Kebijakan Publik dan Manifestasi Kemiskinan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Masalah kemiskinan adalah kenyataan yang masih dihadapi oleh pemerintah sampai saat ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai (10,19 persen) atau sebesar 27,55 juta orang, selama periode September 2020. Ini membuktikan bahwa kemiskinan masih sulit untuk dikendalikan oleh pemerintahan.

Meskipun harus diakui bahwa pada dasarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro kemiskinan (pro poor), Namun kenyataanya program-program tersebut tidak mampu mengentaskan kemiskinan, terutama mereka yang termasuk kategori sangat miskin (the absolut poor).

Kemiskinanan merupakan problematika yang sangat dinamis, wujud kemiskinan diakibatkan oleh banyak variabel sehingga penyelesainya tidak bisa menggunakan pendekatan single strategy tapi harus multy strategy dan terintegrasi. Karena itu kajian tentang kemiskinan juga harus komprehensif dan dinamis dengan menggunakan berbagai variabel pendukung dalam penyelesainya.

Untuk itu, mengurai kemiskinan tidak cukup hanya diintervensi dengan pendekatan program charity (amal), apalagi tidak ada goodwill berupa kebijakan yang fokus pada strategi penanganan kemiskinan. Memperbaiki masyarakat yang katagori absolut poor membutuhkan tenaga ahli dibidangnya (expert) dengan berbagai strategi dan kesungguhan.

Namun melihat realitas yang ada sekarang masyarakat miskin bahkan dibebani pembayaran pajak diberbagai bidang yang ada, mulai dari sembako, pendidikan, ibu melahirkan dan lain-lain. kebijakan ini merupakan menifestasi dari masyarakat miskin, yang miskin semakin miskin dan jumlah kemiskinan semakin meningkat.

Sudah tegas dinyatakan dalam konstitusi kita, bahwa tugas negara adalah memelihara fakir miskin. Secara eksplisit termaktub dipasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, dipelihara dalam pengertian bahwa pemerintah harus bisa memberdayakan masayarakat miskin (power less) agar masyarakat miskin berubah menjadi power full (sejahtera dan berdaya).

Sekarang yang terjadi masalah kemiskinan malah bertambah jumlahnya dan tak kunjung terselesaikan, kemiskinan ini merupakan salah satu bentuk tolak ukur dari salah satu keberhasilan dan tidaknya sebuah pemerintahan dalam mengelolah Negara.

Lebih terangnya pemerintahan bisa dikatakan berhasil bila mampu mengurangi jumlah kemisikinan yang ada, begitu juga pemerintahan dikatakan gagal bila jumlah kemiskinan semakin meningkat. Sehebat apapun negara melakukan pembangunan namun bila masih menyisahkan kemiskinan maka pembangunan negara tersebut masih dinamakan pembangunan yang terdistorsi (james midgley).

Menurut Revrisond Baswir (1999, hal 17-20) kemiskinan dibedakan terdiri dari dua katagori yang pertama kemiskinan relatif dan kedua kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat atas dasar perbandingan tingkat pendapatan antara suatu kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok masyarakat lainnya.

Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis kemiskinan (Poverty Line), dan yang disebut sebagai masyarakat miskin adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Lebih lanjut Baswir mengatakan bahwa penyebab terjadinya kemiskinan dikarenakan tiga hal pertama adalah kemiskinan natural, kedua kemiskinan kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi pada seorang atau kelompok masyarakat karena tidak memiliki fisik yang sempurna atau istilah populer disebut difabel atau disabilitas, sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena karakter individu atau kelompok masyarakat yang malas, tidak memiliki etos kerja dan kultur negatif lainnya.

Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang lahir karena struktur yang tidak adil, seperti ketimpangan sosial, kebijakan yang tidak adil atau tidak pro poor serta ketidak adilan lainya. Kebijakan tentang penyertaan pajak pada sembako, pendidikan dan ibu melahirkan ini merupakan bagian dari terjadinya kemiskinan struktural, karena kebijakan tersebut tidak memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 2019) bahwa dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam menentukan kemiskinan di Indonesia. Seseorang tergolong dalam kategori miskin bila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Namun di sisi lain Menteri Keuangan saat ini malah membuat kebijakan yang tidak in line dengan konsep pengentasan kemiskinan, konsep kebijakan tentang pajak penambahan nilai (PPN) pada lembaga pendidikan, sembako ibu hamil dan lainnya, ini menjadi tidak linear antara kebijakan satu dengan lainya, basic need masyarakat indonesia adalah sembako namun oleh kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani masyarakat dipersulit dalam memenuhi kebutuhan mendsar dengan diberlakukanya pajak sembako, kebijakan yang sangat ironis.

Pada dasarnya pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling utama untuk melaksanakan Pembangunan Nasional. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan. Pembiayaan yang diperoleh negara memang salah satunya adalah dari fiskal atau pajak. Namun yang menjadi kontroversi adalah pajak sembako dan pendidikan yang saat ini mau diterapkan oleh Menteri Keuangan, dimana kebijakan tersebut direspon ramai oleh publik, bahkan menjadi perbincangan seantero Indonesia.

Padahal dalam konstitusi sudah tegas dinyatakan bahwa tugas negara adalah mencerdaskan anak bangsa dan memelihara fakir, miskin dan anak telantar. Namun realitasnya saat ini ada kebijakan yang membebani lembaga pendidikan dan masyarakat miskin. Sembako merupakan basic need masyarakat umum yang dimana disitu ada masyarakat miskin, ini tidak sesuai dengan landasan konstitusi kita atau bisa juga dinamakan kebijakan yang terdistorsi.

Mestinya pajak diperoleh dari sumber-sumber penting yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang menaungi Direktorat Jenderal Pajak harus berusaha agar rencana penerimaan pajak dari sumber-sumber penting yang telah ditetapkan tiap tahunnya dapat terus tercapai, bukan malah membebani masyarakat untuk membayar pajak sembako dan pendidikan.

Langkah Menteri Keuangan seolah menunjukan sikap yang frustasi sehingga masyarakat yang harus disejahterakan malah dibebani dengan membayar pajak yang tidak relevan dengan semangat konstitusi Negara kita.

Oleh: Qomaruddin SE, M.Kesos. Departemen V DPP PD

- Advertisement -

Berita Terkini