Pernyataan KIP Aceh Terkait Putusan PTTUN Picu Kritik Mantan Komisioner di Aceh Tamiang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Mudanews.com – Aceh Tamiang | Pernyataan Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Ahmad Mirza Safwandi, tentang keterlambatan putusan PTTUN Medan sehingga pasangan Hamdan Sati-Febriadi tidak bisa menjadi peserta Pilkada 2024, menimbulkan beragam tanggapan di Aceh Tamiang. Komentar ini mencuat setelah dipublikasikan melalui Harian Serambi Indonesia, Kamis(31/10/2024).

Salah satu tanggapan datang dari mantan komisioner KIP Aceh Tamiang, Izuddin Idris, yang mengkritik pernyataan Ahmad Mirza melalui unggahan di akun Facebook pribadinya. Dalam unggahan tersebut, Izuddin menilai bahwa pernyataan tersebut melanggar etika penyelenggara pemilu.

“Dari sudut pandang saya sebagai mantan penyelenggara pemilu, ini adalah contoh pelanggaran berat kode etik,” tulis Izuddin sambil melampirkan foto halaman depan koran terkait.

Unggahan tersebut segera mendapat perhatian netizen, dengan puluhan komentar dan hampir seratus tanda suka. Beberapa pengguna media sosial menanggapi pernyataan Izuddin, termasuk seorang pengguna bernama Muhammad Uria yang bertanya tentang siapa yang dimaksud melakukan pelanggaran. Izuddin menjelaskan bahwa pernyataan Ahmad Mirza sebagai komisioner seharusnya tidak membangun opini publik sebelum keputusan KIP Aceh Tamiang ditetapkan secara resmi.

“Dia membangun opini publik seolah-olah pendapatnya benar, padahal KIP Atam belum melakukan pleno. Ini bisa menimbulkan anggapan bahwa KIP Atam tidak kompeten jika hasil pleno berbeda dari pernyataan tersebut,” jelas Izuddin di kolom komentar.

Beberapa tokoh lain turut menambahkan pandangan mereka. Buya Mustaqim, misalnya, menulis bahwa keputusan PTTUN seharusnya dilaksanakan, dengan opsi untuk melaksanakan putusan atau mengajukan kasasi meskipun berisiko menunda Pilkada.

Dalam pernyataannya, Ahmad Mirza menyebut bahwa putusan PTTUN Medan dikeluarkan 28 hari sebelum hari pemungutan suara, yang menurut pasal 154 ayat 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016, melampaui batas waktu yang diizinkan untuk penetapan. Mirza menegaskan, jika KIP memaksakan pelaksanaan putusan itu, maka Pilkada berisiko tidak terlaksana tepat waktu, yang dapat berujung pada konsekuensi hukum.

“Undang-undang menetapkan kewajiban pelaksanaan putusan harus dilakukan sebelum 30 hari jelang pemungutan suara. Jika tidak, implikasi hukum dan pidana bisa terjadi,” tutup Ahmad Mirza.**()

Berita Terkini