Empat Pulau, Satu Luka Administratif

Breaking News
- Advertisement -

Pulau Bukan Barang, Aceh Bukan Titipan

Mudanews.com- OPINI | Empat pulau mungil Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, diambil alih dengan satu surat keputusan dari Jakarta. Bagi pusat, ini urusan peta. Tapi bagi masyarakat Aceh, ini luka lama yang disayat ulang.

Bagaimana bisa tanah yang selama ini dianggap bagian dari Aceh, tiba-tiba masuk dalam daftar milik Sumatera Utara? Apakah pulau bisa berpindah hanya karena lebih dekat ke dapur sebelah?

Kisah ini bukan sekadar konflik administratif. Ia menyentuh akar rasa: tentang identitas, tentang harga diri, tentang penghormatan pada sejarah dan janji yang dibuat.

Sejarahnya jelas. Pada tahun 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara telah menyepakati batas wilayah, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini. Dan hingga hari ini, tidak pernah ada dokumen resmi yang mencabut atau mengubah kesepakatan tersebut.

Namun, keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 seolah menafikan semua itu. Empat pulau diambil begitu saja—tanpa klarifikasi, tanpa partisipasi, tanpa permisi.

Bukan Sekadar Batas – Mengapa Aceh Layak Didengar

Pemerintah Aceh, melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Syakir, menyampaikan sikap tegas:

“Harusnya ditetapkan dulu garis batas laut karena sudah ada kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada 1992. Kesepakatan itu belum pernah diubah,” tegasnya.

Syakir juga menyoroti Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 yang menyebut bahwa dokumen penegasan batas daerah harus mengacu pada kesepakatan antarpemerintah daerah yang berbatasan.

Dalam konteks ini, Syakir menilai bahwa penetapan empat pulau oleh Kemendagri bertentangan dengan tahapan prosedur yang diatur regulasi.

“Yang harusnya ditetapkan dulu pagar rumah, otomatis rumah berada dalam wilayah. Nah, Kemendagri malah tetapkan rumah dulu, padahal pagar dan halaman milik Aceh,” katanya.

Pernyataan Syakir ini juga memperjelas bahwa:

Ada berita acara tahun 2019 yang hanya membahas batas darat, tidak termasuk laut.

Kronologi nama rupabumi 2008 juga menyimpan konflik, karena Aceh dilarang memasukkan 4 pulau dalam daftar, padahal konflik belum selesai.

Surat Gubernur Aceh tahun 2022 sudah mengingatkan bahwa revisi koordinat pulau telah diajukan sejak 2018, namun tidak dijadikan acuan.

Kesimpulan

Pemindahan pulau ini bukan semata urusan teknis. Ini menyangkut hak konstitusional, perjanjian terdahulu, dan rasa keadilan bagi masyarakat Aceh.

Negara memang punya kewenangan administratif. Tapi tanpa dialog dan kejelasan hukum, kewenangan bisa menjelma jadi dominasi.

Empat pulau itu kecil di peta. Tapi mereka adalah simbol besar: tentang bagaimana pusat harus belajar menghargai pinggiran, bukan mengatur tanpa mendengar.**()

Catatan Redaksi:

Tulisan ini tidak dimaksud menyerang siapa pun, melainkan hak publik menyampaikan opini menyuarakan keadilan dan etika administrasi wilayah berdasarkan data resmi, kronologi hukum.

Berita Terkini