Disaat Kekuasaan Menjadi Kepentingan Individu dan Kelompok

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Indonesia, menjadi salah satu negara yang mempunyai kandungan alam melimpah yang memegang urutan ke–15 sebagai negara terluas dan sebagai negara urutan ke – 4 sebagai negara yang memiliki penduduk yang banyak. Akan tetapi, apakah kandungan alam yang melimpah, luas tanah, dan jumlah penduduk yang besar dapat meningkatkan kesejahteraan negara? Bisa saja ‘Iya” bisa saja “Tidak”. Singapura, negara yang luas hanya 719,1 km² dan berpenduduk kurang lebih 5,607 juta jiwa penduduk menjadi negara yang maju di tenggara, dan Cina yang memiliki luas negara 9.596.961 km2 dan jumlah penduduk yang kurang lebih berjumlah 1.373.541.278 jiwa penduduk juga memegang sebagai negara yang maju, bahkan berpengaruh di dunia sekarang ini. Indonesia, yang memiliki luas negara 1.904.569 km2 dengan alam yang kaya akan kandungan alam seperti, emas, minyak, dan tembaga juga dengan hutan teropis dan tanahnya yang subur tidak menjamin memegang sebagai negara yang maju, sekitar 258.316.051 jiwa penduduk Indonesia juga tidak menjamin akan kemajuan Indonesia.

Nah apa yang menjadi tolak ukur sebuah negara untuk dapat maju? Jawabannya bisa saja ada pada penduduk warga negara itu sendiri. Apabila warga negara hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya sendiri maka kita hanya tinggal menunggu kehancuran yang akan diciptakan oleh pemimpin tersebut. Apakah pemimpin tersebut dapat dikatakan pemimpin yang cerdas? Lebih tepatnya di cap sebagai pemimpin yang bodoh, yang tidak memikirkan rakyat–rakyatnya sendiri dan tidak memiliki jiwa nasionalisme dalan jiwanya. Akan tetapi yang lebih parahnya lagi adalah rakyat–rakyat yang hanya diam dan mengikuti arus permainan dari seorang pemimpin dan menunggu waktu tenggelamnya rakyat itu sendiri.

Negara Indonesia yang kita cintai ini secara tidak sadar sudah berpaling dari warga negaranya sendiri. Kandungan alam dan suburnya tanah Indonesia seakan tidak milik warga negaranya lagi. Kenapa, contohnya kandungan emas di freeport adalah potret marginalisasi keterjajahan bangsa. Banyak negara dengan keterbatasan wilayah dan sumber daya alam, tetapi dengan pemimpin yang handal, berhasil mencapai kemakmuran untuk negaranya. Akan tetapi sebaliknya, banyak negara yang memilik sumber daya alam yang melimpah, tetapi pemimpinnya bodoh, berhasil dalam mencapai kesengsaraan negaranya sendiri.

Kita tidak perlu mengkaji dalam suatu tatanan negara, disuatu organisasi, katakan saja Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), keintelektualan yang dimiliki kader–kader HMI tidak lagi dipergunakan semestinya, padahal dalam AD pasal 4 HMI jelas, tujuannya untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang di Ridhai Allah Swt. Akan tetapi pada masa sekarang sepertinya kekuasaan menjadi prioritas utama, entah untuk apa mereka berlomba–lomba dalam merebutkan kekuasaan tersebut sampai–-sampai rela berselisihan sesama Himpunan.

HMI berazaskan Islam, apakah Islam mengajarkan hal demikian? Mengapa hal tersebut seringkali terjadi pada saat pemilihan–pemilihan saja, apakah pada saat pemilihan tersebut HMI tidak Islam lagi. Inilah yang harusnya menjadi evaluasi sesama kader HMI yang lebih mengedepankan umat dari pada kepentingan individu ataupun kelompok. Opini Sumut, M. Ridho P.O.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi UISU Medan dan Kader HMI Cabang Medan.

 

 

 

- Advertisement -

Berita Terkini