Oleh: Agung Wibawanto
Mudanews.com OPINIĀ | Pada akhir tahun 90-an, China mulai mengurangi jumlah BUMN, namun tetap mempertahankan kendali atas perusahaan negara yang lebih besar. Beberapa BUMN yang lebih kecil direstrukturisasi. Selain itu, banyak pembangunan di seluruh China yang tidak mungkin dikelola oleh swasta, terutama terkait infrastruktur publik di beberapa daerah terpencil.
Salah satu mega proyek yang telah diselesaikan BUMN itu adalah jalan tol China. Hanya butuh sekitar 30 tahun untuk membangun lebih dari 160.000 kilometer di jalan bebas hambatan, lebih banyak dari negara lain mana pun di dunia. Hampir semua jalan raya China dibangun oleh BUMN.
Ketika negara membutuhkan infrastruktur untuk dibangun, BUMN bisa melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini dikarenakan BUMN didukung penuh oleh pemerintah China. Sejumlah perusahaan raksasa milik negara itu tidak perlu mempertimbangkan keuntungan finansial dari proyek-proyek ini.
Politik ekonomi China, setidaknya di abad 21 ini bisa dibilang cukup unik. Di saat banyak negara berkembang di dunia sibuk merumuskan strategi supaya arus modal asing dapat masuk ke negaranya _(Foreign Direct Investment [FDI])_, China justru sibuk berpikir bagaimana dia meningkatkan investasi ke luar Tiongkok _(Outbound Direct Investment [ODI])._
Internasionalisasi BUMN China bermula sejak diluncurkannya kebijakan _āZou chu quā_, yang berarti going-global. Kebijakan ini diluncurkan sebagai respons terhadap keanggotaan Tiongkok dalam _World Trade Organization_ yang menandai dimulainya era liberalisasi perdagangan internasional.
Kebijakan tersebut menuntut BUMN Tiongkok untuk bertransformasi menjadi _state-owned multinational coorporations (SOMNCs)_. Hasil dari transformasi tersebut berhasil melejitkan besaran ODI Tiongkok menjadi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Data yang dirilis oleh Kementerian Perdagangan Tiongkok pada tahun 2023 menunjukkan bahwa ODI Tiongkok telah mencapai angka US$163 milyar di tahun 2022. Jumlah ini jauh melesat dari yang hanya kurang dari US$3 milyar di tahun 2002.
Kemampuan China berperan aktif dalam pasar global dengan menjadikan BUMN mereka sebagai ujung tombak dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Sebagai sebuah negara yang juga memiliki banyak BUMN dan bahkan oleh beberapa pakar disebut memiliki konstitusi yang cenderung menghendaki kapitalisme negara, Indonesia tentu memiliki peluang yang sama besar dengan Tiongkok.
BUMN Indonesia selama ini masih memiliki budaya yang birokratis ala pemerintahan alih-alih seperti badan usaha pada umumnya. Tentu hal tersebut mengurangi kegesitan BUMN kita dalam bersaing di pasar, bahkan beberapa perusahaan plat merah tersebut mengalami kerugian parah hingga terancam bangkrut.
Tantangan lain terkait BUMN kita adalah kecenderungan para atasan untuk dilayani, disegani, dan dihormati oleh bawahan-bawahannya sebagaimana kultur pegawai pemerintahan. Kultur yang demikian tentu merusak profesionalitas kerja BUMN sebagai suatu badan usaha dan dapat mengurangi daya saing BUMN dibandingkan dengan badan usaha swasta.
Selain itu, kenyataan pahit lain mengenai BUMN kita adalah pemilihan jajaran direksi atau komisaris yang jauh dari kata fair, fit, dan proper. Terkadang, BUMN kita hanya menjadi pos-pos jatah bagi orang-orang dekat kekuasaan sebagai wujud terima kasih pasca kontestasi. Hal inilah yang kerap kali disebut orang bahwa BUMN kita tidak lebih dari sapi perah politik.
Budaya korupsi dan lemahnya penegakan hukum selain juga soal ketidakpastian hukum, menjadi persoalan yang seolah tidak pernah selesai. Dibutuhkan semacam daya kejut (jika tidak ingin dikatakan revolusi) yang fundamental agar BUMN Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju lainnya terutama China.
China sendiri memiliki etos kerja dan penerapan hukum yang tegas bagi pelanggaran hukum terkait perekonomian negara. Pemerintah China tidak segan menghukum mati koruptor sehingga menciptakan iklim perekonomian yang sehat bagi negara. Tikus korup akan berpikir seribu kali untuk melakukan perampokan uang negara.
Terakhir, BUMN Indonesia juga harus berani berorientasi sebagai pelayan rakyat, bukan semata _benefit oriented_. Mengapa, agar perekonomian domestik dapat meningkat pertumbuhannya. Penguatan di dalam negeri sendiri (perekonomi rakyat) sangat diutamakan sebelum melangkah ekspansi ke negara-negara lain yang dijadikan sebagai target pasar.
Berbagai tantangan menyangkut BUMN perlu dijawab oleh lembaga baru Danantara. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) baru saja dibentuk oleh Presiden Prabowo (24/2/2025). Danantara dibentuk untuk konsolidasi kekuatan ekonomi di BUMN (tercantum dalam RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN atau UU BUMN, disahkan pada 4/2/2025).
Secara grand concept, model holding company ini adalah positif, hanya saja mungkin hadir pada waktu yang kurang tepat. Di saat Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan terhadap pejabat dan aparat negara. Jangan sampai ini hanya dijadikan semacam mainan baru, media baru, peluang baru, sumber baru bagi praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme bagi penguasa dan kroninya.