Mudanews – Opini | Di Aceh, kemampuan membaca Al-Qur’an bukan sekadar syarat administratif bagi calon pemimpin kampung. Ia menyangkut marwah, harga diri, dan identitas adat. Karena itu, ketika seorang imam yang sudah sepuluh tahun mengabdi tiba-tiba diumumkan di hadapan publik sebagai “tidak mampu membaca Al-Qur’an”, bukan hanya Fajar yang terkejut—desanya ikut tersentak.
Narasi ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tetapi untuk menelusuri mengapa sebuah pengumuman bisa berubah menjadi luka sosial.
Pengumuman yang Menggores Marwah
Fajar—mantan Imam Dusun Pakel—tak pernah membayangkan namanya disebut secara terbuka sebagai “kurang mampu membaca Al-Qur’an”.
Bagaimana mungkin?
Ia membaca Al-Qur’an setiap hari, memimpin shalat, mengajar mengaji, dan dihormati masyarakat selama sepuluh tahun.
Dalam pernyataan terbarunya usai tes dan mampu baca Al-Qur’an, ia mengatakan:
“Saya dari awal mampu membaca Al-Qur’an. Hanya saja waktu dites oleh KUA, cara menilainya menurut saya seperti MTQ.”
Di sinilah akar persoalan mulai terlihat.
Bukan pada kemampuan seseorang, tetapi pada metode penilaian dan cara pengumumannya.
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 hanya memuat dua kategori:
mampu dan tidak mampu membaca Al-Qur’an. Tidak pernah disebut standar MTQ. Tidak ada poin, tidak ada rentang nilai.
Namun, ketika hasil penilaian diumumkan secara vulgar, tanpa pembacaan konteks, tanpa penjelasan prosedur, tanpa ruang keberatan—muncul gelombang sosial yang tak terhindarkan.
Ketika Keberatan Tak Menemukan Jalan
Fajar mencoba menyampaikan keberatan secara pribadi kepada panitia.
Namun mekanismenya, menurutnya, tak jelas.
Di sinilah rasa ketidakadilan muncul.
Dalam etika publik, ketidakjelasan prosedur dapat menimbulkan kecurigaan, meskipun tanpa niat apa pun dari penyelenggara.
Fajar kemudian didorong oleh masyarakat untuk menempuh jalur hukum. Ia sempat ragu—ia bukan tipe orang yang mencari ribut. Tapi tekanan sosial membuatnya maju.
“Masyarakat mendesak saya memakai kuasa hukum demi memperjuangkan harga diri keluarga. Mereka bahkan siap bantu biaya,” ujarnya.
Bagi warga, ini bukan lagi urusan satu orang. Mereka melihatnya sebagai ujian marwah desa.
Tokoh masyarakat Suherman mengungkapkan:
“Memperjuangkan harga diri Fajar sama halnya memperjuangkan marwah desa dari indikasi penistaan agama. Pengumuman seperti itu tidak pantas.”
RDP DPRK: Upaya Mendinginkan Suasana
Ketika kasus berkembang, DPRK Aceh Tamiang turun tangan.
Komisi I menggelar RDP untuk meluruskan duduk perkara.
Ketua DPRK, Fadlon, SH, menegaskan bahwa forum ini bukan untuk mencari siapa salah dan benar, melainkan mencegah berkembangnya fitnah.
Dari RDP itu, beberapa titik terang muncul:
Penilaian “mampu” tidak boleh memakai standar MTQ.
Panitia perlu memahami regulasi sesuai Qanun.
Pengumuman hasil harus memperhatikan etika.
Jalan paling adil adalah tes ulang.
Keputusan finalnya: Fajar dan satu calon lainnya dijadwalkan ikut tes ulang.
Namun satu calon memilih mundur secara resmi.
Tes Ulang Uji Baca Alquran: Ratusan Warga Menjadi Saksi
Selasa, 18 November 2025, Masjid Dusun Lama penuh sesak. Ratusan warga datang—ada Muspika, tokoh agama, tokoh adat, dan perwakilan masyarakat.
Suasananya hampir seperti sidang adat.
Semua ingin melihat kejelasan. Semua ingin memastikan marwah desa tidak hilang dalam kesalahpahaman.
Hasil tes ulang tegas:
Fajar dinyatakan mampu membaca Al-Qur’an.
Rekaman video menyebar cepat.
Warga bersyukur. Kepala-kepala yang sebelumnya tertunduk, mendadak tegak kembali.
Tetapi satu pertanyaan paling penting tetap menggantung:
Bagaimana seorang imam yang memimpin umat selama sepuluh tahun bisa diumumkan tidak mampu di hadapan umum?
Belajar dari Pildatok: Menata Etika Publik
Kasus ini membuka ruang evaluasi bersama bagi penyelenggara PilDatok:
Penilaian syarat calon harus sesuai Qanun, bukan standar lomba.
Pengumuman hasil wajib menjaga marwah dan etika sosial.
Prosedur keberatan harus jelas dan terbuka.
KUA dan P2DP perlu keseragaman standar agar tidak terjadi salah tafsir.
Pemerintahan kampung harus sensitif terhadap dampak psikologis dan keagamaan.
Karena demokrasi lokal bukan sekadar tahapan birokratis. Ia memerlukan rasa, empati, dan penghormatan pada adat Aceh.
Penutup: Luka yang Mengajarkan Banyak Hal
Hari ini, Fajar sudah membuktikan kemampuannya. Tapi luka sosial yang sempat muncul mengingatkan kita pada satu hal:
Marwah seseorang—terlebih seorang imam—adalah bagian dari marwah masyarakat. Dan setiap penyelenggara amanah publik wajib menjaganya.
Ke depan, Pildatok membutuhkan mekanisme yang lebih rapi, lebih sensitif, dan lebih manusiawi—agar tidak ada lagi Fajar-Fajar lain yang harus membuktikan dirinya di tengah badai sosial.
[tz]

