Minoritas dan Sebuah Resistensi Mayor, Kopi Sekelak (KOPLAK)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ini sebuah ungkapan yang sedikit menggelitik pemikiran, teringat tulisan Kuntowijoyo membahas persoalan bagaimana mentalitas kolektif, atau istilah yang disebut Durkheim (1858-1917) COLLECTIVE CONSCIOUSNES, REPRESENTATIONS COLLECTIVES itu bermula. Ia merupakan persoalan sosiologis yang tidak ada kaitannya dengan psikologi yang cenderung membicarakan fakta individual, ia menyebutkan fakta Folk Religion,agama Rakyat yang ia contohkan pada peristiwa Gus Dur tahun 2001 yang mengharuskan kiyai Nyentrik tersebut mengakhiri kepresidenannya impeachment oleh MPR, lalu kemudian pengikutnya yang di Pasuruan mengamuk, menebangi pohon dan merusak segalanya kemudian membentuk pasukan berani mati untuk membela sang Kiyai.

Hal di atas adalah salah satu contoh bahwa fakta sosial berada di luar fakta individual, individu-individu menyesuaikan diri dan menyetujui berdasarkan keharusan-keharusan sosial. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana keharusan-keharusan itu terbentuk menjadi sebuah fakta sosial? kita dapat dengan mudah menjawabnya. Ia akan terbentuk melalui Konstruksi mentalitas yang dibangun dalam berbagai bentuk, seperti opini, generalisasi pikiran, anggapan Umum dan fase-fase perjalanan nalar lainnya. Bentukan-bentukan tersebut harus dilakukan secara baik tersistematis sehingga menjadi sebuah anggapan yang mengharuskan individual menyetujuinya untuk menjadi sebuah fakta sosial. Sebagai contoh terdekat hari ini, Narasi Islam NU hanyalah Islam yang paling benar, dinarasikan dengan baik dalam bentuk negatif perlahan-lahan hampir menjadi fakta sosial yang kemudian mempengaruhi individu-individu reaktif terhadap pernyataan tersebut. Parahnya lagi, dalam pendekatan Tasawuf Falsafi, Sang Kiyai-kebetulan Profesor di bidang Tasawuf yang menyatakan itu dengan vulgar dan tanpa tendeng aling-aling melemparkannya pada kerumunan massa yang majemuk, walaupun konteks sebenarnya, pidato tersebut di kalangan para santri NU, namun kita ketahui bahwa ruang digital ini hampir menghancurkan batas-batas, privasi, umum ataupun konsumsi pribadi.

Alhasil, gejala ini kemudian menjadi sebuah fakta sosial yang meruntuhkan trust masyarakat Indonesia khususnya umat Islam, yang memandang Egosentris Kader Nahdiyyin sudah kelewat batas, imbasnya, Resistensi terjadi di setiap kader-kader Nahdiyyin di daerah-derah yang celakanya mereka kaum Minor yang tergabung dalam komunitas silent Majority. Mereka hampir tertekan dalam stigma sosial yang sangat tendensius terhadap NU.

Salah satunya hari ini aku merasakan itu, sebagai kaum Minor, anggapan tendensius, harus kujawab normal, karena menjelaskannya dengan argumentatif, akan dikalahkan dengan kebenaran massa yang overgeneralisasi, tapi itu asyik… melatih energi CHI dalam Pusaran kritikan, sindiran dan Hinaan.

Hah! seolah-olah aku terhina saja! hehehehe

Sedikit Oret-oret menjelang pagi.

Safawi Al Jawy

- Advertisement -

Berita Terkini