Jurus Menyelamatkan Ekonomi Bisa Bermuara Pada Penambahan Hutang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Kita terus melihat upaya Pemerintah (fiskal) dan Bank Indonesia (moneter) dalam menyelamatkan ekonomi nasional di tengah pandemic dan resesi saat ini. Bak pendekar yang berkolaborasi, Bank Indonesia dan Pemerintah terlihat “habis-habisan” dalam mengeluarkan jurus ampuh untuk menyelamatkan perekonomian. Tetapi yang menjadi persoalan, gimana efektifitas kebijakan tersebut?

Hal itu dikatakan Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/2/2021).

“Yang ada justru kita terjebak dalam resesi sampai saat ini. Dan akar masalahnya juga belum terselesaikan. Yakni, mengatasi masalah pandemic Covid-19. Inti dari semua penyakit ekonomi ada disitu. Dan vaksin sampai sejauh ini juga belum sepenuhnya mampu menjadi jawaban untuk menyelesaikan keruwetan masalah ini,” bebernya.

Diungkapkan Benjamin, jika melihat gebrakan yang dilakukan pemerintah seperti tetap memberikan subsidi listrik ke masyarakat hingga pandemic berakhir. Memberlakukan kebijakan pajak (PPnBM) 0% untuk membeli mobil baru jenis tertentu. Memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Menjaga neraca perdagangan agar tetap surplus dan serangkaian kebijakan keringanan pajak lainnya juga diberlakukan.

“BI disisi lain, juga terlihat jor-joran dalam mengeluarkan kebijakan. Mulai dari penurunan suku bunga acuan, burden sharing dengan pemerintah, pelonggaran DP KPR dan Kendaraan, terlibat langsung di lelang surat utang negara, menjaga stabilitas Rupiah di level 14 ribu-an per US Dolar dan serangakain kebijakan lainnya,” paparnya.

Kolaborasi dari pemerintah dan BI tersebut memang memiliki tujuan untuk menyelamatkan kondisi ekonomi dari tekanan yang lebih besar. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bagaimana mungkin disaat pemerintah tidak bisa optimal dalam mencari pemasukan. Namun di waktu yang bermasaan kita membutuhkan anggaran super besar untuk membiayai hidup masyarakat banyak di tengah pandemic dan resesi.

“Jadi memang, muara dari kebijakan yang terlihat melakukan semua upaya tersebut akan bermuara pada penambahan jumlah hutang. Dan hutang yang bertambah tersebut akan banyak habis untuk dikonsumsi masyarakat ketimbang untuk pembangunan ke sektor-sektor yang produktif. Jadi penambahan hutang tersebut hanya akan menjaga daya beli, tetapi belumbisa diharapkan untuk menjadi akselerator bagi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang,” ujarnya.

Analoginya begini, papar Benjamin, jika pemerintah berhutang untuk dijadikan Bansos ke masyarakat. Uang tersbeut akan habis di konsumsi dan memang akan menyangga daya beli. Tetapi harapan akan hutang sebelumnya itu adalah adanya alokasi yang besar untuk sektor-sektor yang produktif. Misal dibangunkan jalan tol. Dengan kehadiran jalan tol biaya logistic menjadi lebih murah, lalu lintas barang dan jasa menjadi lebih lancar. Yang pada akhirnya akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

“Tetapi Pemerintah dan BI tengah terjebak dalam posisi yang dilematis saat ini. Mau tidak mau harus ada kebijakan yang di korbankan. Skala priotitas saat ini adalah menjaga daya beli. Yang pada akhirnya penambahan hutang tidak akan memberikan impact yang maksimal bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi kedepan,” ujar Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini