Oleh : Aznil Tan,Direktur Eksekutif Migrant Watch
Mudanews.com OPINI – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12%. Angka ini seolah menjadi kabar gembira: ekonomi tumbuh, negara stabil, dan semua baik-baik saja.
Namun pertanyaan besar muncul: kalau ekonomi benar-benar tumbuh, mengapa gairah perekonomian di tengah masyarakat masih terasa lesu? Mengapa daya beli belum pulih sepenuhnya? Mengapa masyarakat—terutama kelas menengah—masih menunjukkan ekspresi “meringis” daripada optimis?
Fakta di lapangan menunjukkan realitas yang berbeda. Jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2025 masih berada di angka 7,7 juta orang, nyaris stagnan dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih dari itu, sekitar 60 persen tenaga kerja di Indonesia masih terjebak di sektor informal yang cenderung tidak aman secara ekonomi maupun sosial, tanpa jaminan kerja, tanpa kepastian pendapatan, dan rawan terhadap gejolak pasar.
Di berbagai kota besar, job fair selalu penuh sesak, dan antrean pendaftaran daring untuk lowongan kerja terus meningkat dari waktu ke waktu. Ini bukan tanda bahwa masyarakat sedang selektif memilih pekerjaan, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang nyata dan mendalam. Masyarakat berjuang, bukan bersaing dalam peluang, tetapi dalam keterbatasan.
Kelas menengah—yang seharusnya menjadi motor utama konsumsi domestik dan penggerak ekonomi nasional malah justru mulai menahan belanja dan kini berada dalam posisi yang rentan.
Istilah populer yang berkembang, seperti “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) dan “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya), bukan sekadar lelucon sosiologis. Mereka mencerminkan kondisi psikologis masyarakat yang tertekan oleh inflasi pangan, cicilan konsumtif, harga rumah yang tak terjangkau, dan ketidakpastian ekonomi.
Rasio kelas menengah pun terus menyusut. Pada tahun 2019, kelas menengah Indonesia mencakup sekitar 21,5 persen dari populasi. Namun pada tahun 2024, proporsi ini menurun drastis menjadi hanya 17,1 persen.
Dari total penduduk Indonesia, sekitar 84,6 juta orang tergolong sebagai kelas menengah. Sayangnya, dari jumlah itu, 28,2 juta termasuk kelompok rentan miskin yang mudah terlempar ke bawah garis kemiskinan, sementara 56,4 juta lainnya masih tergolong miskin atau sangat miskin. Ini berarti hampir 1 dari 3 orang di Indonesia berada dalam situasi ekonomi yang tidak stabil.
Sinyal perlambatan konsumsi juga tampak jelas dari data keuangan. Pertumbuhan kredit konsumsi pada semester I 2025 hanya mencapai 2,3 persen, melambat dibandingkan periode sebelumnya. Artinya, masyarakat mulai mengerem belanja, bukan karena sedang berhemat secara sadar, tetapi karena terpaksa. Mereka menghindari utang baru karena ketidakpastian penghasilan atau khawatir tidak mampu membayar cicilan.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Juni 2025 tercatat sebesar 117,8. Meskipun angka ini masih di atas ambang optimisme, tren IKK sejak awal tahun terus menurun. Lebih mengkhawatirkan lagi, sub-indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) hanya berada di angka 94,1—masih di bawah ambang optimisme, menunjukkan bahwa masyarakat tetap pesimis terhadap peluang kerja kedepan.
Semua ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam angka-angka makro versi BPS patut dipertanyakan. Dalam teori, angka 5,12 persen seharusnya cukup untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Kok faktanya, denyut ekonomi di lapangan justru tampak melambat, lesu, dan menjauh dari kehidupan nyata mayoritas rakyat.
Dengan kata lain, pertumbuhan ini belum sepenuhnya menjangkau dapur masyarakat. Maka, pertanyaannya kini bergeser: pertumbuhan macam apa yang sebenarnya sedang kita alami, dan siapa yang paling diuntungkan?
Data Bisa Menyesatkan
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% di kuartal II 2025 terdengar menggembirakan di atas kertas, namun terasa janggal di tengah realitas rakyat yang menghadapi biaya hidup tinggi, daya beli yang melemah, dan lapangan kerja yang sempit.
Meski BPS berdalih bahwa data ini dihitung menggunakan standar internasional seperti System of National Accounts (SNA) yang diakui PBB, IMF, dan Bank Dunia, persoalannya bukan sekadar soal metodologi. Pertanyaannya: apakah angka ini mencerminkan kenyataan di lapangan?
Secara teknis, metode BPS sah. Tapi keabsahan statistik tak menjamin kebenaran sosial. Sebuah data bisa benar secara prosedural, namun tetap menyesatkan jika dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi masyarakat.
PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang tumbuh karena lonjakan ekspor nikel atau belanja pemerintah menjelang pemilu, misalnya, tidak otomatis berarti kehidupan rakyat ikut membaik. Jika pertumbuhan hanya dirasakan elite korporasi atau investor, maka yang terjadi bukan pemerataan, melainkan ketimpangan.
Masyarakat hidup di negara ini seperti hidup dalam dua dunia: satu dunia dalam laporan statistik yang tampak meyakinkan, dan satu lagi di realitas keseharian yang getir.
Di mana pertumbuhan ekonomi yang disebut “solid” tidak dirasakan oleh kelas menengah yang tercekik, anak muda yang menganggur, atau keluarga yang hidup dari cicilan pinjaman online (pinjol).
Pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif hanyalah ilusi kemajuan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa pertumbuhan itu sebenarnya?
PDB bisa naik karena performa sektor pertambangan, digital, atau finansial. Tapi jika mayoritas masyarakat justru tertinggal, angka tersebut tak lebih dari simbol kesenjangan yang dirayakan dan dilembagakan.
Contoh nyata: membludaknya pelamar kerja menunjukkan betapa banyak generasi muda kehilangan harapan lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Begitu banyaknya para pekerja ojek online.
Ini bukan sekedar anomali, melainkan indikator bahwa pertumbuhan ekonomi gagal menciptakan masa depan yang layak bagi generasi berikutnya..
Karena itu, PDB tidak bisa lagi menjadi satu-satunya tolok ukur kemajuan perekonomian nasional. Kita butuh indikator yang lebih membumi dan manusiawi: Apakah pengangguran menurun? Apakah daya beli rakyat meningkat? Apakah ketimpangan menyempit? Apakah kualitas hidup benar-benar naik?
Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, angka pertumbuhan ekonomi hanyalah narasi kosong. Dan bila kebijakan negara terus disusun berdasarkan ilusi angka, maka bangsa ini tak sedang melangkah maju, melainkan sedang tersesat di tengah peta yang salah.
Bahaya Data ABS
Pertumbuhan ekonomi semestinya menjadi instrumen strategis bagi presiden dan pemerintah untuk membaca dinamika sosial, mengenali akar persoalan, dan merancang arah kebijakan yang tepat. Di tangan pemimpin yang bijak, data ekonomi bukan sekadar angka, melainkan cermin realitas yang kompleks dan dinamis.
Namun bahaya muncul ketika data yang seharusnya jujur dan objektif justru didandani, dipoles, atau dikemas sedemikian rupa untuk menciptakan kesan bahwa semua berjalan baik-baik saja. Data tidak lagi menjadi alat diagnosis, melainkan alat propaganda.
Inilah yang dikenal sebagai Data ABS—Asal Bapak Senang. Angka-angka dilaporkan bukan untuk mencerminkan kondisi objektif, tetapi untuk menyenangkan penggunanya, yaitu Presiden.
BPS memang menyajikan data dengan metodologi yang valid secara teknis. Namun, validitas prosedural tidak menjamin bahwa data tersebut relevan secara substansial. Jika data itu tidak mampu menangkap kondisi riil masyarakat, maka kebijakan yang lahir darinya cenderung meleset dari kebutuhan publik.
Ibarat dokter yang keliru membaca hasil laboratorium, terapi yang diberikan justru bisa memperparah penyakit. Demikian pula negara yang menyusun kebijakan atas dasar data ilusioner—maka yang dibangun bukan kemajuan, tapi kesalahan yang dilembagakan.
Lebih berbahaya lagi, ketika angka-angka “baik” itu digunakan untuk membenarkan arah kebijakan. Pemerintah yang merasa sedang dalam jalur yang benar berdasarkan data ABS, justru bisa salah langkah.
Dalam kondisi seperti itu, negara sedang menciptakan jebakan persepsi—di mana pemimpin merasa telah bekerja efektif berdasarkan data, tetapi rakyat justru merasa terabaikan.
Di sinilah muncul apa yang disebut sebagai policy trap, ialah kebijakan publik yang keliru arah karena dibangun di atas fondasi informasi yang tidak merefleksikan realitas. Ketika persepsi tidak sesuai dengan kenyataan, maka negara bukan sedang menyelesaikan masalah, melainkan sedang memupuk krisis baru.
Bahaya paling serius dari data ABS adalah terputusnya umpan balik antara rakyat dan penguasa. Presiden yang hanya menerima laporan yang menyenangkan akan hidup dalam ruang gema (echo chamber) yang menyesatkan.
Ia tidak lagi mendengar jeritan masyarakat, melainkan hanya bisikan para pembisik statistik. Dalam situasi semacam ini, kepercayaan publik bisa runtuh, dan jarak antara negara dan warga semakin melebar.
Oleh karena itu, transparansi data dan keberanian untuk melihat kenyataan apa adanya adalah fondasi penting dalam demokrasi yang sehat. Pemimpin sejati bukan yang hanya ingin mendengar kabar baik, tetapi yang berani menatap luka, mengakui masalah, dan memperbaikinya berdasarkan data yang jujur.
Pertumbuhan ekonomi seharusnya bukan panggung ilusi, melainkan peta untuk menyelamatkan rakyat dari krisis. Jika data hanya menjadi selimut indah untuk menutupi kenyataan pahit, maka kita bukan sedang melangkah ke depan—melainkan menuju jurang dengan mata tertutup.