Chaos Fisikal di Daerah

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Erizely Jely Bandaro

Mudanews.com OPINI – Pemerintah pusat kembali mengumandangkan jargon “efisiensi” dengan memangkas Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sejumlah transfer ke daerah. Dalihnya sederhana: mendorong kemandirian fiskal daerah dan memperbaiki kualitas belanja. Namun, di balik retorika yang manis, tersimpan realitas yang getir: pemotongan ini justru memperlemah kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan publik dan membangun infrastruktur.

Otonomi daerah yang seharusnya memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengatur nasib sendiri, kini terperangkap dalam paradoks. Di atas kertas, daerah diminta kreatif mencari dana. Tetapi, sumber-sumber pendapatan strategis tetap dikendalikan pusat — mulai dari pajak properti skala besar, pajak sumber daya alam, hingga penerimaan tambang dan migas yang seluruhnya harus “mampir” dulu ke Jakarta. Dalam kondisi seperti ini, pilihan yang tersisa bagi daerah hanya dua: menaikkan pajak dan retribusi lokal yang membebani rakyat kecil, atau memangkas program pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak warga.

Saran untuk menarik investor berkualitas pun terdengar ideal, namun kerap berakhir di tataran wacana. Sebagian besar daerah tidak memiliki infrastruktur pendukung maupun kapasitas negosiasi yang memadai. Investor besar cenderung memilih wilayah yang infrastrukturnya siap, regulasinya jelas, dan perizinannya gesit. Akibatnya, daerah yang tertinggal hanya kebagian investor oportunis yang mengincar proyek jangka pendek atau spekulasi lahan.

Di tengah situasi ini, beban APBN yang kian berat menambah ironi. Pemotongan transfer daerah bukan semata soal efisiensi, melainkan juga konsekuensi dari membengkaknya belanja pusat untuk membayar bunga utang, pembiayaan program makan siang bergizi yang sarat kepentingan politik, ongkosi kabinet gemuk, serta pengalihan PNBP dari dividen BUMN ke Danantara yang menguras likuiditas negara. Dengan kata lain, pusat berhemat di daerah, sementara belanja politiknya tetap pesta

Perumpamaannya sederhana: daerah ibarat anak kos yang uang bulanan dari orang tuanya dipotong separuh “demi melatih kemandirian”. Namun kulkas, dapur, dan kompor tetap dikunci. Mau masak sendiri? Tidak bisa. Mau mencari tambahan dari luar? Harus izin. Pada akhirnya, yang terjadi bukanlah kemandirian, melainkan keterbatasan yang disengaja.

Jika pemerintah pusat sungguh-sungguh ingin membangun kemandirian fiskal daerah, langkahnya jelas: lepaskan sebagian sumber pendapatan strategis kepada daerah, perluas kewenangan fiskal, dan dukung peningkatan kapasitas aparatur. Tanpa itu, pemotongan DAK hanya akan menjadi ironi dalam sejarah otonomi daerah — sebuah kebijakan yang memotong sayap sambil memerintahkan terbang.

Sulit untuk tidak curiga bahwa di balik jargon efisiensi dan kemandirian ini, ada agenda tersembunyi. Pemotongan besar pada dana transfer sambil menutup akses sumber pendapatan strategis bisa menciptakan chaos fiskal di daerah. Chaos ekonomi daerah, pada gilirannya, bisa memicu ketidakstabilan sosial-politik, melemahkan daya tawar pemerintah daerah, dan membuka peluang intervensi politik yang menggerus otonomi.

Jika itu benar, maka ini bukan sekadar kebijakan fiskal. Ini strategi yang berisiko menggerogoti fondasi NKRI dari dalam — pelan tapi pasti. Semoga presiden paham ini.

Erizely Jely Bandaro

Berita Terkini