Omnibuslaw Dalam Tinjauan Praktis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Dalam situasi normal saja tidak semua kebijakan bisa diterima dengan mudah oleh semua kalangan. Terlebih dalam situasi yang tidak normal, sudah pasti banyak penolakan dengan segala konsekuensi politik. Kita mengikuti perkembangan politik hari-hari ini, terkait respon publik atas UU Cipta Kerja (Omnibuslaw). Lembaga legeslatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merampungkan untuk meloloskan UU Cipta Kerja.

Meski begitu tidak semua partai harus sepakat dengan keputusan itu. Sebagai penganut negara demokrasi perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan sekaligus kekuatan dalam proses berdemokrasi.

Tulisan tidak dalam kapasitas mendukung atau menolak atas dasar keputusan legeslatif yang telah menjadi lembar politik Indonesia. Kendati, tulisan ini adalah satu upaya mengajak publik secara luas untuk lebih tenang dan jernih dalam merespon keputusan politik. Jika pun sikap atau argumen itu jatuh pada penolakan, maka lakukanlah dengan cara-cara yang konstitusional.

Tidak ada yang salah memang dengan aksi turun ke jalan dalam bingkai demokrasi. Turun aksi protes tanpa mendalamkan isi masalah gugatan, ditambah resiko penyebaran virus secara masif sebuah resiko yang membahayakan keluarga dan lingkungan kita. Lebih-lebih ditambah bumbu informasi palsu yang semakin menggasak sentimen masyarakat untuk membenci hal yang seharusnya tidak perlu.

Sebelum saya dituduh bagian pihak yang pro-Omnibuslaw (UU Cipta Kerja) mohon luangkan sedikit waktu untuk membaca penjelasan saya hingga tuntas. Teman-teman, saudara sekalian. Saya tidak sedang mengajak anda semua untuk cepat-cepat mengambil sikap mendukung dan menolak, tetapi ada baiknya kita jujur pada diri kita sendiri.

Sudahkah kita membaca secara utuh dari UU tersebut? Pahamkah kita secara mandiri (tanpa provokasi pihak lain) isi UU tersebut secara utuh? Bisa jadi jawaban itu sangat bervariatif, namun izinkan saya untuk mengajak anda sekalian bersikap atas dasar pikiran bukan sebatas isu yang bertebaran.

Paling kurang saya akan menguraikan tiga aspek strategis dalam mencerap problem yang berkembang hari-hari ini. Pertama soal urgensi undang-undang cipta kerja, inilah akar masalah yang perlu dijawab. Karena kaum pekerja dan masyarakat menduga negara tidak lagi berpihak pada mereka. Kedua, isu instrumen ekonomi yang harus diperkuat. Biar bagaimanapun ini penting agar pemerintah tetap bisa menjalankan agenda kesejahteraan rakyat. Terakhir adalah implikasi dan solusi politik dalam dinamika demokrasi yang sedang bergulir di tengah-tengah kita.

Urgensi Nasional UU Cipta Kerja?

Saya akan berangkat dari hal-hal sederhana yang mudah dipahami orang kebanyakan dalam memberi analogi problem ini. Setelah Wuhan ditetapkan terjadi pandemi Covid-19, detik itu juga dunia ekonomi menghadapi kekhawatiran terhadap situasi dunia. Hingga hari ini hampir tidak ada satu negara yang lolos dari dampak negatif pandemi global Covid-19. Dalam titik ini kita boleh sependapat bahwa semua dunia, entitas bisnis, agenda politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendapatkan dampak secara langsung dari situasi krisis ini.

Lebih-lebih sektor ekonomi dunia yang seperti menghadapi satu rimba baru tanpa tahu arah anging bertiup. Termasuk juga Indonesia di dalam rimba baru itu. Dalam situasi krisis global ini, sejatinya kita tidak bisa terapkan pendekatan ekonomi nasional tertutup. Tidak ada jalan lain, selain berkolaborasi dengan negara-negara lain. Apalagi dalam situasi seperti ini semakin sulit membangun kepercayaan antar negara, karena semua pihak memiliki kecurigaan tinggi antara negara.

Jika saja negara Asia besar seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan terpukul secara ekonomi konon lagi Indonesia yang dalam proses lepas landas ekonomi global. Pendapatan negara yang besar itu dari aktiva perdagangan komoditas dalam negeri di pasar global dan pembayaran pajak negara. Jujur saja selama pandemi dua aspek pemasukan negara terganggu, ya tentu semua negara mengalami hal serupa.

Perdagangan kita terganggu karen pasar global sendiri juga harus banyak menyesuaikan dengan kondisi ini. Usaha masyarakat banyak yang tutup, karena banyak pembatasan sosial didaerah sehingga ekonomi akar rumput bayak yang terpukul. Ini semua menjadi masalah kita selama pandemi. Artinya ketika negara harus mengajukan pinjaman kepada lembaga internasional, itu memang hal yang semestinya dilakukan agar ekonomi kita tetap berjalan.

Undang-undang Cipta Kerja boleh dikatakan semacam payung hukum agar ekonomi kita bergerak bahkan melihat peluang positif di tengah persaingan pandemi ini. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kita harus membuka diri dan berkolaborasi dengan potensi ekonomi global. Di tengah juga Indonesia saat ini bisa melihat peluang positif pasca pandemi.

Satu sisi Undang-undang ini melakukan sinkronisasi kebijakan lintas sektor untuk menyerap investasi global, di sisi lain undang-undang ini juga melakukan proteksi dan penguatan kepada UMKM kita.

Kira-kira begini, teman-teman pekerja yang menganggur akibat pabriknya tutup karena pandemi maka otomatis mereka adalah angka pengangguran yang terus bertambah. Ada dua jalan keluar dengan undang-undang ini. Pertama, mereka kembali diserap oleh pabrik baru yang akan berdiri akibat UU Cipta kerja. Kedua, mereka diserap oleh UMKM menengah yang bergerak pada jasa atau komoditas yang khusus. Undang-undang Cipta Kerja dalam upaya membuka ruang pekerjaan baru, kurang lebih begitu.

Penguatan Instrumen Ekonomi

Kita beranjak kepada isi dari kebijakan Undang-undang Cipta Kerja. Banyak terlontar bahwa UU Cipta Kerja hanya berpihak pada kekuatan modal. Saya rasa dugaan itu sah-sah saja sebagai bentuk kritik. Namun begitu, kita tentu harus melakukan redefenisi dari modal itu sendiri. Karena UMKM pun tetap membutuhkan modal sebagai landasan kerja produktif. Dengan jumlah 64,19 juta entitas UMKM dan 70,5 juta pekerja sektor informal di Indonesia, tentu tidak mungkin mencari jalan keluar agar disukai oleh semua pihak. Jika banyak pihak yang berpendapat atau bahkan menduga UU Cipta Kerja tidak mempertimbangkan lingkungan juga kurang tepat.

Dalam bagian III Paragraf 3 Persetujuan Lingkungan, semua payung hukum yang menjaga lingkungan tetap dipertahankan. Yang berubah bukan prinsipnya melainkan mekanisme dan standarisasinya. Sebagaimana dalam pasal 20 ayat 3 (Paragraf III Persetujuan Lingkungan), menjelaskan bahwa standarisasi akan lebih ketat dilakukan oleh pemerintah pusat. Karena selama ini seringkali pemerintah daerah memberikan izin amdal secara Cuma-Cuma tanpa standar yang ketat. Justru ini baik dalam rangka menjaga standar dampak lingkungan.

Lebih lanjut dalam sektor unit usaha mulai yang beresiko rendah hingga tinggi juga diatur pra-syaratnya. Artinya dengan kapasitas UMK yang beresiko rendah dengan UU Cipta Kerja akan mendapatkan banyak keringanan karena dianggap resiko rendah. Secara otomatis garansi keuangan bisa menjamin usaha-usaha kecil lebih cepat. Bukan hanya itu, kebutuhan lahan, proteksi komoditas hingga batas-batas hukum adat dan hukum positif semu diatur menjadi lebih detail dalam Bagian III Paragraf I.

Semua menjelaskan secara elementer tanpa mengurangi proteksi terhadap masyarakat luas yang sudah ada sebelumnya. Begitu juga dengan masyarakat nelayan dan pertanian, proteksi terhadap kaum nelayan dan petani tidak berkurang sedikit pun. Justru dengan hadirnya UU Cipta Kerja, aksesbilitas fiskal bisa difasilitasi lebih baik lagi dari sebelumnya. Karena prasyarat dan tata cara akses keuangan untuk masyarakat bawah sudah lebih lengkap. Jika modal seperti ini yang dimaksudkan, tentu sebuah kabar baik bagi masyarakat luas untuk melakukan lompatan kerja menjadi usaha yang berdikari.

Implikasi Politik

Hampir tidak mungkin sebuah kebijakan politik tanpa implikasi, sekalipun kebijakan itu sudah disepakati bersama sejak awal. Setiap keputusan politik selalu mengandung resiko baik jangka pendek maupun jangka panjang, baik sementara ataupun tetap. Sejauh semua dalam koridor demokrasi perbedaan sikap atau pendapat tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. Kembali pada topik UU Cipta Kerja ini, letusan awal memang terjadi di dalam DPR sendiri.

Hal itu dipicu oleh sikap walk out Partai Demokrat dalam rapat Paripurna UU Cipta Kerja. Sejauh ini sikap itu masih kita maklumi, dan hargai sebagai keputusan politik. Namun belakangan sikap ‘walk out’ itu bertransformasi menjadi ‘run riot’ yang menyebar dengan cepat di setiap kota-kota besar. Sampai sini kita masih mengertikah?

Begini, ini adalah sebuah momentum yang ditunggu-tunggu oleh Partai Demokrat, setelah sekian lama bersifat pasif dalam setiap momentum politik. Bahkan dalam Pilpres 2019 sekalipun, Partai Demokrat lebih seperti menanti bola di luar lapangan. Tapi tidak untuk kali ini. Partai Demokrat menunggu sebuah keputusan di mana mayoritas partai politik bersikap mendukung, dan demokrat menggelar panggungnya di luar kekuasaan.

Ibarat tim sepak bola Partai Demokrat tidak berminat dengan pemain naturalisasi. Partai Demokrat ingin menang atau kalahnya sebuah permainan secara penuh dikerjakan oleh kerja keras tim sepak bola itu sendiri. Bukan akibat penyerang atau penjaga gawangnya dipinjamkan dari tim lain. Meski kita sadar bahwa tim Partai Demokrat mulai dari pemain inti, pemain cadangan, pelatih, pemilik hingga staf pembawa handuk dan air minum bermain dengan caranya masing-masing, itu adalah implikasi politik. Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, namun publik perlu mengerti kemana bola-bola politik itu digiring.

Partai Demokrat butuh bensin isu yang bisa dibakar untuk menjalankan mesin partai yang telah lama dingin. Barangkali para pemain di Partai Demokrat berharap percikan-percikan api yang terbakar ataupun meledak dibeberapa kota besar bisa menjadi energi utama menjalankan mesin partai. Sebagaimana sebuah mesin yang hampir beku, butuh banyak bensin untuk menggerakannya.

Meskipun begitu, pendukung Jokowi tidak perlu menyudutkan bahwa aktor semua ini adalah kelompok atau elit Cikeas. Tim pendukung Jokowi juga harus lebih tenang dalam membaca situasi. Karena belum tentu kelompok Cikeas adalah investor tunggal dari ‘run riot’ ini. Kita juga tidak perlu mencari kambing hitam dalam kemelut ini, yang justru menambah beban teman-teman di Kepolisian. Cukup dihadapi secara elegan. Karena bisa jadi posisi tersudut oleh pendukung Jokowi itulah, yang juga diharapkan oleh pemain Partai Demokrat. Dengan begitu, Partai Demokrat berharap bisa memimpin semua potensi kekuatan oposisi terhadap pemerintah. Mungkin itu salah satu pilihan agar Partai Demokrat lulus uji klasmen sementara.

Tambahan dalam aspek politis, saya juga melihat ini menjadi kesempatan kepada kepala daerah yang akan kembali bertarung di ranah Pemilihan Daerah untuk memulai uji diri terhadap kepentingan calon konstituennya. Karen saya melihat kelompok-kelompok yang turun dalam aksi protes ini juga teman-teman yang mendukung Presiden Joko Widodo sejak elektoral 2014. Sehingga, kita tidak bisa meletakan kasus UU Cipta kerja ini sebagai mana posisi politis Pilpres 2014 dan 2019. Karena dalam politik, gelombang badai pun bisa dijadikan sebuah senjata ampuh.

Di waktu yang sama, saya juga berharap lembaga kepresidenan segera merespon dengan cepat dan tanggap sikap publik. Tentu tidak perlu dengan pendekatan koersif sehingga bisa berpotensi mempertajam situasi.

Kanal-kanal komunikasi publik harus segera dibuka, di sini lah peran Kantro Staf Presiden yang dipimpin langsung oleh Jendral Moeldoko kembali mendekatkan diri dengan masyarakat. Sekali lagi saya berharap Kepala KSP bisa lebih meminjam terminologi sipil dalam berkomunikasi, agar pesan dan kesan itu bisa sampai dengan baik di hati dan pikiran publik. Lagi-lagi veritas, probitas dan iustisia kita sebagai warga negara kembali diuji dalam situasi yang tidak normal.

Semoga tulisan ini bisa kembali menerangkan jalan setapak di bawah senja. Biar bagaimanapun kebenaran dalam jalan pikiran yang kembali memenangkan pertempuran.

Salam Sehat!
Oleh: Abi Rekso Panggalih

(Penyuluh #RakyatAkalSehat)

Bandung, 8 Oktober 2020

- Advertisement -

Berita Terkini