Penulis : Drs. Muhammad Bardansyah Ch,Cht
Mudanews.com OPINI – Beberapa hari ini kita di suguhkan oleh berita tentang korupsi yang bernilai Fantastis. Sebenarnya berita korupsi ini telah mejadi makanan/bacaan masyarakat selama bertahun-tahun, namun makin ke belakang justru semakin massive dan nilainya juga luarbiasa. Mencermati hal ini tentu tak salah jika kita melirik negara-negara yang tingkat korupsinya sangat rendah yakni negara-negara Nordic, bagaimana bisa di negara-negara ini tingkat korupsinya sangat rendah, apa yang mereka lakukan, situasi apa yang mempengaruhinya; apakah budaya, pedidikan, politik atau apa ?
Negara-negara Nordic, yang terdiri dari Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia, dikenal sebagai contoh negara dengan tingkat korupsi yang sangat rendah. Menurut Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh Transparency International, negara-negara ini secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam hal transparansi dan integritas. Di sisi lain, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi korupsi. Dalam tulisan ini, kita akan membahas faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat korupsi di negara-negara Nordic, serta mengapa negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak berhasil menekan korupsi, dengan fokus pada sektor budaya, hukum, dan politik.
Sektor Budaya Nilai dan Etika
Budaya di negara-negara Nordic sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai egalitarianisme dan kepercayaan sosial yang tinggi. Masyarakat di negara-negara ini cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap institusi publik dan pemerintah. Hal ini menciptakan lingkungan di mana korupsi dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap norma sosial. Sebaliknya, di Indonesia, budaya patronase dan nepotisme masih kuat, yang sering kali mengarah pada praktik korupsi.
Egalitarianisme :
Definisi : Egalitarianisme adalah pandangan yang menekankan kesetaraan di antara individu dalam masyarakat. Di negara-negara Nordic, nilai ini sangat mendalam dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
Implikasi : Masyarakat yang menganut nilai egalitarianisme cenderung menolak praktik-praktik yang menciptakan ketidakadilan, termasuk korupsi. Ketika semua individu dianggap setara, tidak ada ruang untuk favoritisme atau penyalahgunaan kekuasaan.
Kepercayaan Sosial yang Tinggi :
Definisi : Kepercayaan sosial merujuk pada keyakinan masyarakat terhadap integritas dan kompetensi institusi publik serta pemerintah.
Dampak : Tingkat kepercayaan yang tinggi ini menciptakan iklim di mana masyarakat merasa aman untuk berinteraksi dengan institusi tanpa takut akan penipuan atau korupsi. Ketika masyarakat percaya bahwa pemerintah bertindak untuk kepentingan umum, mereka lebih cenderung untuk mematuhi hukum dan norma sosial.
Norma Sosial dan Korupsi :
Pelanggaran Serius : Dalam konteks budaya Nordic, korupsi dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap norma sosial. Masyarakat tidak hanya melihat korupsi sebagai masalah hukum, tetapi juga sebagai masalah moral dan etika.
Sanksi Sosial : Ketika seseorang terlibat dalam praktik korupsi, mereka tidak hanya menghadapi konsekuensi hukum, tetapi juga sanksi sosial. Ini menciptakan tekanan untuk menjaga integritas dan transparansi dalam semua aspek kehidupan.
Budaya di Indonesia
Budaya Patronase :
Definisi : Budaya patronase adalah sistem di mana hubungan antara individu atau kelompok didasarkan pada ikatan kekuasaan dan dukungan, sering kali melibatkan pertukaran sumber daya atau keuntungan.
Implikasi : Dalam konteks ini, individu sering kali merasa terikat untuk memberikan dukungan kepada patron (pemimpin atau orang berkuasa) sebagai imbalan atas perlindungan atau keuntungan. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana praktik korupsi dianggap sebagai hal yang biasa atau bahkan diperlukan untuk mendapatkan akses ke sumber daya.
Tingkat Kepercayaan yang Rendah :
Krisis Kepercayaan : Di Indonesia, tingkat kepercayaan terhadap institusi publik dan pemerintah sering kali lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Nordic. Hal ini dapat disebabkan oleh sejarah panjang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dampak Negatif : Ketika masyarakat tidak percaya pada institusi, mereka cenderung mengandalkan jaringan pribadi atau patron untuk mendapatkan bantuan, yang pada gilirannya memperkuat budaya patronase dan menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Norma Sosial yang Berbeda :
Persepsi Korupsi : Dalam budaya yang lebih toleran terhadap praktik patronase, korupsi mungkin tidak dianggap sebagai pelanggaran serius. Sebaliknya, hal ini bisa dilihat sebagai cara untuk bertahan hidup atau mencapai tujuan.
Sanksi Sosial yang Lemah : Ketika norma sosial tidak menentang korupsi secara tegas, individu mungkin merasa tidak ada konsekuensi yang signifikan untuk terlibat dalam praktik tersebut.
Pendidikan dan Kesadaran Publik
Sistem pendidikan di negara-negara Nordic menekankan pentingnya etika dan integritas. Masyarakat diajarkan untuk menghargai transparansi dan akuntabilitas sejak usia dini. Di Indonesia, meskipun ada upaya untuk meningkatkan pendidikan anti-korupsi, kesadaran publik tentang pentingnya integritas masih rendah, dan banyak orang yang menganggap korupsi sebagai hal yang biasa.
Sektor Hukum Penegakan Hukum yang Kuat
Negara-negara Nordic memiliki sistem hukum yang kuat dan independen. Penegakan hukum dilakukan secara konsisten dan tanpa pandang bulu, sehingga pelanggaran hukum, termasuk korupsi, akan mendapatkan sanksi yang tegas. Di Indonesia, meskipun ada undang-undang yang mengatur tentang korupsi, penegakan hukum sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi, yang mengakibatkan ketidakadilan dalam penanganan kasus korupsi.
Transparansi dan Akses Informasi
Sistem hukum di negara-negara Nordic juga ditandai dengan transparansi yang tinggi. Masyarakat memiliki akses yang mudah terhadap informasi publik, yang memungkinkan mereka untuk mengawasi tindakan pemerintah. Di Indonesia, meskipun ada undang-undang tentang keterbukaan informasi publik, implementasinya sering kali tidak konsisten, dan masyarakat masih kesulitan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengawasi pemerintah.
Sektor Politik Partisipasi Politik yang Tinggi
Negara-negara Nordic memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi, di mana warga negara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menciptakan akuntabilitas yang lebih besar terhadap pemerintah. Di Indonesia, meskipun ada pemilihan umum, partisipasi politik sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti uang dan kekuasaan, yang dapat mengarah pada praktik korupsi.
Faktor Pendidikan yang rendah juga sangat berpengaruh. Pada suatu Ketika masyarakat sangat geger dengan gagalnya pemerintah mensejahterakan masyarakat akibat massivenya korupsi yang melibatkan pejabat , namun saat pemilihan umum kebanyakan masyarakat lupa pada hal-hal yang telah menimpa mereka dan dengan iming-iming uang mereka Kembali memilih politisi gagal ini bahkan memilih mantan koruptor untuk menjadi wakil mereka.
Sistem Politik yang Stabil
Stabilitas politik di negara-negara Nordic juga berkontribusi terhadap rendahnya tingkat korupsi. Pemerintah yang stabil dan transparan cenderung lebih mampu menanggulangi korupsi. Di Indonesia, ketidakstabilan politik dan konflik kepentingan sering kali menghambat upaya untuk memberantas korupsi.
Kesimpulan
Negara-negara Nordic telah berhasil menekan tingkat korupsi melalui kombinasi faktor budaya, hukum, dan politik yang mendukung transparansi dan akuntabilitas. Di sisi lain, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi korupsi, yang dipengaruhi oleh budaya patronase, penegakan hukum yang lemah, dan ketidakstabilan politik serta factor Pendidikan yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang lebih besar dalam meningkatkan kesadaran publik, memperkuat sistem hukum, dan mendorong partisipasi politik yang lebih aktif.
Referensi
1. Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index.
2. Rothstein, B., & Teorell, J. (2008). “What is Quality of Government? A Theory of Impartial Government Institutions.” Governance, 21(2), 165-190.
3. Putnam, R. D. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press.
4. World Bank. (2023). World Development Report: Governance and the Law.