Pildatok Desa Selamat: Demokrasi yang Tergelincir di Tahapan Awal

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews-Aceh Tamiang | Pemilihan Datok Penghulu (Pildatok) di Desa Selamat, Kecamatan Tenggulun, semestinya jadi ajang demokrasi yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan pemimpin kampung. Tapi sayang, proses yang seharusnya jujur dan terbuka itu kini justru diwarnai kisruh dan dugaan penyimpangan aturan sejak dari awal pembentukan panitia.

Kuasa hukum dari salah satu bakal calon, Imam Fajar — mantan Imam Dusun Pakel — menilai bahwa Panitia Pemilihan Datok Penghulu (P2DP) tidak bekerja sesuai ketentuan. Bahkan, proses uji baca Al-Qur’an yang menjadi salah satu syarat calon dianggap tidak adil dan terkesan menzalimi.

Panitia Tak Siap Jalankan Amanah

Dalam koordinasi di kantor Desa Selamat, tim kuasa hukum dari Kantor DK & Rekan mendapati Ketua P2DP, Sigit Sucipto, tidak dapat menunjukkan dokumen petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) tahapan Pildatok.
Yang terdengar hanya jawaban singkat: “Ada di rumah, tidak saya bawa.”

Jawaban sederhana, tapi cukup menggambarkan persoalan mendasar — panitia yang menjalankan proses tanpa bekal administrasi dan pemahaman aturan yang jelas.

Padahal, dalam Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009, panitia seharusnya dibentuk secara sah melalui musyawarah kampung dan bekerja secara independen, transparan, dan akuntabel. Bila dasar itu tidak terpenuhi, tahapan berikutnya otomatis rapuh, seperti rumah berdiri di atas lumpur.

Proses yang Tergelincir

Uji baca Al-Qur’an — yang semestinya menjadi ruang untuk menguji kemampuan calon dengan adab dan objektivitas — justru memunculkan dugaan pelecehan terhadap marwah agama.
Kuasa hukum menyebut tes itu terkesan tidak adil dan dilakukan tanpa pedoman yang baku.
Ini bukan hanya soal penilaian, tapi soal rasa: di mana letak keadilan kalau panitia sendiri tidak paham aturan main?

Lebih pelik lagi, ketika dalam pertemuan tersebut Ketua MDSK, Safar, ikut menjawab beberapa pertanyaan yang sejatinya menjadi tanggung jawab panitia.
Muncullah tanda tanya di tengah masyarakat: apakah panitia benar-benar bekerja independen, atau sudah dibayangi pengaruh pihak lain?

Suara Warga Menggema

Basuki, tokoh muda sekaligus aktivis Aceh Tamiang, dengan nada tenang tapi tajam mengatakan,

“Kalau pemilihan ini mau melahirkan pemimpin yang benar-benar layak, prosesnya juga harus jujur dan sesuai aturan.”

Warga Desa Selamat kini berharap agar pemerintah daerah, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG), segera turun tangan.
Desakan mereka sederhana tapi tegas: evaluasi, hentikan tahapan sementara, dan bentuk ulang panitia baru yang benar-benar netral.

Bukan Sekadar Kisruh, Tapi Cermin Lemahnya Tata Kelola

Kisruh di Desa Selamat ini bisa jadi gambaran kecil tentang bagaimana demokrasi tingkat kampung masih rentan terhadap salah urus dan ketidaksiapan.
Pildatok bukan hanya soal siapa yang terpilih, tapi bagaimana kepercayaan masyarakat dibangun lewat proses yang jujur dan terbuka.

Kalau panitianya tak siap, dokumennya tak ada, dan ujiannya menimbulkan rasa malu, maka yang dirusak bukan hanya proses, tapi juga marwah demokrasi itu sendiri.

Pelajaran untuk Semua Kampung

Pemerintah kabupaten sebaiknya tidak menunggu kisruh ini membesar.
Perlu evaluasi menyeluruh, bukan cuma di Desa Selamat, tapi juga di seluruh kampung yang akan melaksanakan Pildatok.
Jangan sampai demokrasi kampung berubah jadi arena gaduh hanya karena panitia tak paham aturan dan lupa tanggung jawab.

[tz] – Berdasarkan fakta lapangan dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 dan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014.

Berita Terkini