Tambang Nikel Raja Ampat Tempat Bagi-bagi Kue dan Orang Miskin Bakar Rokok Biayai dan Subsidi Negara

Breaking News
- Advertisement -

 

Ditulis:,Heru Subagia Pengamat Politik dan Ekonomi

Mudanews.com OPINI  – Ketika pejabat di negeri ini selalu kaget, reaktif mendengar penemuan baru yang merugikan kepentingan negara. Seolah-olah mereka mendengar berita gempa atau TSUNAMI maha dahsyat hingga pura-puta prihatin dan berduka atas bencana tersebut.

Praktek tersebut akhirnya sudah menjadi kebiasaan pejabat negeri melampiaskan simpati dengan kepura-puraan yang dibuatnya hingga masyarakat justru sudah bosan melihat adegan drama dagelan tersebut.

Terima Kasih Pabrik dan Perokok

Diketahui Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara dengan persentase perokok terbanyak di dunia tahun 2025. Indonesia berada di posisi kelima dengan persentase perokok sebanyak 38,7%.

Jumlah prosentase tersebut adalah para pahlawan pajak. Ironinya, mereka saat ini sedang dicari dan diperbincangkan ketika terjadi penurunan daya beli hingga mengurangi atau bahkan sudah tidak kuat mengonsumsi rokok legal ber cukai.

Objek Pajak Rokok seperti yang didefinisikan pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009 adalah konsumsi rokok. Rokok sebagaimana dimaksud meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.

Kontribusi para perokok sangat besar menopang pendapat daerah dan nasional. Sebaga ilustrasi yang menggambarkan cukai rokok sangat penting sumber pemerintah pajak.

Paradoks kontribusi merokok pekerjaan yang merugikan kesehatan, membunuh pelan tetapi memberikan kontribusi nyata. Namun faktanya, potensi bahaya tersebutl terabaikan oleh besaran pajak rokok yang mengiurkan, menjadi penyumbang pendapatan daerah.

Contoh kasus besaran kontribusi perokok dan pabrik untuk pajak di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus, Jawa Tengah, mencatat penerimaan Cukai hingga triwulan pertama tahun 2025 sebesar Rp10,92 triliun dari target penerimaan sebesar Rp48,02 triliun.

Cukai Turun

Sudah menjadi pengetahuan bersama jika Industri rokok menjadi tulang punggung pendapatan negara melalui setoran cukai dan pajak. Ekosistem dalam Industri tersebut juga ikut menopang perekonomian negara melalui penciptaan lapangan kerja mulai dari petani, penggiling tembakau, agen penjual, hingga karyawan pabrik.

Melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani, mengungkapkan bahwa produksi rokok nasional mengalami penurunan sebesar 4,2% hingga Maret 2025. Penurunan ini terutama terjadi pada rokok golongan I yang mengalami penurunan produksi hingga 10%. Sementara itu, produksi rokok golongan II naik sebesar 1,3% dan golongan III naik 7%.

Askolani menegaskan bahwa penurunan total produksi ini tidak semata-mata disebabkan oleh fenomena downtrading (tren konsumen beralih ke produk dengan tarif cukai lebih rendah), melainkan dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain seperti daya beli dan kebijakan kesehatan.

Sementara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mereka menyoroti kebijakan cukai pemerintah, khususnya pada produk rokok. Pokoh permasalahannya adalah Tarif tinggi akan menurunkan daya beli konsumen, khususnya di segmen ekonomi menengah ke bawah, serta berdampak pada stabilitas penerimaan negara.

Sangat penting untuk merumuskan kebijakan cukai yang berimbang agar tidak mendorong pergeseran konsumsi ke produk-produk yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara. Demikian pernyataan dari Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun dalam keterangan tertulis, Senin (9/6/2025).

Data di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas konsumen rokok dengan harga terjangkau berada pada kelompok pendapatan sekitar UMR atau bahkan di bawahnya. Produk rokok dengan harga Rp13.000-Rp15.000 per bungkus masih menjadi pilihan utama, sementara kenaikan tarif cukai dapat mendorong harga jual menjadi di kisaran Rp20.000 per bungkus atau lebih.


Rakyat Yang Disalahin

Pendapatan pajak di setoran pajak rokok yang sangat besar harusnya tamparan bagi para elite bangsa yang saat ini sedang duduk di Senayan ataupun di sudut -sudut gedung Kementerian. Harusnya istana juga prihatin dan malu jika sempat berita ini sampai di meja presiden. Mengapa demikian?

Karena apa yang saat ini mereka lakukan dan dapatkan baik gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya karena dibiayai boleh pajak dan sumber pajak tersebut salah satunya dari isapan asap dari barang rokok yang dibakar oleh ratusan juta rakyat kecil.

Perlu diketahui dalam sebatang rokok setidaknya ada tiga pendapatan negara yang cukup besar dihasilkan yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan pajak daerah atau pajak rokok. Rokok juga menyumbang Pajak Penghasilan (PPh) melalui setoran PPh pribadi jutaan buruh rokok serta PPh badan perusahaan.

Sebagai gambaran, tarif cukai dipungut per batang berdasarkan golongan. Besaran tarif PPN ditetapkan 9,7% dri harga jual. Pajak rokok dihitung 10% dari tarif cukai sementara tarif PPh badan 2022 adalah 22% dari profit.

Dalam kondisi rakyat sedang melarat dan ketidakberdayaan daya beli hingga tidak mampu atau mengurangi konsumsi rokok bahkan tetap memaksakan merokok mengambil jatah kebutuhan rumah tangga.

Alih-alih pemerintah ikut prihatin dalam melihat persoalan turunnya daya beli masyarakat, justru seolah menyalahkan masyarakat serta masyarakat Industri rokok, mencari sumber utama konsumsi rokok turun hingga berdampak ke setoran pajak.

Dusta Negara Kaya Raya

Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua? Mau tanya, selama ini berapa besar setoran pajak ke negara? Masak gara gara penurun orang kecil tidak kuat beli dan menghisap rokok hingga penerimaan cukai rokok jadi amblas.

Miris bangat di negeri ini yang konon menjadi negeri diperebutkan banyak negara kolonial karena kekayaan alamnya akhirnya harus meminta tolong ke masyarakat bawah untuk mendapatkan setoran pajak?

Pajak rokok hanya baru satu items dukungan langsung rakyat kecil berkontribusi besar pajak bagi negara.

Kalau dicecar dan dibikin ruwet lagi, banyak setoran banyak yang disumbang boleh warga bawah. Lihat mereka bayar PBB, beli baju dan sembako terkena PPN, harus bayar STNK motor dan juga jika mereka dapat bantuan tunai atau barang juga terkena pajak.

Negara mendapatkan pajak dari warga sebenarnya bisa dikatakan memaksa. Jelas sekali pajak yang dipungut adalah uang segar atau fresh money. Dana ini adalah bentuk penerimaan pajak yang sifatnya transaksional seperti PPh 21, PPh final, dan PPh dalam negeri. PPh dalam negeri itu diiambil dri aktivitas di dalam pembayaran gaji, THR, dan aktivitas ekonomi retail.

Gagal Jalankan Amanah UUD 45

Sungguh miris dan prihatin melihat prahara di negeri ini, jika pada kenyataannya rakyat kecil bukannya mendapatkan insentif atau bahkan terbebas dari pajak justru menjadi juru tombok dan juru selamat rejim berkuasa.

Naas bagi bangsa ini ketika nanyak BUMN disektor tambang bukannya menjadi sektor produktif menghadirkan setoran pajak maksimal, namun justru hanya untuk tempat parkir titipan elite politik, tokoh masyarakat sebagai bagian fulus atau bagi-bagi kekuasaan dan kelezatan dari dukungan politiknya dalam kontestasi politik nasional. Sudah merusak alam dan setoran pajak negara juga tidak maksimal hingga rakyat miskin yang memberikan subsidi.

Sepertinya rakyat harusnya terus menghisap rokok untuk mendukung dan membiayai rejim berkuasa untuk keberlanjutan pemerintahan. Padahal sudah jelas merokok mengancam bahkan bunuh pelan-pelan penggunanya.

Bagaimana pertanggungjawaban negara dalam melaksanakan perintah UUD 45 terutama pasal 33? Sesungguhnya bumi, air dan kekayaan yang ada di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.

Harusnya rakyat Indonesia bebas atau ringan membayar berbagai pembayaran pajak, mendapatkan insentif kesehatan, jaminan hari tua bahkan berbagai subsidi kebutuhan rumah tangga seperti listrik, gas dan air.

Namun, semuanya itu bohong dan saat ini masyarakat adalah korban paling pertama dan bahkan menjadi bumper ketika defisit anggaran hingga Negara cepat-cepat menaikkan berbagai instrumen pajak.

Betulkah kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan masyarakat Indonesia karena negara hadir dan telah gagal menjalankan amanah UUD 45 ?

Berita Terkini