DPA Dihidupkan Untuk Apa Dan Untuk Siapa ?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

 

Oleh :
Rudi S Kamri

Saya bukan ahli tata negara, tapi saya tahu tentang sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sederhana saja, hukum ketatanegaraan tertinggi kita adalah Konstitusi yaitu UUD 1945 (yang sudah diamandemen 4 kali). Artinya haram atau tabu mutlak peraturan perundangan di bawahnya bertentangan dengan Konstitusi kita. Aturan ini tidak perlu ahli tata negara menjelaskannya karena sudah ‘loud & clear’ alias sudah ‘cetho welo-welo’.

Nah sekarang ada inisiatif dari DPR RI (entah sebagian atau semua fraksi) yang berencana akan merevisi UU tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Bahkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) usul agar DPA hasil revisi itu dikembalikan lagi menjadi Lembaga Tinggi Negara.

Padahal pasca Amandemen ke empat (4) Undang-Undang Dasar 1945, BAB IV tentang DPA telah dihapus dan melalui Pasal 16 UUD 1945 setelah amandemen ke-4 UUD 1945 mengamanahkan kepada Presiden untuk membentuk suatu dewan pertimbangannya yang selanjutnya dinamakan Dewan Pertimbangan Presiden atau biasa disingkat Wantimpres. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintahan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang berarti kedudukan Wantimpres menjadi di dalam kekuasaan eksekutif, atau di bawah Presiden (Pemerintah).

Apakah UUD 1945 akan dikoreksi hanya melalui UU saja? Atau akan dilakukan amandemen (lagi) kelima UUD 1945? Bukankah amandemen konstitusi itu wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI ? Lalu untuk apa DPR RI sok berinisiatif merevisi UU Nomor 19 tahun 2006? DPR RI sengaja akan menabrak dan melangkahi UUD 1945?

Untuk apa dan untuk kepentingan siapa?

Ada rumor yang berhembus kencang katanya revisi UU Watimpres menjadi DPA hanya untuk mengakomodasi posisi Jokowi pasca lengser. Benarkah ? Wallahualam

Tapi mengapa Harus dengan jalan menabrak konstitusi? Ini akan menjadi preseden buruk tentang sistem hukum dan sistem ketatanegaraan kita. Hanya untuk mengamodasi posisi seseorang, mereka sengaja mengakali perundangan dan peraturan yang berlaku. Modus ini sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 tahun 2023 yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden. Senada dan sebangun dengan manuver di Mahkamah Agung (MA) yang mengutak-atik UU Pilkada demi tiket emas buat Kaesang Pangarep yang berambisi jadi Gubernur.

Kalau hal ini dibiarkan, akan menjadi destruksi dalam sistem hukum dan sistem ketatanegaraan kita. Kalau DPR RI atau MPR RI membiarkan hal ini akan menjadi mala petaka bagi kepastian hukum di negeri ini dan akan dijadikan yuris prudensi bagi kelompok atau orang lain melakukan hal serupa.

Apa harus dibiarkan ?

Jangan pernah dibiarkan. Para ahli tata negara, ahli hukum, akademisi dan ‘civil society’ harus bersuara untuk menolak upaya DPR ini. Kalau seandainya suara kita tidak didengar, jalan terakhir kita adalah mengajukan Judicial Review atau uji materi di MK, karena revisi UU Wantimpres menjadi DPA tanpa melalui amandemen UUD 1945 apalagi kalau ingin menjadikan DPA menjadi lembaga tinggi negara jelas bertentangan dengan konstitusi negara kita.

Apakah kita masih bisa berharap di MK? Entahlah. Kita hanya bisa berharap masih ada Hakim MK yang waras untuk menjaga marwah dan kehormatan konstitusi negara. Kalau ternyata hakim-hakim MK kembali mandul atau manut saja keinginan para petualang kekuasaan, ini artinya pertanda serius kehancuran negara semakin dekat. Astagfirullah….

Jakarta, 14072024

 

Berita Terkini