Mudanews.com – Opini | Sebuah video yang viral memperlihatkan rombongan Gubernur Sumatera Utara menghentikan sebuah truk berpelat Aceh (BL) saat melintas di Kabupaten Langkat, memicu reaksi tajam publik. Di tengah upaya merawat persatuan bangsa, wacana perubahan plat kendaraan Aceh (BL) menjadi plat BK yang disampaikan Gubernur Sumatera Utara justru memunculkan kegaduhan baru. Bukan hanya menyalahi prinsip hukum, wacana ini juga berpotensi mengusik identitas daerah dan mencederai semangat kebhinekaan yang seharusnya dijaga bersama.
Sekretaris Ikatan Alumni Lemhannas Provinsi Aceh, Yusri Kasim, dalam sebuah pernyataan di media lokal, menegaskan bahwa plat kendaraan bukan sekadar nomor polisi, melainkan identitas daerah, simbol kedaulatan otonomi khusus, serta representasi sejarah perjuangan bangsa di masing-masing wilayah. Menurutnya, wacana tersebut berpotensi menimbulkan gesekan sosial antar masyarakat Aceh–Sumut, membuka ruang konflik horizontal, sekaligus merusak nilai-nilai Pancasila.
Lebih jauh, Yusri menilai pernyataan itu mencederai prinsip Ketahanan Nasional, karena menyangkut aspek identitas, persatuan, dan ketertiban sosial. Seorang gubernur, kata Yusri, semestinya merangkul dan melindungi, bukan malah menciptakan jarak serta diskriminasi terhadap simbol sah daerah lain.
Legalitas: Fondasi yang Terabaikan
Dalam konteks hukum pajak daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menegaskan bahwa pajak kendaraan bermotor dipungut berdasarkan domisili registrasi kendaraan. Artinya, selama kendaraan tersebut terdaftar secara sah di Provinsi Aceh, maka urusan pajaknya merupakan kewenangan penuh Aceh.
Menjadi keliru apabila Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui aparaturnya menyetop kendaraan yang tidak melakukan pelanggaran lalu lintas hanya untuk mengarahkan pembayaran pajak ke Sumut. Praktik seperti ini bukan saja berpotensi melanggar hukum administrasi, tetapi juga membuka celah pelanggaran terhadap hak warga negara atas kepemilikan dan penggunaan kendaraan.
Administrasi Publik Bukan Alat Pemaksaan
Plt Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Mardiansyah, menegaskan bahwa administrasi publik tidak boleh dijadikan alat pemaksaan. Dalam kerangka New Public Service (Denhardt & Denhardt), birokrasi modern hadir untuk melayani, bukan semata-mata mengontrol atau menekan masyarakat.
Menurutnya, kebijakan sepihak yang menyasar kendaraan luar daerah tanpa dasar hukum yang jelas bukan hanya menimbulkan konflik administratif, tetapi juga menunjukkan lemahnya perencanaan kebijakan. Tanpa kerja sama antardaerah, langkah tersebut berpotensi menimbulkan keresahan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Padahal, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mestinya ditempuh dengan strategi berbasis pelayanan, koordinasi, dan inovasi. Jika birokrasi lebih mengedepankan pemaksaan di lapangan, maka yang muncul bukanlah kepercayaan masyarakat, melainkan ketakutan dan potensi gesekan sosial.
Menjaga Marwah Kepemimpinan
Apa jadinya bila setiap provinsi mempersoalkan simbol kedaerahan provinsi tetangganya? Indonesia bisa retak hanya karena ego sempit para pemimpin daerah.
Karena itu, pernyataan seperti yang dilontarkan Gubernur Sumut justru menjadi ujian kebangsaan: apakah pemimpin daerah mampu menempatkan diri sebagai pengayom bagi semua, atau malah terjebak dalam sikap diskriminatif yang memicu perpecahan.
Seorang gubernur seharusnya hadir sebagai perekat, bukan pemantik konflik. Bangsa ini terlalu besar untuk diurus dengan logika sempit, dan terlalu berharga untuk dirusak oleh ego sektoral.
[Red]