Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Di tanah yang dahulu dibela dengan darah dan air mata ini, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah bentuk penghianatan terdalam terhadap martabat bangsa. Ia adalah penyakit kronis yang merusak akar keadilan, menjarah masa depan, dan memiskinkan jiwa rakyat.
Setiap rupiah yang dicuri oleh para tikus berdasi adalah luka yang menganga di tubuh republik ini. Setiap kebohongan yang dipertontonkan di layar kaca adalah penistaan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Rp 285 Triliun: Angka yang Menghancurkan Kepercayaan
Angka yang diumumkan Kejaksaan Agung pada 2023 terkait kasus korupsi impor minyak mentah PT Pertamina bukan sekadar statistik—Rp 285 triliun adalah pengkhianatan yang dikemas dalam tumpukan dokumen dan rapat gelap.
Tokoh utama dalam skandal ini adalah Rifa Handayani Djamhari, eks Dirut PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral), yang diduga menjadi salah satu kunci dalam pusaran mafia migas yang menyedot kekayaan negara secara sistematis.
Di bawah komando mafia ini, Rp 35 triliun hilang dari ekspor minyak mentah domestik. Rp 9 triliun raib dari korupsi impor BBM. Rp 126 triliun lenyap dalam kompensasi BBM yang dipalsukan. Semua demi memperkaya segelintir elit, sementara rakyat mengantri solar, menjerit menghadapi inflasi, dan anak-anak di pelosok kekurangan gizi.
Ini bukan sekadar pencurian—ini adalah penjarahan besar-besaran yang dilakukan bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh pengkhianat dari dalam.
Kasus Jiwasraya: Dana Rakyat Dijadikan Kasino
Kita tak bisa melupakan skandal korupsi Jiwasraya—perusahaan asuransi pelat merah yang menggelapkan Rp 16,8 triliun dana nasabah. Oknum seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat mempermainkan uang masyarakat kecil dalam bursa saham, memperkaya diri, dan meninggalkan ribuan rakyat kehilangan masa depan.
Di mata hukum, mereka divonis. Tapi di mata rakyat, luka itu tetap membekas: kepercayaan dihancurkan, harapan dilucuti.
Kasus ASABRI: Prajurit dan Pensiunan Jadi Korban
Lebih memilukan lagi, kasus korupsi di ASABRI (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang merampok Rp 23,7 triliun. Para pelakunya termasuk Letjen (Purn) Sonny Widjaja, mantan Dirut ASABRI.
Prajurit-prajurit yang mengabdikan hidup mereka demi bangsa, para veteran yang rela kehilangan anggota tubuh demi negara—ditikam dari belakang oleh petinggi yang seharusnya menjaga mereka.
E-KTP: Korupsi yang Membunuh Identitas
Skandal E-KTP adalah bukti bahwa bahkan hak dasar warga negara pun tak luput dari perampokan. Setya Novanto, Ketua DPR kala itu, jadi simbol kejatuhan moral para elit yang menjadikan proyek identitas nasional sebagai ladang korupsi senilai Rp 2,3 triliun.
Yang dicuri bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara.
Korupsi: Lebih Berbahaya dari Penjajahan
Semua ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan sekadar tindak pidana. Ia adalah sabotase terhadap ketahanan nasional.
Ia lebih berbahaya dari embargo ekonomi. Ia lebih menghancurkan dari resesi global. Sebab korupsi menghancurkan sesuatu yang tak bisa dibangun kembali dengan cepat: kepercayaan, harga diri, dan kemandirian bangsa.
Bangsa ini pernah membuktikan keberaniannya melawan kolonialisme, namun hari ini justru dilumpuhkan oleh penjajahan gaya baru yang lebih licik:
Penjajahan oleh oligarki ekonomi
Penjajahan oleh elit politik yang menggadaikan rakyat demi kekuasaan
Penjajahan oleh aparat yang berbisnis dengan hukum
Kebusukan Sistemik: Ketika Penegak Hukum Ikut Terlibat
Ironisnya, korupsi di negeri ini bukan hanya dilakukan oleh politisi dan pengusaha. Lembaga penegak hukum pun tak steril.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dijebloskan ke penjara karena menerima suap dalam sengketa Pilkada.
Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari terlibat skandal suap terkait Djoko Tjandra.
Bahkan kepolisian dan kementerian berkali-kali disorot atas dugaan korupsi dan jual beli jabatan.
Diam Adalah Pengkhianatan
Hari ini, lebih berbahaya dari para koruptor adalah mereka yang memilih diam.
Mereka yang menutup mata, membungkam suara, dan bersembunyi di balik dalih “bukan urusan saya.”
Sejarah bangsa selalu mencatat bukan hanya siapa yang jahat, tetapi juga siapa yang membiarkan kejahatan itu terjadi.
Jika bangsa ini ingin selamat, maka pembersihan moral dan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu.
Tidak cukup dengan pidato.
Tidak cukup dengan sandiwara penegakan hukum.
Tidak cukup dengan kosmetik reformasi.
Yang diperlukan adalah revolusi mental dan keberanian menegakkan keadilan dengan tangan besi.
Bangsa Ini Punya Pilihan:
1. Terus diam, dan menjadi bangsa yang perlahan punah, digerogoti dari dalam.
2. Bersatu melawan, membersihkan, dan memulihkan kehormatan yang telah diinjak-injak.
Pertanyaannya bukan lagi: “Siapa yang bersalah?”
Tapi: “Masihkah kita punya keberanian untuk menghentikannya?”

