Ketika Aceh Bersurat ke PBB: Alarm Krisis Bencana dan Negara yang Kewalahan

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com Aceh  | Keputusan Pemerintah Aceh mengirimkan surat kepada dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukan sekadar langkah administratif, melainkan sinyal keras bahwa penanganan bencana telah memasuki fase krisis. Di tengah rentetan banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang melanda berbagai wilayah Aceh, langkah ini menandai kegelisahan daerah terhadap kapasitas penanganan yang kian tertekan.

Secara resmi, Aceh menyebut skala bencana yang meluas dan dampak sosial-ekonomi yang berat sebagai alasan utama meminta dukungan internasional. Ribuan warga terdampak, infrastruktur rusak, serta sektor pertanian dan perikanan lumpuh. Namun di balik itu, surat ke PBB menyiratkan persoalan yang lebih dalam: model penanganan bencana nasional yang masih reaktif dan lamban beradaptasi dengan krisis iklim.

Aceh memiliki karakter geografis yang kompleks—pegunungan, daerah aliran sungai yang rapuh, dan wilayah pesisir yang rentan. Ketika curah hujan ekstrem datang bertubi-tubi, bencana tidak lagi berdiri sebagai kejadian alam semata, melainkan konsekuensi dari tata kelola lingkungan yang lemah. Dalam konteks ini, bantuan internasional dipandang sebagai kebutuhan, bukan pilihan.

Langkah Aceh ini juga membuka perdebatan tentang hubungan pusat dan daerah dalam penanganan bencana. Pemerintah Aceh menegaskan bahwa bersurat ke PBB bukan upaya melangkahi pemerintah pusat, melainkan pelengkap koordinasi nasional. Namun fakta bahwa daerah merasa perlu mencari dukungan global menunjukkan adanya kesenjangan kapasitas dan kepercayaan terhadap sistem respons nasional.

Pengalaman Aceh bekerja sama dengan lembaga PBB pascatsunami 2004 menjadi latar penting. Saat itu, bantuan internasional memainkan peran signifikan dalam pemulihan. Namun dua dekade berselang, pertanyaannya justru lebih tajam: mengapa daerah masih harus kembali mengetuk pintu yang sama untuk menghadapi bencana yang kini bersifat berulang?

Dalam perspektif kebijakan, langkah Aceh mencerminkan kegagalan menjadikan mitigasi bencana dan adaptasi iklim sebagai prioritas utama pembangunan. Banjir dan longsor terus berulang, sementara peringatan dini, perlindungan daerah resapan, dan penataan ruang kerap kalah oleh kepentingan jangka pendek. Surat ke PBB menjadi pengakuan diam-diam bahwa pencegahan belum berjalan efektif.

Bagi MudaNews.com, persoalan ini tidak boleh dibaca semata sebagai krisis daerah. Aceh hanyalah contoh paling nyata dari wilayah yang berada di garis depan dampak perubahan iklim. Jika pendekatan penanganan bencana tidak segera diubah dari respons darurat menjadi strategi jangka panjang, maka permintaan bantuan internasional akan menjadi pola baru, bukan pengecualian.

Tajuk ini menegaskan satu hal: ketika daerah harus bersurat ke PBB untuk menangani bencana, itu adalah alarm keras bagi negara. Bencana tidak bisa terus ditangani sebagai musibah sesaat. Ia menuntut keberanian politik, pembenahan tata kelola lingkungan, dan komitmen serius terhadap keselamatan warga—sebelum krisis menjadi kenormalan baru.**(Red,)

Berita Terkini