Pakar Hukum : Pemerintah Tidak Perlu Menghapus IMB

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Wacana pemerintah melalui Kementerian Agraria Tata Ruang & Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bakal mengurangi dan menghilangkan perizinan berkaitan Izin mendirikan bangunan (IMB) yang selama ini dinilai mempersulit perkembangan industri properti perlu kajian mendalam melibatkan pakar dan ahli. Memberi kemudahkan investor berusaha di Indonesia Ease of Doing Business (EODB) dalam menanamkan modal perlu mendapat perhatian serius namun bukan aturan IMB yang dihapus melainkan perlu komitmen yang jelas, tegas dan konsisten dari pemerintah pusat sampai ke daerah dalam penegakan hukum.

Hal ini disampaikan Pakar Hukum Ekonomi Bisnis Dr Ridho Syahputra Manurung MHum, Minggu (22/9/2019).

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat No. 19/PRT/M/2018 tentang penyelenggaraan izin mendirikan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi bangunan gedung melalui pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik dan PerMen PUPR no 06/PRT/M/2017 tentang Izin mendirikan bangunan gedung saat ini sudah cukup baik. Pemerintah Daerah saat ini secara struktur telah memiliki Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KP2T) secara subtansi segala perizinan diurus KP2T. Secara philosofi dibentuknya KP2T adalah untuk mempermudah mempercepat proses perizinan karena sudah satu pintu. Namun pratek dilapangan KP2T belum sepenuhnya satu pintu. Belum sepenuhnya perizinan diselesaikan dinas KP2T. Ketika pemerintah membentuk struktur KP2T seharusnya telah memiliki personil ahli dibidang berkaitan dengan segala perizinan. Misalnya, untuk pengurusan izin konversi tanaman, izin lingkungan masih memerlukan rekomendasi dari dinas perkebunan dan lingkungan hidup. Sebagai contoh ketika developer/masyarakat ingin mengajukan pengurusan IMB terlebih dahulu berurusan dengan Kepala Desa/Lurah dan Camat untuk surat silang sengketa. Dibutuhkan waktu yang panjang dalam pengurusannya, tidak sesuai dengan niatan dibentuknya perizinan satu pintu yang seharusnya semuanya sudah satu pintu dan terintegrasi.

Kemudian, Penghilangan IMB ini dikhawatirkan berdampak pada kekacauan pemanfaatan ruang, keselarasan ruang, dan lebih mendasar, mengubah peraturan hukum perundang- undangan. “Seharusnya pemerintah mengecek apakah IMB sudah sesuai dengan peruntukkan dan kriteria-kriteria yang relevan,” tergas Ridho.

Selain itu, jelasnya, yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib persyaratan pemanfaatan ruang yang diatur dalam peraturan zonasi, seperti koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), rekomendasi kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP), analisisi mengenai dampak lingkungan (AMDAL), analisa dampak lalu lintas, dan izin lingkungan seperti keterangan bebas banjir? Jika IMB hilang, bagaimana pengawasan terhadap pembangunan dilaksanakan oleh pemda? Bukankah akan lebih mudah dan bijaksana “mencegah” dari pada “mengobati”? Artinya, tentu lebih bijak melakukan pengawasan sebelum bangunan telah dibangun, dibandingkan, melakukan pembenahan setelah bangunan jadi dan operasional.

Menurut Ridho, sebaiknya pemerintah membuat omnibus law yang bisa digunakan di Indonesia untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi. Omnibus law bisa menjadi cara singkat sebagai solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertical maupun horizontal. Disinilah sebenarnya peranan hukum dalam ekonomi.

“Namun lebih dari sebuah aturan adalah komitmen pemerintah dalam menjalankan aturan secara konsisten,” tandasnya. Berita Medan, red

- Advertisement -

Berita Terkini