Ada Omnibus Law, Pehitungan UMP Bakalan Kacau

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Setiap menjelang akhir tahun, kalau dahulu pemerintah provinsi maupun pemerintah kota atau kabupaten, selalu menentukan besaran upah minimum Kota (UMK) atau provinsi (UMP).

“Formulanya yakni penambahan pertumbuhan ekonomi dengan laju tekanan inflasi. Mengacu kepada PP No. 78 Tahun 2015,” jelas Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Kamis (8/10/2020).

Dalam UU Omnibus Law, lanjut Gunawan, belum ada formula yang baru. Sehingga masih tetap menggunakan perhitungan yang lama. Acuannya adalah UMP (Provinsi).

“Namun, masalahnya adalah disaat resesi seperti sekarag ini. Tentunya perhitungan pengupahan akan berubah. Karena sebelumnya pertumbuhan ekonomi dalam satu tahun kerap mengalami kenaikan,” beber Gunawan.

Nah lantas, bagaimana jika justru kalau pertumbuhan ekonominya mengalami pertumbuhan negatif. Dan laju tekanan inflasinya juga negatif atau deflasi.

“Berarti besaran gaji yang akan diberikan adalah negative. Artinya besaran gaji yang mengacu kepada UMP negative. Yang berarti gaji yang diterima oleh pekerja di tahun depan adalah minus alias lebih kecil dari tahun sebelumnya,” jelas dia.

Sudah pasti pekerja tidak akan mau menerima gaji yang turun tersebut. Meskipun mengacu kepada perhitungan pengupahan yang membentuk UMP sudah benar. Kalau dari sisi pengusaha tentunya mereka bisa menerima.

“”Meskipun belum tentu ada pengusaha yang bisnisnya masih bertahan hingga saat ini. Mungkin beberapa dari pengusaha tetap bertahan, meskipun belum tentu mampu mempertahankan pendapatan perusahaannya,” beber Gunawan.

“Contoh yang lebih kongkrit untuk SUMUT saat ini adalah. Kuartal pertama pertumbuhan ekonomi SUMUT sebesar 4.65%, Kuartal Kedua minus 2.37%. Mengacu kepada hasil hitungan saya, kuartal ketiga minus 0.8%. Dan kuartal keempat saya perkirakan sementara tumbuh 0.3%. Jadi kalau dijumlahkan masih ada plus 1.78%,” imbuhnya.

Sementara inflasi, ia menjelaskan, secara tahunan di tahun 2020 saya perkirakan 0.6%. Jadi ada perhitungan UMP akan naik berkisar 2.38%. Artinya UMP di tahun 2021 naik 2.38%.

“Pertanyaannya banyak industri yang tumbang selama pandemi, meskipun ada beberapa yang masih bertahan. Lantas pengusaha bisa tidak membayar kenaikan upah tersebut?. Karena fakta yang ada dilapangan adalah terjadi PHK atau mempekerjakan karyawan dengan penurunan jam kerja (dirumahkan) dan penurunan produktifitas. Masa iya dengan kondisi seperti ini pengusahanya dibilang baik baik saja,” ujarnya.

Belum lagi kalau seandainya jika pertumbuhan ekonomi Sumut selama setahun minus, dan inflasi yang terjadi di Sumut adalah negatif atau deflasi.

“Masa iya pekerja yang bekerja dengan waktu normal akan menerima penurunan gaji tersebut?. Jadi perhitungan UMP akan kacau nantinya. Pengusaha akan punya dalih, dan pekerja juga punya dalihnya tersendiri,” ujarnya.

Perhitungan upah yang sudah ada rumusnya sekalipun sudah tidak lagi relevan, baik bagi pengusaha dan pekerja di tengah kondisi resesi seperti yang terjadi sekarang.

“Karena baik si pengusaha dan karyawan sama sama tidak diuntungkan dengan kondisi seperti sekarang ini. Baik ada kenaikan upah maupun penurunan upah. Keduanya sama sama punya resiko, yakni si pengusaha berpotensi gulung tikar dan karyawannya berpotensi berkurang pendapatannya atau bahkan kehilangan pekerjaannya,” jelas Gunawan.

Gunawan mengatakan, saat ini bola panas berada di dewan pengupahan. Ini bukan pekerjaan yang mudah tentunya. “Yang penting semua pihak harus berkepala dingin berhadapan dengan rumitnya masalah ekonomi belakangan ini,” pungkasnya. Berita Medan, red

 

- Advertisement -

Berita Terkini