umat. Zakat adalah ibadah mahdhah, sementara pajak hanyalah kewajiban administratif. Menyamakan keduanya sama saja mereduksi makna ibadah menjadi sekadar transaksi fiskal.
Kritik atas Sistem Pajak di Indonesia
1. Pajak dan Ketidakadilan Sosial
Pajak di Indonesia cenderung regresif dalam praktiknya. Rakyat kecil membayar pajak konsumsi melalui PPN, sementara banyak konglomerat menghindari pajak melalui celah hukum. Akibatnya, beban terbesar justru ditanggung oleh rakyat menengah ke bawah.
2. Korupsi Pajak
Kasus Gayus Tambunan menjadi simbol bagaimana uang pajak bisa dikorupsi. Korupsi di sektor perpajakan menggerus kepercayaan rakyat. Bagaimana mungkin pajak disamakan dengan zakat, sementara zakat disalurkan secara amanah kepada mustahik, sedangkan pajak sering bocor ke kantong pribadi?
3. Pemborosan Anggaran
Banyak dana pajak digunakan untuk membiayai hal-hal yang tidak produktif: rapat di hotel mewah, fasilitas pejabat, perjalanan dinas yang mubazir. Bandingkan dengan zakat, yang setiap rupiah diarahkan untuk kesejahteraan umat.
4. Legitimasi Agama
Sebagian ulama bahkan ada yang mengharamkan pajak jika memberatkan rakyat dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Dengan demikian, pajak tidak bisa begitu saja disamakan dengan zakat.
Dimensi Politik: Pajak, Zakat, dan Negara
Dalam konteks politik, pernyataan menyamakan zakat dengan pajak juga berbahaya. Sebab, hal ini bisa dianggap sebagai upaya mengikis kemandirian umat Islam dalam mengelola zakat.
Zakat adalah sumber kekuatan umat, terutama bila dikelola oleh lembaga zakat yang amanah. Bila zakat dilebur ke dalam pajak, maka potensi dana umat akan hilang ke tangan negara, yang belum tentu menggunakannya sesuai syariat.
Lebih jauh, penyamaan zakat dan pajak berpotensi menjadi alat hegemonik negara atas agama. Ini mengingatkan pada praktik sekularisasi di beberapa negara, di mana agama dipaksa tunduk pada negara.
Pesan yang Ingin disampaikan Dalam Tulisan di Atas :
Zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda, baik dari segi hukum, tujuan, maupun praktik.
Zakat adalah kewajiban ibadah, hukumnya fardhu ‘ain, peruntukannya jelas, hanya dikenakan kepada Muslim yang mampu, dan dikelola sesuai syariat.
Pajak adalah kewajiban administratif, hukumnya buatan negara, dikenakan kepada semua warga negara, peruntukannya luas (sering kali tidak adil), dan rentan disalahgunakan.
Menyamakan keduanya adalah kesalahan teologis sekaligus politis. Umat Islam harus menolak narasi ini, sembari memperjuangkan agar zakat tetap murni sebagai instrumen ibadah dan keadilan sosial.
Pajak memang perlu dibayar sebagai kewajiban warga negara, tetapi jangan pernah disamakan dengan zakat. Umat Islam perlu kritis, mengawal pajak agar tidak disalahgunakan, sekaligus menguatkan peran zakat dalam membangun umat.