Pulau Panjang Jadi Simbol Perlawanan: Rakyat Aceh Singkil Tolak Penetapan Empat Pulau oleh Mendagri

Breaking News
- Advertisement -

Aceh Singkil – mudanews.com,  Ribuan warga Aceh Singkil yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Aceh Menggugat Mendagri (AGAMM) menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Pulau Panjang, pada beberapa waktu yang lalu.

Aksi ini menjadi bentuk perlawanan terbuka terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan pemindahan empat pulau—termasuk Pulau Panjang—dari wilayah Aceh ke Provinsi Sumatera Utara.

Pulau Panjang, yang selama ini dikenal sebagai kawasan pesisir di Aceh Singkil, kini menjelma menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap kebijakan pusat yang dinilai mencederai hak historis dan kedaulatan wilayah mereka.

Massa aksi datang dari berbagai penjuru desa menggunakan kapal-kapal nelayan, dipimpin oleh panglima laot dan para kepala desa. Mereka berkumpul di sekitar tugu dan gapura yang dibangun Pemerintah Aceh di Pulau Panjang, menyuarakan penolakan tegas terhadap keputusan Mendagri.

“Masyarakat Aceh Singkil tidak menerima keputusan ini. Kami menuntut Mendagri mencabut keputusan dan mengembalikan keempat pulau ke wilayah Aceh,” tegas Ishak, koordinator aksi.

Empat pulau yang dipermasalahkan dalam Kepmendagri tersebut yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan. Warga meyakini bahwa keempatnya secara historis dan administratif merupakan bagian dari Aceh.

Dukungan politik terhadap aksi ini datang dari anggota legislatif Forbes DPR dan DPD asal Aceh, termasuk Irmawan, Haji Uma (Sudirman), Azhari Cage, dan Darwati A Gani. Mereka menyatakan komitmen untuk menyampaikan aspirasi masyarakat langsung ke Jakarta.

“Saya pastikan, begitu kembali ke Jakarta, kami akan memanggil Mendagri dan membawa suara rakyat Aceh langsung ke hadapannya,” ujar Haji Uma.

Bupati Aceh Singkil, Safriadi, juga turut hadir memimpin deklarasi penolakan. Dalam orasinya, ia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar administratif, melainkan menyangkut harga diri dan identitas rakyat Aceh.

“Pemerintah pusat harus sadar bahwa ini menyangkut identitas dan hak sejarah masyarakat kami. Jangan biarkan konflik tapal batas ini menjelma menjadi gesekan sosial antara provinsi,” seru Safriadi.

Berbagai elemen masyarakat turut mendukung aksi ini, termasuk Himpunan Mahasiswa Pelajar Aceh Singkil (HIMAPAS). Mereka menuntut implementasi penuh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), terutama terkait pengelolaan wilayah dan batas administratif.

Massa juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Aceh segera menempuh jalur hukum melalui PTUN untuk menggugat keputusan yang dinilai sepihak dan merugikan.

Tokoh lokal Subkiyadi, yang dikenal sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo Subianto di Aceh Singkil pada Pilpres 2019, menyatakan bahwa keputusan Mendagri mencederai MoU Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Ia merujuk pada kesepahaman batas wilayah tahun 1956 yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh.

“Perubahan batas wilayah Aceh harus melalui konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan disetujui oleh DPRA. Tanpa itu, keputusan Mendagri ini cacat hukum dan melanggar otonomi khusus Aceh,” tegas Subkiyadi. Pada Kamis 12Juni 2025.

Ia juga menyerukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar mengevaluasi keputusan ini dan mengembalikan keadilan bagi rakyat Aceh.

“Keputusan ini seperti penjajahan zaman Belanda. Tidak menghargai sejarah, perjuangan, dan darah yang telah dikorbankan rakyat Aceh demi Republik Indonesia,” pungkasnya.

Pulau Panjang kini tidak hanya menjadi lokasi geografis, tetapi juga simbol keteguhan rakyat Aceh dalam mempertahankan identitas, sejarah, dan kedaulatan wilayahnya. (**)

Berita Terkini