Freesca Syafitri : Skandal Pengucuran Kredit ke Sritex Diduga Libatkan Intervensi Kekuasaan

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta –  Freesca Syafitri seorang pengamat kebijakan Publik dan Ekonomi UPN Veteran Jakarta menilai pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan anak perusahaannya oleh tiga Bank Pembangunan Daerah (Bank DKI, BJB, dan Bank Jateng) sarat unsur politis. Dampaknya, sejumlah petinggi ketiga bank daerah itu menjadi tersangka di Kejaksaan Agung.

Menurutnya pemberitaan tentang kebangkrutan Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, menyeret cerita lain yang tak kalah dramatis, yakni skandal pemberian kredit dari tiga bank milik daerah kepada perusahaan yang sebenarnya telah menunjukkan gejala tekanan keuangan sejak 2021, saat pandemi.

“Sejumlah pejabat dari ketiga bank itu ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap lalai, atau bahkan menyalahgunakan kewenangannya dalam proses pemberian kredit. Namun jika menelisik lebih dalam, kasus ini lebih dari sekadar fraud bisnis atau kelalaian teknis,” kata Freesca dalam keterangannya kepada media  di Jakarta, dikutip Senin (11/8/2025).

Freesca Syafitri juga mencermati adanya narasi besar yang lebih mengkhawatirkan yaiutu intervensi kekuasaan atau kredit politik yakni keadaan pemberian kredit kepada sebuah perusahaan bukan didasarkan pada kelayakan usaha tapi karena tekanan atau arahan dari penguasa.

Menutut catatan, Sritex menanggung utang ke BPD, masing-masing Rp611 miliar ke Bank BJB, Rp185 miliar ke Bank DKI, dan Rp502 miliar ke Bank Jateng. “Lalu muncul pertanyaan besar, yaitu apakah para pejabat bank ini bertindak sendirian? Atau ada ‘tangan tak terlihat’ yang memaksa mereka untuk menyetujui kredit tersebut?” ujar Freesca mempertanyakan.

Selanjutnya Freesca menjelaskan, dalam literatur ekonomi-politik, praktik semacam ini sudah lama dikenal. Kredit politis bukan hanya mengorbankan profesionalisme lembaga keuangan, tapi juga menghancurkan fondasi akuntabilitas publik.

Ketika bank milik negara atau daerah digunakan untuk menyelamatkan korporasi yang terhubung dengan kekuasaan, maka risiko kegagalan kredit tidak lagi menjadi urusan internal lembaga perbankan.

“Bank daerah, secara struktur kelembagaan, memang berada dalam posisi yang rawan. Kepemilikan yang berada di bawah pemerintah daerah sering kali menjadikan bank ini sebagai ‘perpanjangan tangan’ kekuasaan lokal,” tutur Freesca.

Perlu Reformasi Tata Kelola Bank Daerah

Freesca juga  mengulas, skandal Sritex seharusnya menjadi titik balik. Jika negara ingin memulihkan kredibilitas sistem keuangannya, maka reformasi tata kelola bank daerah menjadi syarat mutlak.

Pertama, seleksi direksi dan komisaris harus didasarkan pada meritokrasi. Proses seleksi harus dilakukan secara terbuka, transparan, dan diawasi oleh lembaga independen. Artinya, tidak boleh lagi ada ruang bagi penunjukan yang berbasis loyalitas politik.

Kedua, sistem pengawasan internal bank perlu diperkuat, termasuk unit audit risiko dan komite pemantau risiko. Pegawai yang menemukan kejanggalan atau tekanan politik dalam pengambilan keputusan kredit harus mendapatkan perlindungan hukum sebagai whistleblower.

Ketiga, OJK dan LPS perlu merumuskan indikator risiko politik dalam penilaian kredit jumbo dan melakukan audit khusus terhadap setiap kredit yang melewati batas ambang tertentu.

Keempat, transparansi kepada publik perlu dikedepankan. Setiap bank milik daerah wajib mempublikasikan portofolio kredit besar, berikut analisis risikonya, dalam laporan berkala yang dapat diakses publik.

Kasus Sritex Alarm Keras

Skandal Sritex adalah alarm keras bagi pemerintah, regulator, dan publik. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah membangun sistem keuangan modern, namun celah intervensi politik masih terbuka lebar. Jelas Freesca

“Jika kita tidak segera menutup celah ini dengan reformasi yang nyata, maka bukan tidak mungkin bank milik rakyat kembali dijadikan alat untuk menyelamatkan kepentingan segelintir orang dengan rakyat sebagai penanggung akhirnya,” tuturnya

Dia menambahkan, sebagaimana sejarah telah berulang kali mengajarkan, integritas lembaga keuangan adalah tulang punggung perekonomian. “Ketika ia dikooptasi oleh kekuasaan, maka yang runtuh bukan hanya bank, tetapi juga kepercayaan publik. Dan kepercayaan, sekali hilang, tidak mudah dibangun kembali,” tegas Freesca. ***(Red)

Berita Terkini