Mudanews.com – Aceh | Kisah ini terjadi pada tahun 2019 lalu, publik waktu itu dikejutkan dengan kabar penahanan Tengku Munirwan, Kepala Desa Meunasah Rayeuk, Aceh Utara. Ia bukan ditangkap karena korupsi dana desa atau kasus pidana lain yang kerap mencoreng aparatur gampong. Tuduhannya sederhana, tetapi mengiris logika: ia disebut mengedarkan benih padi unggul IF8 tanpa sertifikasi resmi.
Padahal, Munirwan dikenal sebagai inovator desa. Berkat pengembangan benih IF8, hasil panen petani meningkat signifikan, hingga beberapa desa di Aceh Utara merasakan panen lebih melimpah dan ekonomi lokal terdongkrak. Bahkan pada 2018, ia pernah menerima penghargaan nasional dari Kementerian Desa. Di balik jeruji hukum, terselip pertanyaan besar: bagaimana seorang kepala desa yang berjuang untuk kesejahteraan rakyat bisa tiba-tiba berhadapan dengan aparat hukum?
Antara Dukungan Negara dan Jerat Hukum
Fakta yang terungkap menunjukkan bahwa IF8 bukanlah benih liar. Bibit itu justru berasal dari program pemerintah Aceh, dibagikan gubernur, dan kemudian dikembangkan desa-desa. Dengan kata lain, inovasi ini sejalan dengan amanat UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendes Nomor 4 Tahun 2015 tentang prioritas pembangunan berbasis inovasi.
Namun laporan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh justru menyeret Munirwan ke kursi tersangka. Polda Aceh menegaskan kasusnya diproses karena kapasitasnya sebagai pimpinan PT Bumades Nisami Indonesia, bukan semata perannya sebagai kepala desa.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah laporan ini semata soal regulasi, atau ada kepentingan lain di baliknya?
Gelombang Kritik dan Simpati Publik
Kasus Munirwan memicu reaksi luas. Banyak pihak menilai ada aroma “kriminalisasi inovasi” yang berpotensi mematikan semangat kemandirian pangan.
Ketua Komisi II DPRA saat itu, Nurzahri, menilai pemerintah seharusnya membantu proses sertifikasi, bukan melaporkan seorang kepala desa yang sudah terbukti memberi manfaat bagi rakyatnya. Pernyataan ini menegaskan adanya jurang antara regulasi formal dengan realitas lapangan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara sendiri berupaya mengambil posisi tengah: mendukung legalisasi IF8, tetapi tetap menghormati jalannya proses hukum.
Refleksi: Antara Regulasi dan Kepentingan
Meski akhirnya mendapat penangguhan penahanan, jejak kasus ini tetap meninggalkan luka. Regulasi memang penting, sertifikasi benih adalah syarat legal yang harus ditaati. Namun, bagaimana jika aturan justru menjadi batu sandungan bagi inovasi desa?
Benih IF8 terbukti meningkatkan panen. Tetapi karena urusan label, seorang kades harus berhadapan dengan jeruji. Pertanyaannya: apakah negara hanya hadir sebagai “penjaga regulasi”, tanpa ruang untuk mendukung kreativitas rakyat?
Di sinilah pentingnya koreksi kebijakan. Regulasi seharusnya tidak memadamkan semangat inovasi lokal, melainkan menguatkan. Jika tidak, kisah Munirwan bisa menjadi sinyal bagi desa-desa lain: bahwa kreativitas tanpa legitimasi bisa berubah menjadi kriminalisasi.
Opini Investigatif: [Red]