Kepmendagri Tetapkan Empat Pulau di Aceh Singkil Milik Sumut Menuai Protes “Warga” Medsos

Breaking News
- Advertisement -

MUDAHNEWS.COM, LANGSA – Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, menetapkan empat pulau di Aceh Singkil sebelumnya milik Provinsi Aceh, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang, menjadi milik Provinsi Sumut, menuai protes “warga” Media Sosial (Medsos) Facebook.

“Warga” Medsos yang getol menyampaikan protes itu, salah satunya dari pengguna akun facebook bernama Agam.

Di beranda status facebooknya, Agam menulis Mendagri jangan bicara jauh dekat, sebab Kecamatan Pematang Jaya terletak di daratan Aceh tetapi punya Sumatera Utara

Kata Mendagri Tito Karnavian, tambah Agam dalam status di branda facebook yang ia ditulis, bahwa ke 4 Pulau tersebut letaknya lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara dari pada ke Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Karena itu, 4 Pulau tersebut masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara dan bukan masuk wilayah Aceh.

Lanjut  status facebook  yang ditulis Agam itu, Mendagri tidak tau ada wilayah Sumatera Utara yang lokasinya di daratan Provinsi Aceh. Desa-desa milik Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara tetapi letaknya di daratan Aceh.

Kalau Mendagri, Tito Karnavian tidak percaya banyak desa-desa wilayah Kabupaten Langkat tetapi letaknya di daratan Aceh, sambung status facebook ditulis Agam, dipersilakan Mendagri telepon tanya langsung pada Bupati Langkat.

Masih dalam status facebooknya, Agam meyakini bahwa Mendagri Tito Karnavian tidak tau ada Damar Condong, Limau Mungkur, Pematang Tengah, Perkebunan Damar Condong, Perkebunan Prapen, Salahaji, Serang Jaya, Serang Jaya Hilir, Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara letaknya bukan di daratan Provinsi Sumatera Utara, tetapi letaknya di daratan Provinsi Aceh. Ada minyak dan gas di Pematang Jaya.

Kalau Mendagri Tito Karnavian bicara berdasarkan letaknya lebih dekat 4 pulau itu ke Provinsi Sumatera Utara, dan bukan Aceh, lanjut status ditulis Agam, lalu mengapa Damar Condong, Limau Mungkur, Pematang Tengah, Perkebunan Damar Condong, Perkebunan Prapen, Salahaji, Serang Jaya, Serang Jaya Hilir, Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara letaknya bukan di daratan Provinsi Sumatera Utara, tetapi letaknya di daratan Provinsi Aceh kok tidak masuk dalam wilayah Provinsi Aceh, kok malahan masuk wilayah Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Padahal letak Damar Condong, sambung status facebook Agam, Limau Mungkur, Pematang Tengah, Perkebunan Damar Condong, Perkebunan Prapen, Salahaji, Serang Jaya, Serang Jaya Hilir, Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara letaknya bukan di daratan Provinsi Sumatera Utara, tetapi letaknya di daratan Provinsi Aceh kok tidak masuk dalam wilayah Provinsi Aceh, kok malahan masuk wilayah Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

“Seharusnya desa-desa tersebut masuk wilayah Aceh karena letaknya dikelilingi kampung-kampung Kecamatan Seruway, Kecamatan Rantau dan Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang,” sebut Agam dalam status yang dia tulis di branda facebooknya itu.

Warga desa-desa tersebut jika pulang-pergi melewati jalan darat di kabupaten Aceh Tamiang, tambah Agam didalam tulisan statusnya, karena tidak jalan darat bagi warga desa-desa tersebut untuk bisa pergi dan pulang. Mereka harus jalan di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh jika pergi berbelanja, sekolah, berobat dan jika ingin pergi ke kantor bupati Langkat di Stabat serta pergi untuk keperluan lainnya.

Desa-desa di Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, sambung status ditulis Agam, padahal letaknya dekat Kampung Bogak dan Gedung Biara, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, padahal letaknya sebelah Kampung Suka Mulia , Suka Rakyat, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, padahal letak Desa Salahaji disebelah Kampung Paya Bedi, Kecamatan Rantau dan sebelah Kampung Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.

“Tetapi mengapa desa-desa di Kecamatan Pematang Jaya, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara statusnya tidak masuk wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh? Karena dari zaman dahulu memang sudah begitu historisnya merupakan wilayah Provinsi Sumatera Utara. Begitu juga letak 4 Pulau itu dari zaman dahulu historisnya memang masuk wilayah Provinsi Aceh, bukan masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara seperti Surat Keputusan Mendagri,” tulis Agam dalam status facebooknya.

Karena itu, lanjut status ditulis Agam, kalau bicara jangan hanya sekedar melihat jarak jauh dekat, tetapi lihat dan baca juga historisnya agar tidak salah makan dan minum obat, sehingga menimbulkan peta konflik antara Aceh dan Sumatera Utara serta Pemerintah Pusat gara-gara pengalihan status 4 Pulau tersebut.

Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Sumut Bobby Nasution Perlu Belajar 24 SKS Lagi Tentang Status Kepemilikan 4 Pulau

Dalam status lainnya yang ditulis di branda Facebook Agam, bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, Tito Karnavian menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil kini masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Tito mengatakan Kementerian Dalam Negeri menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena penamaan pulau tersebut harus didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

  1. Ada berbagai macam asas hukum, baik yang umum maupun khusus. Beberapa asas hukum yang umum dan penting meliputi:
    1. Asas Legalitas:
    Setiap tindakan hukum harus didasarkan pada undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Asas Kepastian Hukum:
Hukum harus jelas, terukur, dan dapat dipastikan penerapannya.

3. Asas Keadilan:
Hukum harus mencerminkan keadilan dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negara.

Selain itu ada juga asas Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan:Dalam hal peraturan perundang-undangan, terdapat asas-asas khusus yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan atau konflik antara peraturan perundang-undangan yang berbeda, seperti:
Asas Lex Superior Doregat Legi Inferiori yaitu Hukum yang lebih tinggi (misalnya Undang-Undang) mengesampingkan hukum yang lebih rendah (misalnya Keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang merubah status kepemilikan 4 Pulau milik Provinsi Aceh dipindahkan secara paksa masuk ke wilayah Provinsi Sumatera Utara) .

Coba Tito Karnavian dan Bobby Nasution baca lagi Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UU No. 12 Tahun 2011 adalah Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini mengatur mengenai proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut ada diatur hirarki peraturan Perundang-Undang. Sangat mustahil Keputusan Menteri Dalam Negeri mengalahkan UU terkait dengan 4 pulau tersebut.

Asas lex superior derogat legi inferiori adalah asas hukum yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hierarki mengesampingkan (mengatasi) peraturan yang lebih rendah. Jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, maka peraturan yang lebih rendah harus disisihkan.

Tentu saja Keputusan Mendagri tentang memutuskan status kepemilikan 4 pulau tersebut masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara wajib dibatalkan.

Asas Lex Specialis Doregat Legi Generalis : Peraturan Hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Kewenangan Pemerintah Aceh telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan amanat dari MoU Helsinki.
Apakah keputusan Mendagri itu telah melalui konsultasi dan pertimbangan dari Pemerintah Aceh. Jika keputusan tersebut tampa konsultasi dengan Pemerintahan Aceh,maka keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006.

Pada Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 dinyatakan bahwa setiap kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh harus melalui proses konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

Asas Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan:
Dalam hal terkait peraturan perundang-undangan, terdapat asas-asas khusus yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan atau konflik antara peraturan perundang-undangan yang berbeda, seperti:

Asas Konsensualisme
Asas ini menekankan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan sudah ada sejak detik tercapaikan kesepatakan para pihak. Artinya, perjanjian ada sejak tercapainya kata sepakat atau konsensus antara pihak mengenai pokok perjanjian. Surat Keputusan Mendagri tentang merubah status kepemilikan 4 pulau tersebut wajib dibatalkan karena sudah ada Kesepakatan Gubernur Aceh-Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992.

Surat Kesepakatan antara Gubernur Sumatera Utara (Raja Inal Siregar) dan Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) tahun 1992, terkait sengketa empat pulau di Singkil.

Pada tahun 1990–1992, terjadi ketegangan antara Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh terkait klaim atas empat pulau di wilayah Singkil (Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Lipan).

Konflik ini memicu ketidakstabilan di perbatasan, termasuk sengketa penangkapan ikan dan pengelolaan sumber daya laut. Akhirnya, pada tahun 1992, dengan mediasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Rudini, kedua gubernur menyepakati resolusi batas wilayah.

Isi Pokok Kesepakatan 1992 atau dokumen kesepakatan tersebut menegaskan:
1. Keempat pulau diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.
2. Sumut tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wilayah tersebut.
3. Pengelolaan sumber daya alam (perikanan, pariwisata, dan lain-lain) menjadi hak penuh Aceh.
4. Hanya kerja sama teknis (seperti konservasi laut lintas batas) yang boleh dibahas bersama.

Kesepakatan ini ditandatangani di Jakarta, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini, dan dianggap sebagai final dan mengikat.

Status Hukum Kesepakatan diatas diperkuat oleh UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 246 menyatakan batas wilayah Aceh mengacu pada peraturan sebelumnya). Dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 01.P/HUM/2013 yang menolak gugatan Sumut. Dan juga tercatat dalam arsip nasional Kementerian Dalam Negeri sebagai dokumen resmi penyelesaian sengketa.

Apakan Mendagri dan Gubernur Sumatera Utara tidak mengerti tentang asas Ne Bis in Idem yaitu sebuah perkara dengan objek yang sama, para pihak yang sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution perlu juga sekolah lagi atau ikut Bimtek di Laboratorium Agam Labound Enterprises yang dikelola Bang Agam hair silver metallic loen sidroe mantoeng supaya Tito Karnavian dan Bobby Nasution lebih cerdas agar mengetahui ada juga Asas Pacta Sunt Servanda.

Berdasarkan asas ini, masing-masing pihak perjanjian wajib melaksanakan isi perjanjian demi kepastian hukum. Asas ini tidak berdiri sendiri dan memiliki kaitan dengan asas iktikad baik atau good faith. Asas ini merupakan fundamental, karena melandasi lahirnya perjanjian. Pada perjanjian, janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi pihak yang membuatnya.

Terus apa Mendagri dan Gubernur Sumatera Utara tidak paham tentang Asas Rebus sic stantibus.

Asas ini artinya perjanjian yang telah berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental.

Selain itu ada juga Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik menghendaki bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dengan siapa pihak membuat perjanjian, dan setiap perjanjin selalu didasari pada asas iktikad baik, tidak melanggar peraturan perundang-undangan, serta tidak melanggar kepentingan masyarakat.

Seharusnya Mendagri dan Gubernur Sumatera Utara harus mengerti tentang Good Governance
Prinsip ini merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Jika dilihat dari segi functional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, Tito Karnavian menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil kini masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Tito mengatakan Kementerian Dalam Negeri menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena penamaan pulau tersebut harus didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Padahal sudah jelas 4 Pulau itu milik Aceh, dasarnya sudah sangat terang benderang yaitu batas wilayah Provinsi Aceh-Sumut berdasarkan UU No. 24 Tahun 1956 Tentang Perbatasan Aceh dan Sumut, tertanggal 1 Juli Tahun 1956.

Batas Tahun 1956 itulah yang juga digunakan sebagai dasar perbatasan wilayah Aceh-Sumut yang tercantum dalam Kesepakatan Damai Memorandum Of Understanding (MoU) GAM-RI di Helsinki, dalam Pasal 114 (Bab I, Pasal 1.4) yang menyatakan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

Perlu Mendagri dan Gubernur Sumatera Utara catat bahwa selain pada UU No. 24 Tahun 1956, pemerintah dan masyarakat Aceh juga berpegang pada dasar hukum yang lain yaitu UU No. 14 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang terkait dengan Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Singkil.

Undang-undang ini mengatur pembentukan Aceh Singkil sebagai kabupaten di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Undang-undang ini secara eksplisit telah menyebutkan bahwa gugusan kepulauan di Kecamatan Pulau banyak, itu adalah bagian integral dari Kabupaten Aceh Singkil.

PETA TOPOGRAFI TNI AD 1978 Peta Topografi TNI AD Tahun 1978 menyatakan bahwa Pulau tersebut adalah milik Provinsi Aceh

Semua nelayan yang berada di garis pantai Tapanuli Tengah dan Sibolga mengatakan bahwa 4 Pulau itu milik Aceh. Dan jejak-jejak pembangunan yang ada dipulau itu berasal dari Pemerintah Aceh. Bahkan pajak masyarakat di daerah setempat juga dibayarkan ke Pemerintah Provinsi Aceh.

Karena itu, Mendagri Tito Karnavian jangan karena adanya analisa perbatasan bersifat geografis dengan alasan untuk merapikan peta berdasarkan pendekatan rupa bumi atau delineasi spasial yang dipas-paskan, lalu Keputusan nyeleneh diterbitkan untuk mengoyak peta wilayah Provinsi Aceh.

Keputusan Mendagri Tito Karnavian dan upaya dari Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution yang datang menjumpai Gubernur Aceh, Muzakir Manat untuk mengajak atau menawarkan kerjasama untuk mengelola 4 pulau tersebut, tentu saja ingin membumihanguskan kedudukan Undang-Undang yang selama ini telah berlaku terkait status 4 pulau itu.

Mendagri Tito Karnavian dalam mengambil keputusan memakai logika yang nyeleneh, aneh dan sangat lucu.

Menurut Mendagri, setelah adanya kesepakatan garis perbatasan darat antara Aceh-Sumut, lalu berdasarkan perbatasan darat tersebutlah ditarik garis lurus juga untuk perbatasan lautnya, logika ini tentu logika yang bertentangan dengan data dan fakta tentang kepemilikan 4 pulau tersebut.

Karena itu, Keputusan Mendagri Tito Karnavian yang merubah status kepemilikan 4 pulau tersebut wajib dibatalkan. Sebab, tidak ada dalam hirarki Perundang-Undangan keputusan yang lebih rendah menganulir keputusan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang.

Keputusan Mendagri tersebut wajib dibatalkan karena memang sudah ada perjanjian Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada tahun 1992 bahwa 4 pulau itu milik Provinsi Aceh.

Masih banyak fakta-fakta dan data lainnya bahwa 4 pulau itu memang milik Aceh.

Fiat Justicia Ruat Caelum : let justice be done, though the heavens falls, atau walaupun esok dunia musnah/walaupun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.

Presiden RI Prabowo Subianto Copot Mendagri

Protes Agam dalam status ditulis di branda facebooknya, ia meminta agar Presiden RI, Prabowo Subianto mencopot Mendagri Tito Karnavian

Dalam status facebooknya itu Agam tulis, Kisruh saling klaim antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara terkait 4 Pulau yang sebelumnya masuk wilayah Provinsi Aceh, kini masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara pasca terbitnya Surat Keputusan dari Kemendagri.

Saling klaim tentang status kepemilikan 4 pulau tersebut dapat memicu munculnya stabilitas nasional, khususnya stabilitas antara Aceh dan Sumatera Utara.

Jika hal tersebut dibiarkan berlarut-larut atau tidak cepat disikapi oleh berbagai pihak, maka hal itu bisa menimbulkan peta konflik baru pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

Pada MoU Helsinki 15 Agustus 2005 ditulis pada poin 1.1.4.Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

Jika merujuk dari isi MoU Helsinki, berarti wilayah Provinsi Aceh akan bertambah sampai ke Sumatera Utara.

Ternyata fakta dan data yang terjadi isi MoU Helsinki pada poin 1.1.4 tersebut hanya janji palsu atau hanya sebagai Pemberi Harapan Palsu untuk rakyat Aceh.

Buktinya, Pemerintah Pusat Ca Mendagri belum menerbitkan Surat Keputusan tentang batas wilayah Aceh merujuk pada 1 Juli 1956 sesuai MoU Helsinki yang sudah berlangsung lama.

Seharusnya, Mendagri menerbitkan Surat Keputusan batas wilayah Aceh sesuai MoU Helsinki terlebih dahulu karena hal itu bagian komfrensif dalam penyelesaian konflik Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki.

Namun, Mendagri tidak melaksanakan hal tersebut dan nyaris tidak pernah terdengar dari Mendagri dalam hal membahas untuk menerbitkan SK batas wilayah Aceh sesuai MoU Helsinki itu.

Namun, malahan Mendagri menerbitkan Surat Keputusan tentang status 4 pulau yang secara historis sebelum masuk wilayah Provinsi Aceh, tetapi diterbitkan Surat Keputusan masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Tentu saja pergeseran status 4 pulau tersebut akan menimbulkan peta konflik baru antara Aceh dengan Pemerintah Pusat pasca MoU Helsinki , 15 Agustus 2005.

Buktinya, jangankan isi MoU Helsinki tersebut dilaksanakan, bahkan yang terjadi 4 Pulau di Provinsi Aceh hilang dan Pemerintah Pusat menyatakan 4 Pulau yang sebelumnya masuk ke Provinsi Aceh, tetapi kini sudah pindah masuk ke Provinsi Sumatera Utara.

Buktinya, ada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tertanggal 14 Februari 2022.

Keputusan tersebut menetapkan pemutakhiran data wilayah administratif dan mengakibatkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil dipindahkan ke wilayah administrasi Sumatera Utara.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Aceh mengaku akan memperjuangkan perubahan status agar keempat pulau itu dikembalikan ke Tanah Rencong.

Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Status administratif ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Kewenangan Pemerintah Aceh telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan amanat dari MoU Helsinki.

Apakah keputusan Mendagri itu telah melalui konsultasi dan pertimbangan dari Pemerintah Aceh. Jika keputusan tersebut tampa konsultasi dengan Pemerintahan Aceh,maka keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006.

Pada Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 dinyatakan bahwa setiap kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh harus melalui proses konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

Kini, gara-gara status ke 4 Pulau itu sudah masuk dalam wilayah Sumatera Utara, sehingga memunculkan saling tuding antara Pemerintahan Aceh, Pemerintahan Sumatera Utara dan Kemendagri(Pemerintah Pusat) terkait persoalan ini.

Karena itu, sebaiknya Presiden RI, Prabowo Subianto turun tangan untuk membatalkan SK dari Mendagri terkait status 4 pulau tersebut.

Seharusnya, Prabowo dalam menempatkan Menteri untuk posisi yang sangat strategis seperti Mendagri jangan dari peninggalan rezim Presiden, Joko Widodo.

Sebab, bisa saja program-program kepentingan Jokowi yang belum terealisir ketika sebagai Presiden, maka diteruskan oleh Menteri terkait.

Apa lagi Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution adalah keluarga dari Jokowi. Tentu bisa saja muncul sinyalemen ada kepentingan Jokowi dan Bobby Nasution terhadap 4 Pulau tersebut. Walaupun sinyalemen ini belum tentu benar, tetapi netizen mengkaitkan mengarah ke hal itu tentang status 4 Pulau tersebut.

Selain itu, Presiden RI, Prabowo Subianto mungkin perlu segera mencopot Mendagri, Tito Karnavian karena gara-gara Kemendagri menimbulkan potensi gangguan stabilitas nasional, khususnya gangguan antara Aceh dan Sumatera Utara.

Kalaupun, Prabowo ingin memberikan posisi jabatan Menteri kepada Tito, sebaiknya diberikan jabatan Menteri yang bukan jabatan strategis seperti Mendagri, tetapi bisa ditempatkan pada jabatan Menteri yang bidang lain yang tidak strategis tentu lebih baik.

Kasus 4 Pulau tersebut hampir mirip dengan kasus ketika Inggris membiarkan Kasmir, sehingga menimbulkan konflik antara India dengan Pakistan. Saling klaim antara India dan Pakistan tentang Kasmir.

Begitu juga dengan status 4 Pulau yang saling klaim antara Aceh dan Sumatera Utara. Tentu saja persoalan ini jangan dibiarkan terus berlarut-larut seperti kasus Kasmir, tetapi kasus 4 Pulau perlu secepatnya dituntaskan oleh Pemerintah Pusat. (St).

 

Berita Terkini