Mudanews – Opini | Dugaan intimidasi terhadap seorang wartawan di Aceh Tamiang saat melakukan konfirmasi terkait penggunaan dana desa kembali menunjukkan persoalan klasik: ketakutan sebagian pejabat publik terhadap transparansi. Peristiwa ini memperlihatkan betapa rentannya kerja-kerja jurnalistik ketika berhadapan dengan pejabat yang memaknai kekuasaan sebagai alat untuk menekan, bukan melayani publik.
Padahal, posisi seorang kepala desa—atau datok penghulu—adalah jabatan publik yang dibiayai oleh uang rakyat. Itu berarti segala aktivitas administrasi, penggunaan anggaran, hingga implementasi proyek pembangunan wajib terbuka untuk dikonfirmasi, baik oleh masyarakat maupun pers.
Namun ketika seorang pejabat justru merespons pertanyaan wartawan dengan nada tinggi, ancaman, atau sikap emosional, maka masalahnya bukan lagi sekadar etika komunikasi. Ini sudah menyentuh ranah hukum.
UU Pers Bukan Slogan, Tapi Aturan Hukum
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyatakan bahwa:
Menghalangi atau menghambat wartawan menjalankan profesinya adalah tindak pidana.
Ancaman hukumannya mencapai 2 tahun penjara atau denda hingga Rp 500 juta.
Dalam konteks ini, tindakan menekan, mengancam, atau memaksa wartawan untuk mengurungkan proses konfirmasi dapat dikategorikan sebagai upaya penghalangan kerja jurnalistik.
Ini bukan lagi wilayah “salah paham”, tetapi bentuk perlawanan terhadap prinsip transparansi tata kelola pemerintahan.
Transparansi: Kewajiban, Bukan Pilihan
Banyak kasus di Aceh—termasuk yang terbaru ini—memperlihatkan bahwa persoalan anggaran desa seringkali menjadi titik sensitif. Namun justru karena sensitif itulah proses konfirmasi perlu dilakukan.
Konfirmasi bukan tuduhan.
Konfirmasi adalah mekanisme dasar untuk mencegah prasangka dan memastikan akurasi informasi.
Jika pejabat desa merasa terganggu hanya karena ditanya soal anggaran publik, maka publik patut bertanya balik:
Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan?
Pejabat publik yang bekerja sesuai aturan tidak akan merasa terancam oleh pertanyaan wartawan.
Hak Jawab Adalah Jalan Elegan, Bukan Ancaman
Dalam sistem pers profesional, pejabat atau pihak mana pun memiliki hak jawab jika merasa keberatan terhadap pemberitaan.
Mekanisme ini dibuat untuk menjaga keseimbangan informasi.
Tetapi saat ancaman menggantikan hak jawab, itu menandakan—setidaknya—dua hal:
Pejabat tidak memahami aturan hukum dan etika pemerintahan.
Ada ketakutan berlebihan terhadap proses pemeriksaan informasi publik.
Sikap seperti ini bukan saja buruk bagi citra pemerintahan desa, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat.
Intimidasi Wartawan adalah Serangan terhadap Demokrasi Lokal
Kerja jurnalistik adalah bagian dari demokrasi. Ketika seorang wartawan diintimidasi saat menjalankan tugasnya, sesungguhnya yang diserang bukan orangnya — tetapi hak publik untuk mengetahui.
Pemerintahan desa seharusnya menjadi garda terdepan dalam keterbukaan. Namun ketika kekuasaan dipakai untuk menekan, bukan menjelaskan, maka publik justru semakin yakin bahwa ada yang tidak beres.
Intimidasi bukan solusi.
Transparansi adalah jawabannya.
[T2]

