Di Balik Kata, Ada Martabat yang Perlu Dijaga

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com-Opini | Tulisan ini tidak bertujuan menyudutkan siapa pun. Mari kita menjadikannya sebagai bahan introspeksi bersama, khususnya bagi para pendidik, orang tua, dan pemangku kebijakan di dunia pendidikan.

Dalam dinamika kegiatan belajar-mengajar, teguran adalah bagian dari proses pembinaan. Namun, bagaimana bentuk dan pilihan kata dalam menyampaikan teguran itulah yang kerap menjadi persoalan. Tidak sedikit kasus di lingkungan sekolah yang menunjukkan bahwa niat mendidik bisa berubah menjadi luka batin, hanya karena bahasa yang digunakan melukai perasaan peserta didik.

Penting dipahami bahwa setiap ucapan yang keluar dari sosok pendidik bukan hanya berdampak pada saat itu, tapi bisa melekat lama dalam memori anak-anak. Kata-kata yang kasar atau merendahkan, meskipun dilontarkan dalam konteks menegur, tetap memiliki potensi melukai psikologis anak. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran sebagian besar orang tua dan masyarakat ketika mendengar kabar tentang adanya kekerasan verbal di ruang-ruang kelas.

Perlu digarisbawahi, bahwa pendidik juga manusia biasa. Bisa lelah, bisa khilaf, dan bisa terpancing emosi. Tapi pada saat yang sama, masyarakat menaruh harapan besar kepada pendidik untuk tetap menjadi teladan. Di pundak pendidiklah tertumpu harapan masa depan anak-anak, yang seharusnya dibangun dengan suasana yang suportif dan penuh kasih, bukan tekanan apalagi makian.

Peristiwa yang pernah terjadi menjadi cermin bagi kita semua, bahwa ruang pendidikan semestinya menjadi tempat tumbuhnya budi pekerti, bukan sekadar penghafalan nilai atau tempat pelampiasan emosi. Setiap kata yang dilontarkan pendidik sejatinya mengandung makna pembimbing, bukan menjatuhkan. Karena itu, penting bagi semua pihak untuk terus mengingatkan diri—bahwa mendidik adalah seni menjaga marwah dan martabat.

Kiranya, dari setiap kejadian yang terjadi, kita bisa memetik pelajaran: mengambil hikmahnya bahwa mendidik dengan cinta dan kelembutan tidak membuat seseorang kehilangan wibawa. Sebaliknya, itulah wibawa sejati yang lahir dari ketulusan, bukan dari suara keras atau amarah. Dunia pendidikan harus terus kita jaga, bukan hanya dari sisi fasilitas dan kurikulum, tapi juga dari cara kita memperlakukan dan memperhatikan perasaan anak-anak di dalamnya.

Kadang kita lupa, bahwa anak-anak tidak hanya belajar dari buku atau pelajaran di papan tulis. Mereka menyerap nada bicara, bahasa tubuh, dan sikap orang dewasa di sekitarnya—terutama dari mereka yang mereka anggap sebagai panutan. Sebuah kata yang mungkin bagi orang dewasa hanyalah bentuk teguran, bisa menjadi bekas luka dalam batin seorang anak yang belum mampu memahami konteks atau maksud sesungguhnya.

Pendidikan, sejatinya, bukan hanya tentang angka dan prestasi akademik. Ia adalah proses membentuk manusia yang utuh: dari sikap, karakter, hingga empati. Maka dari itu, kita semua—baik guru, orang tua, maupun masyarakat luas—memiliki tanggung jawab yang sama untuk menumbuhkan lingkungan belajar yang sehat dan penuh kasih.

Tulisan ini tidak bertujuan menyudutkan siapa pun. Sebaliknya, mengajak kita untuk merenung dan berbenah bersama. Karena di balik setiap kata yang kita ucapkan, tersimpan tanggung jawab yang tak bisa dianggap remeh. Di balik kata, benar-benar ada martabat yang perlu dijaga.**(tz)

Berita Terkini