Mudanews.com Jakarta, — Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, mengusulkan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk membentuk Kementerian Pencipta Lapangan Kerja guna menjawab tantangan ketenagakerjaan nasional yang kian mendesak.
Usulan ini muncul di tengah kekhawatiran publik terhadap melesetnya janji kampanye Prabowo-Gibran yang menargetkan penciptaan 19 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2029. Hingga pertengahan 2025, belum terlihat adanya lompatan signifikan, sementara gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan ketidakpastian kerja justru meningkat di banyak sektor.
“Negara tidak memiliki institusi tunggal yang bertanggung jawab secara eksplisit untuk menciptakan pekerjaan. Ini kekosongan kelembagaan yang sangat mendasar,” ujar Aznil Tan, Rabu (2/7).
Tingkat Pengangguran Tinggi dan Ancaman Sosial
Laporan World Economic Outlook dari IMF yang dirilis April lalu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN, yakni 5,0%, mengungguli Filipina (4,5%) dan Malaysia (3,2%). Jika dikombinasikan dengan pekerja informal, maka lebih dari 60% angkatan kerja berada dalam kondisi kerja yang rentan.
Fenomena NEET (Not in Employment, Education, or Training) pun meningkat. Data ILO dan ADB menunjukkan sekitar 10 juta anak muda Indonesia berada di luar sistem pendidikan, pelatihan, maupun pekerjaan—sebuah bom waktu sosial dan ekonomi.
“Pekerjaan bukan sekadar angka dalam statistik, tapi soal martabat dan masa depan. Tanpa kerja, tidak ada keadilan dalam pembangunan,” tegas Aznil.
Kritik atas Program yang Ada: Banyak Output, Minim Outcome
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim telah menciptakan 3,59 juta lapangan kerja baru dalam setahun terakhir. Namun, Aznil menilai capaian itu lebih menonjolkan output administratif—seperti jumlah pelatihan dan sertifikasi—tanpa transparansi data mengenai serapan kerja formal.
Hal serupa terjadi dalam proyek hilirisasi dan transisi energi yang disebut-sebut akan menyerap jutaan tenaga kerja. Namun, tidak ada audit independen yang memastikan efektivitasnya.
“Tanpa data publik dan verifikasi konkret, kita hanya akan terus berkutat dalam retorika,” katanya.
Satgas Lapangan Kerja sebagai Solusi Awal
Sebagai solusi jangka pendek, Aznil mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Nasional Penciptaan Lapangan Kerja di bawah langsung Presiden. Satgas ini akan menjadi simpul koordinasi lintas kementerian, bertugas mengintegrasikan data ketenagakerjaan, memantau penciptaan kerja riil, dan merancang strategi berbasis data.
“Satgas bukan lembaga gemuk. Ia seperti dapur koordinasi nasional yang lincah, efisien, dan fokus pada hasil,” jelasnya.
Jika berhasil, Satgas ini bisa menjadi landasan untuk pembentukan Kementerian Lapangan Kerja sebagai institusi permanen yang bertanggung jawab menciptakan pekerjaan—sebuah reformasi kelembagaan yang belum pernah dilakukan sejak reformasi 1998.
Belajar dari Negara Lain
Aznil mencontohkan sejumlah negara yang telah lebih dahulu membentuk institusi pencipta kerja secara terstruktur. Singapura memiliki Workforce Singapore, Jerman memiliki Federal Employment Agency, dan Irlandia membentuk Jobs Initiative Taskforce usai krisis ekonomi.
“Negara-negara ini tidak menyerahkan nasib pekerjaan rakyatnya ke pasar semata. Mereka hadir secara aktif. Sudah saatnya Indonesia melakukan hal yang sama,” katanya.
Janji Cipta Lapangan Kerja Menuju Tanggung Jawab Institusional
Menurut Aznil, pekerjaan bukan sekadar efek samping pertumbuhan ekonomi, melainkan tujuan utama pembangunan. Ia menegaskan bahwa konstitusi Indonesia mengamanatkan pekerjaan sebagai hak warga yang harus dijamin negara.
“Tanpa institusi yang diberi mandat dan akuntabilitas yang jelas, janji menciptakan 19 juta lapangan kerja akan kembali menjadi ilusi lima tahunan. Kita butuh keberanian untuk menginstitusikan janji itu ke dalam sistem negara,” tutup Aznil.**(Red)