Mudanews.com – Opini | Langsa, 8 September 2025, Sepotong kertas kecil, lusuh, dengan tanda tangan samar di ujungnya. Bagi sebagian orang mungkin hanya selembar kwitansi biasa. Namun, di mata Ry, seorang pedagang perabot di Kota Langsa, kertas itu adalah simbol beban yang harus ia tanggung setiap bulan.
Setiap awal bulan, ia sudah menyiapkan sejumlah uang, bukan untuk kulakan barang dagangan, melainkan untuk menyerahkan pada seseorang yang datang dengan buku catatan. “Kalau telat, ditagih lagi. Kalau tidak bayar, nanti dibilang tidak ikut aturan,” katanya lirih sambil menunjukkan selembar kertas dengan tanda terima.
Cerita serupa juga terdengar dari seorang karyawan minimarket. Ia mengaku sudah terbiasa menerima kwitansi itu setiap bulan. Baginya, kertas itu bukan sekadar tanda lunas, tetapi pengingat bahwa ada sesuatu yang harus ia setor meski tidak pernah jelas untuk apa.
“Sudah lama seperti ini, Bang. Kalau tidak bayar, susah juga. Jadi ya ikut saja,” ujar karyawan tersebut singkat.
Fenomena kwitansi bulanan ini tidak hanya dialami satu dua orang. Dari pedagang kecil hingga pekerja sektor ritel, mereka sama-sama merasakan adanya kewajiban tak tertulis. Tidak ada papan pengumuman, tidak ada sosialisasi resmi, hanya sebuah rutinitas yang diwariskan dari mulut ke mulut.
Ketua salah satu kelompok pekerja di tingkat kota tidak menampik praktik itu. Ia berdalih iuran bulanan dilakukan untuk “mengatur kebersamaan” dan memastikan semua anggota terdata. Namun, ketika ditanya soal dasar hukum, jawabannya mengambang. “Itu sudah kebijakan dari atas,” katanya singkat.
Di tingkat provinsi, pernyataan berbeda muncul. Ketua kelompok provinsi menegaskan bahwa tidak ada aturan resmi tentang iuran bulanan dengan kwitansi. Ia bahkan terkejut ketika mendengar kabar bahwa praktik itu terjadi di lapangan. “Kalau ada, itu di luar ketentuan resmi. Kami tidak pernah menginstruksikan hal semacam itu,” jelasnya.
Kontrasnya pernyataan dari berbagai pihak semakin menambah teka-teki di balik selembar kwitansi bulanan. Bagi masyarakat kecil, yang mereka tahu hanya satu hal: setiap bulan harus ada uang keluar, kalau tidak, ada konsekuensi yang tidak mereka inginkan.
Di balik lusuhnya sepotong kertas, tersimpan kisah tentang rasa sungkan, ketakutan, sekaligus keikhlasan yang terpaksa. Kwitansi itu bercerita lebih banyak daripada angka yang tertera di atasnya—ia menjadi saksi bisu hubungan antara kewajiban dan ketidakjelasan yang menghantui sebagian warga Kota Langsa.
[tz] Mudanews.com