Pertamina Bakal Kurangi Produk BBM, Premium Akan Dihapus?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Menteri BUMN Erick Thohir meminta PT Pertamina (Persero) mengurangi jumlah produk BBM yang dikeluarkan perusahaan. Dalam konferensi pers pekan lalu, Erick menilai produk BBM yang dijual ke masyarakat terlalu banyak.

Merespons permintaan Erick, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, produk BBM yang akan dikurangi akan mengacu pada aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu mengenai pembatasan Research Octane Number (RON) atau oktan BBM yang dipakai.

“Jadi ada regulasi KLHK yang menetapkan bahwa untuk menjaga polusi udara ada batasan di RON berapa, di kadar emisi berapa. Jadi nanti yang kita prioritaskan produk yang ramah lingkungan,” kata dia dalam diskusi bersama Rakyat Merdeka secara daring, Senin (15/6).

Nicke mengatakan, saat ini perusahaan tengah berkoordinasi dengan pemerintah terkait produk BBM mana saja yang mau dihapus. Meski tak menyebut produknya, dia menekankan akan mendorong masyarakat menggunakan BBM yang ramah lingkungan.

Kata dia, kondisi langit di kota-kota besar selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa pandemi biru menjadi momentum agar masyarakat bisa mengkonsumsi BBM yang bersih.

Selain itu, dengan mengurangi produk BBM, perusahaan juga bisa memudahkan distribusi ke berbagai daerah. Biaya penyaluran bisa berkurang, jadi harga BBM pun bisa lebih murah.

“Jadi itu arahnya dan sedang kita koordinasikan dengan pemerintah,” terang Nicke.

BBM Premium Bakal Dihapus?

Nicke tak menyebut produk BBM mana yang bakal dihapus dan aturan KLHK yang dimaksud. Dalam catatan kumparan, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 Tahun 2017, Indonesia sudah harus mengadopsi kendaraan dengan BBM berstandar Euro 4 sejak 10 Maret 2017.

BBM yang memenuhi standar Euro 4 yakni bensin dengan RON di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm. Sedangkan untuk produk diesel, minimal Cetane Number (CN) 51 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm.

Dalam produk Pertamina, BBM yang berada di bawah RON 91 ada Pertalite dengan RON 90, Premium RON 88, dan Solar yang memiliki Cetane Number (CN) 48. Jika berpatokan pada aturan tersebut, maka Premium, Pertalite, dan Solar tak sesuai standar karena masih di bawah Euro 4.

Usulan BBM Premium dihapus sebenarnya bukan isu baru. Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengusulkan agar BBM berkadar oktan (RON) 88 alias Premium dan Solar 48 dihapus karena tidak sesuai dengan teknologi otomotif saat ini.

“Masa kita menggunakan BBM yang kualitasnya zaman 50 tahun yang lalu? Mending dihapus sekalian karena kalau digunakan, kendaraan kita akan cepat rusak,” ungkap Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin di Gedung Sarinah, Jakarta, 2018 lalu.

Lebih dari tiga tahun lalu, tepatnya pada 23 Desember 2014, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri pernah merekomendasikan agar impor BBM jenis RON 88 atau Premium dihentikan.

“Sesuai rekomendasi Tim, intinya premium RON 88 itu dihapus, hilang, tidak lagi dijual di SPBU. Buat apa? Di market hanya ada RON 92 ke atas,” tegas Faisal.

Alasannya, sudah hampir tak ada lagi negara di dunia ini yang memproduksi bensin RON 88. Selama ini, Pertamina mengimpor bensin RON 92 untuk diturunkan kualitasnya menjadi RON 88. Caranya dengan mencampur BBM RON 92 dengan naphta sehingga menjadi RON 88. Hal ini membuat harga keekonomian Premium jadi tinggi.

Sebelum 2015, Premium termasuk BBM bersubsidi. Tingginya harga keekonomian Premium membuat anggaran subsidi menjadi besar. Karena itu, Tim Reformasi Migas pada waktu itu merekomendasikan agar BBM bersubsidi diubah menjadi RON 92 alias Pertamax.

Namun, pemerintah belum bisa menghapus Premium karena kilang-kilang Pertamina belum siap untuk mengganti Premium dengan Pertamax. Premium baru bisa dihapus setelah Pertamina menyelesaikan 4 proyek modifikasi kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) dan pembangunan 2 kilang baru (Grass Root Refinery/GRR).

Agar Premium tak terus membebani APBN, pemerintah memutuskan tak lagi memberi subsidi sejak 2015. Tapi meski tak disubsidi, harga Premium masih diatur pemerintah dan ditetapkan tak boleh naik sampai 2019. Beban subsidi yang dulu ditanggung pemerintah, sekarang beralih ke Pertamina.

Sumber: kumparan.com

- Advertisement -

Berita Terkini