Pildatok Desa Selamat dan Kontroversi Penilaian Qur’an

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews – Opini | Pemilihan Datok Penghulu di Desa Selamat, Kecamatan Tenggulun, kembali menyisakan tanda tanya. Seorang bakal calon, Fajar, yang selama sepuluh tahun menjadi imam di Dusun Pakel, dinyatakan gugur pada tahap tes mampu baca Al-Qur’an. Keputusan ini memantik kegelisahan di tengah masyarakat, sebab Fajar tercatat memiliki pengalaman mengajar mengaji dan juga memegang sertifikat Tajhiz Mayat dari Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tamiang.

Tes baca Al-Qur’an tersebut dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tenggulun. Kepala KUA, Iskandar, menyebut penilaian dilakukan sebagaimana standar perlombaan seperti MTQ. Namun dalam waktu bersamaan, beliau menegaskan bahwa kewenangan menentukan kelulusan bukan berada pada KUA, melainkan pada panitia pemilihan (P2DP). Pihak KUA, kata beliau, bertindak hanya sebagai pelaksana tes dan pemberi nilai.

Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan baru: jika KUA hanya pelaksana, namun nilai yang diberikan menjadi dasar menggugurkan seorang calon, maka di mana letak garis batas kewenangan antara pelaksana teknis dan penentu hasil? Apakah terdapat pedoman tertulis mengenai standar penilaian—mulai dari aspek tajwid, makhraj, kelancaran, hingga bobot skor?

Kuasa hukum yang mendampingi Fajar menilai terdapat kejanggalan dalam proses penilaian. Dalam analisa awal mereka, nilai yang diberikan terkesan berada tepat pada batas yang menyebabkan Fajar dinyatakan tidak memenuhi standar. Sementara itu, sejumlah warga yang hadir dalam proses klarifikasi di kantor KUA menyatakan keberatan. Bagi mereka, sulit menerima bahwa seorang imam yang bertahun-tahun memimpin ibadah dan mengajar Al-Qur’an dinilai kurang mampu tanpa penjelasan teknis yang terbuka.

Karena itu, persoalan ini bukan hanya soal angka dan kelulusan. Ia menyentuh marwah seseorang yang selama ini mengemban tugas keagamaan di tengah masyarakat. Ketika standar penilaian tidak dijelaskan secara terang, kepercayaan publik ikut terdampak.

Yang perlu diperjelas saat ini adalah prosedurnya. Pemilihan Datok semestinya menjadi proses yang terbuka, dapat diuji, dan mampu menjaga kemuliaan peran keagamaan di kampung. Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melalui pihak terkait sudah sepatutnya memberi ruang klarifikasi yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selama standar penilaian dan garis kewenangan belum dijelaskan, kontroversi akan tetap hidup, dan masyarakat desa berpotensi terbelah di akar rumput. Menjaga marwah kampung berarti menempatkan keadilan dan keterbukaan sebagai dasar dari setiap proses pemilihan.

[tz]

Berita Terkini