mudanews.com OPINI – Ketika dunia menyebut Raja Ampat sebagai surga terakhir bagi ekosistem laut tropis, Indonesia justru mempertaruhkan keindahan itu demi gumpalan nikel. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia turun langsung ke lokasi tambang PT GAG Nikel pada Sabtu (7/6/2025), pasca dihentikannya sementara operasi perusahaan tersebut dua hari sebelumnya karena keluhan masyarakat soal potensi kerusakan lingkungan.“Saya datang untuk melihat langsung. Ini bukan hanya soal dokumen, tapi soal nurani publik,” ujar Bahlil.
Bahlil Lahadalia bukan tokoh sembarangan. Ia lahir dari keluarga sederhana di Fakfak, Papua Barat. Dikenal sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Bahlil merintis karier sebagai pengusaha dan sukses membangun jaringan di berbagai sektor, terutama melalui HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), yang kelak mengantarkannya masuk lingkaran dekat Presiden Joko Widodo.
Ketika dunia menyebut Raja Ampat sebagai surga terakhir bagi ekosistem laut tropis, Indonesia justru mempertaruhkan keindahan itu demi gumpalan nikel. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia turun langsung ke lokasi tambang PT GAG Nikel pada Sabtu (7/6/2025), pasca dihentikannya sementara operasi perusahaan tersebut dua hari sebelumnya karena keluhan masyarakat soal potensi kerusakan lingkungan.
“Saya datang untuk melihat langsung. Ini bukan hanya soal dokumen, tapi soal nurani publik,” ujar Bahlil.
Bahlil Lahadalia bukan tokoh sembarangan. Ia lahir dari keluarga sederhana di Fakfak, Papua Barat. Dikenal sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Bahlil merintis karier sebagai pengusaha dan sukses membangun jaringan di berbagai sektor, terutama melalui HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), yang kelak mengantarkannya masuk lingkaran dekat Presiden Joko Widodo.
Bahlil kemudian dipercaya menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lalu diangkat menjadi Menteri Investasi/Menteri ESDM. Bahkan, pada 2025 ini, ia menanjak menjadi **Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Airlangga Hartarto.
Namun, langkah politik dan karier Bahlil tak lepas dari sorotan. Banyak pengamat menilai, posisi strategisnya di kabinet Prabowo tak lepas dari kedekatannya dengan mantan Presiden Jokowi. Kedekatan ini bukan sekadar simbol, tapi menjadi poros strategis dalam peta politik nasional.
Gas Elpiji 3 Kg Satu Kebijakan, Seribu Dampak
Bahlil pernah menjadi sorotan saat mengeluarkan kebijakan pengendalian subsidi gas elpiji 3 kg pada awal 2025. Alih-alih menyelesaikan masalah distribusi, kebijakan tersebut memicu antrian panjang, kegaduhan sosial di berbagai daerah, serta keresahan masyarakat kecil yang sangat tergantung pada gas subsidi.
Meskipun pada akhirnya dilakukan evaluasi dan penyesuaian ulang sistem subsidi, namun peristiwa itu menjadi catatan serius bahwa satu keputusan teknokrat bisa berakibat langsung pada hajat hidup rakyat bawah.
Maka, dalam konteks kasus tambang nikel di Raja Ampat, publik kini kembali berharap agar Bahlil tak mengulang kesalahan yang sama. Bahwa kebijakan tambang harus berpihak pada kelestarian dan masyarakat, bukan sekadar data teknis atau laporan normatif.
Luka Wawonii dan Mandiodo
Kasus Wawonii dan Mandiodo telah menjadi pelajaran pahit. Di Wawonii, janji tambang berubah jadi konflik tanah dan kriminalisasi warga. Di Mandiodo, tambang legal justru menjadi kedok praktik ilegal yang melibatkan elite dan merugikan negara triliunan rupiah.
Kini, PT GAG Nikel berada dalam sorotan yang sama. Meski memiliki izin resmi seluas 13.136 hektare dan terdaftar dalam Kontrak Karya (KK) berdasarkan Keppres 41/2004, namun legalitas formal tak selalu sejalan dengan legitimasi sosial dan ekologis.
Sebagai pemangku kebijakan, Bahlil harus sadar bahwa niat baik saja tidak cukup. Kompleksitas lapangan, tekanan investor, dan potensi konflik kepentingan bisa memelintir arah kebijakan jika tidak dikendalikan dengan keberanian moral dan komitmen hukum yang tegas.
Segala bentuk keputusan menteri tetap memiliki tanggung jawab publik dan konsekuensi hukum. Sebab sejarah mencatat, gagalnya suatu negara sering bermula dari pengingkaran terhadap norma hukum yang akhirnya dibajak untuk kepentingan kekuasaan atau golongan.
Saatnya Pilih, Tambang atau Alam?
Jika Raja Ampat rusak, dunia tak akan mencatat siapa yang jadi menteri saat itu, tapi akan mengingat Indonesia membiarkan surga terakhirnya hilang demi tambang.
Kini, publik menanti keputusan Menteri Bahlil. Dan sejarah sedang menunggu: apakah beliau akan dikenang sebagai penyelamat ekowisata Raja Ampat, atau hanya jadi catatan kaki dalam daftar panjang kebijakan yang mengecewakan.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed