Shadow oligarchy

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh Erizeli Bandaro

Mudanews.com OPINI – Dalam kabut malam Dunsinane, Lady Macbeth pernah berkata,“Look like th’ innocent flower, But be the serpent under’t.” Demikianlah kekuasaan di negeri ini tumbuh, menyaru dalam wajah-wajah ramah, dalam pidato yang lembut, namun di akarnya menggenggam erat urat-urat kepentingan yang tak pernah benar-benar tulus.

Di balik nama Jokowi yang tampak sederhana, tersembunyi kekuatan lain yang lebih diam, lebih panjang umurnya dibanding masa jabatan presiden mana pun: oligarki. Bukan oligarki ide, bukan oligarki visi, melainkan oligarki kapitalisme—yang ukurannya sederhana: kekuasaansumber daya, dan jaminan keamanan hukum bagi mereka yang membangun kekuasaan itu dari balik layar.

Di balik senyum Jokowi yang bersahaja, ada tangan-tangan yang tak tampak, yang terus bekerja memastikan panggung tetap utuh, memastikan suara-suara yang melawan akan diperlunak, atau dipadamkan.

Dan Prabowo, kini duduk di kursi puncak yang diidamkannya sejak lama. Namun kekuasaannya bukan berdiri di atas keberanian penuh, bukan juga atas mandat yang benar-benar bebas. Ia tahu, istana yang kini ia huni bukan didirikan oleh kekuatan dirinya semata, tapi oleh kompromi panjang dengan oligarki yang sama. Oligarki yang memberinya tiket ke istana, tentu tak memberikannya dengan cuma-cuma.

Di balik setiap jabat tangan, ada harga yang harus dibayar: pembagian kursi, pembagian proyek, pembagian sumber daya, dan yang terpenting: pembagian perlindungan dari hukum. Maka jangan heran, jika musuh-musuh lama Jokowi tetap dibungkam, jika aparat hukum masih berjalan menurut kompas yang lama, bukan karena perintah langsung, tapi karena sistem yang telah lama dibangun untuk saling menjaga.

Di republik ini, keadilan bukan lagi soal benar dan salah, tapi soal posisi di dalam lingkaran kompromi. Siapa di dalam, aman. Siapa di luar, akan dikejar sampai letih. Prabowo tahu itu. Sebab untuk bertahan, ia tak cukup hanya punya tekad. Ia perlu berdamai dengan pola lama yang menjerat. Oligarki itu ibarat pagar tak terlihat: ia menjaga sekaligus membatasi. Melangkah terlalu jauh, terlalu berani, terlalu mandiri—bukan hanya akan mengguncang kekuasaannya, tapi bisa mengguncang keseimbangan yang telah rapuh sejak awal.

Di negeri ini, kompromi bukan kata hina. Ia justru menjadi mata uang utama politik kekuasaan. Siapa mendapat apa, siapa duduk di mana, siapa bebas dari jerat hukum—semua telah ditulis dalam perjanjian yang tak pernah diumumkan, tapi dipahami semua yang bermain di dalamnya.

Bahwa kekuasaan, seperti Lady Macbeth, tak pernah benar-benar bersih dari noda kompromi. Dan demokrasi, di tanah ini, tak selalu berarti kebebasan, tapi seringkali berarti keseimbangan semu antara kepentingan yang saling menyandera.

Barangkali inilah yang tersisa dari republik hari ini: Bukan lagi soal mimpi rakyat, tapi tentang siapa yang paling lihai berdansa dengan oligarki tanpa kehilangan muka.

Berita Terkini